medcom.id, Jakarta: Hari ini, Jakarta telah berulang tahun ke-488. Pada dasarnya tidak ada yang tahu pasti perihal tanggal kelahiran Kota Jakarta.
Jika menyimak sejarah, peristiwa kemenangan pasukan Kerajaan Demak yang dipimpin Fatahillah merebut Sunda Kelapa dari cengkeraman bangsa Portugis pada 22 Juni 1527, menjadi fokus penting untuk dicermati. Karena, sejak tanggal itu nama kota pelabuhan ini berubah, dari Sunda Kalapa menjadi Jayakarta.
Pendiri Komunitas Hitoria Indonesia (KHI) Asep Kambali, menuturkan bahwa pemerintah Jakarta pada 1953 kebingungan dalam menentukan hari peringatan ulang tahun Jakarta. Akhirnya, dipilihlah tanggal 22 Juni yang bertepatan dengan hari Fatahillah mendirikan Jayakarta.
Padahal, menurut Asep, sebenarnya 22 Juni itu terjadi peristiwa penyerangan Fatahillah terhadap kerajaan Pajajaran yang waktu itu berkoalisi dengan pasukan Portugis.
"Tanggal 22 Juni itu adalah hari pengusiran secara paksa penduduk kerajaan Pajajaran yang memiliki pelabuhan Sunda Kalapa,” ujar Asep kepada Metrotvnews.com, Senin (22/6/2015).
Oleh karena itu, anggapan bahwa Fatahillah merebut Sunda Kalapa dari tangan Portugis adalah keliru. Karena, seolah-olah tidak ada kerajaan Pajajaran disitu. Padahal tahun 1522 itu Pajajaran mengadakan kerja sama perdagangan dengan Portugis. Kontrak kemitraan dagang itu dibuktikan dengan adanya sebuah prasasti berbentuk tugu batu yang ditemukan pada 1918 di wilayah Jakarta Barat. Tugu batu yang dikenal sebagai prasasti Padrao itu kini disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia, adapun replikanya dipamerkan di Museum Sejarah Jakarta.
"Jadi sebenernya yang diusir oleh Fatahillah itu adalah Pajajaran dan Portugis. Fatahillah merebut Sunda Kalapa dari tangan Pajajaran yang berkoalisi dengan Portugis pada peristiwa 22 Juni 1527. Ini pun tanggalnya belum pasti,” kata Asep.
Sebelum kedatangan tim ekspedisi Kerajaan Portugis dari Eropa untuk menguasai kota ini, Sunda Kalapa adalah pelabuhan penting milik kerajaan Pajajaran (Hindu). Ekspansi kerajaan Demak ke wilayah barat Jawa atas perintah Sultan Trenggono dalam misi memperluas syiar Islam yang berhasil merebut Sunda Kalapa (1527) itu ternyata berbuah manis. Karena dari Jayakarta inilah pasukan Fatahillah menyusun kekuatan dengan membangun pangkalan militer dan kawasan perdagangan yang amat menunjang kejayaan berikutnya: mendirikan Kesultanan Banten.
Asep menjelaskan, misi mendirikan Kesultanan Banten ini dipimpin oleh Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati. Keberhasilannya ditandai dengan membuat benteng pertahanan dan keraton Surosowan di Serang sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Banten (1527). Seletah itu, Jayakarta menjadi salah satu kota pelabuhan dan kawasan perdagangan yang bernaung di bawah kekuasaan Kesultanan Banten.
Pada awal abad ke-17, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC/persekutuan dagang perusahaan-perusahaan Belanda yang berambisi menguasai perniagaan rempah-rempah) memasuki wilayah Nusantara dengan membangun kantor pertamanya di Maluku. Namun, Pieter Both yang menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama, kemudian melirik Jayakarta untuk dijadikan basis administrasi dan perdagangan VOC dalam rangka mendekati pelabuhan Banten. Pada waktu itu di Banten telah banyak kantor pusat perdagangan orang-orang Eropa lain seperti Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, sedangkan Jayakarta masih merupakan pelabuhan kecil.
Pada tahun 1610-1611 VOC mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu dengan fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang atau loji. Kemudian mereka menyewa lahan sekitar 1,5 hektar di dekat muara di tepi bagian timur Sungai Ciliwung, yang menjadi kompleks perkantoran, gudang dan tempat tinggal orang Belanda, dan bangunan utamanya dinamakan Nassau Huis.
Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal VOC keempat (1618 – 1629), ia mendirikan lagi bangunan serupa Nassau Huis yang dinamakan Mauritius Huis, dan membangun tembok batu yang tinggi, di mana ditempatkan beberapa meriam. Tak lama kemudian, ia membangun lagi tembok setinggi 7 meter yang mengelilingi areal yang mereka sewa, sehingga kini benar-benar merupakan satu benteng yang kokoh, dan mulai mempersiapkan untuk menguasai Jayakarta. Dari basis benteng ini pada 30 Mei 1619 Belanda menyerang tuan rumah, yang memberi mereka izin untuk berdagang, dan membumihanguskan keraton serta hampir seluruh pemukiman penduduk. Berawal hanya dari bangunan separuh kayu, akhirnya Belanda menguasai seluruh kota, dan kemudian sebagian besar wilayah di Nusantara.
Semula Coen ingin menamakan kota ini sebagai Nieuwe Hoorn. "Karena Nieuwe Hoorn itu kan tempat kelahiran JP Coen,” kata Asep.
