Jakarta: Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor tidak dalam Trayek ditolak oleh sejumlah pengemudi transportasi daring.
Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menilai penolakan tersebut datang dari pengemudi yang tidak mau mengikuti aturan. Sebab setiap kebijakan yang telah dibuat sudah melalui berbagai proses termasuk mendengarkan pendapat para pengemudi.
"Permenhub 108/2017 itu kan sudah diatur melalui diskusi termasuk dengan para pengemudi. Pengemudi itu juga ingin dilindungi dengan adanya tarif, peraturan ini juga sebenarnya membuat banyak pengemudi merasa dilindungi," ungkap Presidium MTI Ellen Tangkudung, dalam Metro Siang, Selasa 30 Januari 2018.
Menurut Ellen, penerbitan Permenhub 108 tak lain untuk mengakomodasi kedua belah pihak baik penumpang maupun pengemudi taksi daring, pun terkait persamaan hak dengan taksi konvensional.
Salah satu aspek yang diatur adalah soal pembatasan kuota. Aturan ini di buat lantaran jumlah angkutan taksi daring sudah sangat masif bahkan disebut melebihi jumlah taksi konvensional.
"Kalau tidak diatur, di sisi sebaliknya konsumen tidak ada perlindungan sama sekali. Sampai sekarang pun pemerintah tidak pernah tahu jumlah taksi daring yang beroperasi seberapa banyak," katanya.
Ellen mengatakan informasi jumlah angkutan taksi daring hanya bisa diperoleh dari penyedia aplikasi. Sayangnya penyedia aplikasi disebut tidak pernah mengungkapkan berapa jumlah pasti angkutan daring yang menjadi mitra dan sudah beroperasi.
"(Kuota) 38 ribu itu menurut mereka dibatasi. Sementara yang daftar masuk saja masih jauh dari kuota, masih di bawah 1000 yang mendaftar dan memenuhi syarat jadi memang kelihatannya (yang menolak) memang (pengemudi yang) tidak mau mendaftar," jelas Ellen.
Penyedia aplikasi sulit dijangkau
Ellen menyebut bahwa protes yang dilakukan oleh sejumlah pengemudi taksi daring dilakukan karena mereka tidak memahami bahwa yang menjadi sasaran pengaturan pemerintah adalah penyedia aplikasi.
Penyedia aplikasi dianggap enggan terbuka pada pemerintah dan membuat aturan sendiri apa yang harus dilakukan mitra pengemudi jika ingin menjadi bagian dari perusahaan.
Soal tarif, perusahaan penyedia aplikasi memiliki aturan sendiri padahal sudah ada batas bawah yang telah ditentukan pemerintah. Kendaraan pun bukan mitra pengemudi yang menentukan melainkan perusahaan penyedia aplikasi.
"Jadi sebenarnya yang tidak terjangkau ini si penyedia aplikasi. Misalnya tarif, kalau demi komersial saja selalu rendah yang rugi kan pengemudi. Ini kenapa hanya sebagian pengemudi yang setuju, yang lainnya maunya lebih bebas," kata Ellen.
Ellen menambahkan aturan yang dibuat pemerintah tak lain untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen. Sebab sering kali antara detail pada pemesanan dengan pengemudi yang datang berbeda.
Inilah yang menjadi masalah. Ketika pemesanan di aplikasi berbeda dengan taksi daring yang datang, akan menyulitkan konsumen meminta tanggung jawab ketika mengalami hal-hal yang tak mengenakan.
"Jangan kemudian pemerintah sudah hadir menyediakan aturan tapi di sisi lain penyedia jasa sulit terjangkau," jelasnya.
Jakarta: Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor tidak dalam Trayek ditolak oleh sejumlah pengemudi transportasi daring.
Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menilai penolakan tersebut datang dari pengemudi yang tidak mau mengikuti aturan. Sebab setiap kebijakan yang telah dibuat sudah melalui berbagai proses termasuk mendengarkan pendapat para pengemudi.
"Permenhub 108/2017 itu kan sudah diatur melalui diskusi termasuk dengan para pengemudi. Pengemudi itu juga ingin dilindungi dengan adanya tarif, peraturan ini juga sebenarnya membuat banyak pengemudi merasa dilindungi," ungkap Presidium MTI Ellen Tangkudung, dalam
Metro Siang, Selasa 30 Januari 2018.
Menurut Ellen, penerbitan Permenhub 108 tak lain untuk mengakomodasi kedua belah pihak baik penumpang maupun pengemudi taksi daring, pun terkait persamaan hak dengan taksi konvensional.
Salah satu aspek yang diatur adalah soal pembatasan kuota. Aturan ini di buat lantaran jumlah angkutan taksi daring sudah sangat masif bahkan disebut melebihi jumlah taksi konvensional.
"Kalau tidak diatur, di sisi sebaliknya konsumen tidak ada perlindungan sama sekali. Sampai sekarang pun pemerintah tidak pernah tahu jumlah taksi daring yang beroperasi seberapa banyak," katanya.
Ellen mengatakan informasi jumlah angkutan taksi daring hanya bisa diperoleh dari penyedia aplikasi. Sayangnya penyedia aplikasi disebut tidak pernah mengungkapkan berapa jumlah pasti angkutan daring yang menjadi mitra dan sudah beroperasi.
"(Kuota) 38 ribu itu menurut mereka dibatasi. Sementara yang daftar masuk saja masih jauh dari kuota, masih di bawah 1000 yang mendaftar dan memenuhi syarat jadi memang kelihatannya (yang menolak) memang (pengemudi yang) tidak mau mendaftar," jelas Ellen.
Penyedia aplikasi sulit dijangkau
Ellen menyebut bahwa protes yang dilakukan oleh sejumlah pengemudi taksi daring dilakukan karena mereka tidak memahami bahwa yang menjadi sasaran pengaturan pemerintah adalah penyedia aplikasi.
Penyedia aplikasi dianggap enggan terbuka pada pemerintah dan membuat aturan sendiri apa yang harus dilakukan mitra pengemudi jika ingin menjadi bagian dari perusahaan.
Soal tarif, perusahaan penyedia aplikasi memiliki aturan sendiri padahal sudah ada batas bawah yang telah ditentukan pemerintah. Kendaraan pun bukan mitra pengemudi yang menentukan melainkan perusahaan penyedia aplikasi.
"Jadi sebenarnya yang tidak terjangkau ini si penyedia aplikasi. Misalnya tarif, kalau demi komersial saja selalu rendah yang rugi kan pengemudi. Ini kenapa hanya sebagian pengemudi yang setuju, yang lainnya maunya lebih bebas," kata Ellen.
Ellen menambahkan aturan yang dibuat pemerintah tak lain untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen. Sebab sering kali antara detail pada pemesanan dengan pengemudi yang datang berbeda.
Inilah yang menjadi masalah. Ketika pemesanan di aplikasi berbeda dengan taksi daring
yang datang, akan menyulitkan konsumen meminta tanggung jawab ketika mengalami hal-hal yang tak mengenakan.
"Jangan kemudian pemerintah sudah hadir menyediakan aturan tapi di sisi lain penyedia jasa sulit terjangkau," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)