Namun, de Heeren Seventien di Belanda memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi Batavia, untuk mengenang bangsa Batavieren, yaitu bangsa Germania yang bermukim di tepi Sungai Rhein yang kini dihuni oleh orang Belanda. Dan nama Batavia ini digunakan oleh Belanda selama lebih dari 300 tahun. Dengan demikian, Batavia (Jayakarta) adalah jajahan Belanda pertama di Nusantara.
Setelah serangan pasukan Jepang ke Batavia mengusir Belanda pada 1942, nama kota ini berubah lagi menjadi Jakarta. “Jadi orang Jepang yang ngasih nama Jakarta itu, karena dia enggak suka nama yang panjang kayak Jayakarta,” imbuh Asep.
Namun, entah sejak kapan, penduduk di kota Batavia dinamakan atau menamakan diri orang Betawi, yang mengambil nama dari Batavia tersebut.
Perlu dicatat, gerakan nasional memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia mendapat gaungnya setelah terselenggaranya Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda pada 1928 di Jakarta. Kedatangan Jepang pada 1942 disambut oleh tokoh-tokoh pemuda saat itu sebagai "Saudara Asia" yang berjasa mengusir penjajah Belanda (Eropa).
Pemerintah Jepang membebaskan Soekarno dari hukuman pengasingan di Bengkulu yang dijatuhkan oleh Belanda, Soekarno kemudian dipulangkan ke Jakarta untuk merancang pembentukan negara Indonesia bersama para tokoh lainnya dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Setelah Indonesia merdeka, Sudiro selaku Walikota Jakarta periode 1953-1958 menetapkan hari jadi Jakarta adalah pada 22 Juni 1527 untuk memperingati kemenangan Fatahillah merebut Sunda Kelapa.
“Sudiro itu Walikota Jakarta, bukan Gubernur. Karena waktu itu Jakarta di bawah Provinsi Jawa Barat,” kata Asep.
Sudiro menyadari pentingnya penetapan hari jadi kota Jakarta yang berbeda dengan peringatan berdirinya Batavia, di mana pada masa kolonial Belanda diperingati setiap tanggal 30 Mei, merujuk keberhasilan JP Coen menggempur Jayakarta pada 30 Mei 1619.
medcom.id, Jakarta: Hari ini, Jakarta telah berulang tahun ke-488. Pada dasarnya tidak ada yang tahu pasti perihal tanggal kelahiran Kota Jakarta.
Jika menyimak sejarah, peristiwa kemenangan pasukan Kerajaan Demak yang dipimpin Fatahillah merebut Sunda Kelapa dari cengkeraman bangsa Portugis pada 22 Juni 1527, menjadi fokus penting untuk dicermati. Karena, sejak tanggal itu nama kota pelabuhan ini berubah, dari Sunda Kalapa menjadi Jayakarta.
Pendiri Komunitas Hitoria Indonesia (KHI) Asep Kambali, menuturkan bahwa pemerintah Jakarta pada 1953 kebingungan dalam menentukan hari peringatan ulang tahun Jakarta. Akhirnya, dipilihlah tanggal 22 Juni yang bertepatan dengan hari Fatahillah mendirikan Jayakarta.
Padahal, menurut Asep, sebenarnya 22 Juni itu terjadi peristiwa penyerangan Fatahillah terhadap kerajaan Pajajaran yang waktu itu berkoalisi dengan pasukan Portugis.
"Tanggal 22 Juni itu adalah hari pengusiran secara paksa penduduk kerajaan Pajajaran yang memiliki pelabuhan Sunda Kalapa,” ujar Asep kepada
Metrotvnews.com, Senin (22/6/2015).
Oleh karena itu, anggapan bahwa Fatahillah merebut Sunda Kalapa dari tangan Portugis adalah keliru. Karena, seolah-olah tidak ada kerajaan Pajajaran disitu. Padahal tahun 1522 itu Pajajaran mengadakan kerja sama perdagangan dengan Portugis. Kontrak kemitraan dagang itu dibuktikan dengan adanya sebuah prasasti berbentuk tugu batu yang ditemukan pada 1918 di wilayah Jakarta Barat. Tugu batu yang dikenal sebagai prasasti Padrao itu kini disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia, adapun replikanya dipamerkan di Museum Sejarah Jakarta.
"Jadi sebenernya yang diusir oleh Fatahillah itu adalah Pajajaran dan Portugis. Fatahillah merebut Sunda Kalapa dari tangan Pajajaran yang berkoalisi dengan Portugis pada peristiwa 22 Juni 1527. Ini pun tanggalnya belum pasti,” kata Asep.
Sebelum kedatangan tim ekspedisi Kerajaan Portugis dari Eropa untuk menguasai kota ini, Sunda Kalapa adalah pelabuhan penting milik kerajaan Pajajaran (Hindu). Ekspansi kerajaan Demak ke wilayah barat Jawa atas perintah Sultan Trenggono dalam misi memperluas syiar Islam yang berhasil merebut Sunda Kalapa (1527) itu ternyata berbuah manis. Karena dari Jayakarta inilah pasukan Fatahillah menyusun kekuatan dengan membangun pangkalan militer dan kawasan perdagangan yang amat menunjang kejayaan berikutnya: mendirikan Kesultanan Banten.
Asep menjelaskan, misi mendirikan Kesultanan Banten ini dipimpin oleh Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati. Keberhasilannya ditandai dengan membuat benteng pertahanan dan keraton Surosowan di Serang sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Banten (1527). Seletah itu, Jayakarta menjadi salah satu kota pelabuhan dan kawasan perdagangan yang bernaung di bawah kekuasaan Kesultanan Banten.
Pada awal abad ke-17, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC/persekutuan dagang perusahaan-perusahaan Belanda yang berambisi menguasai perniagaan rempah-rempah) memasuki wilayah Nusantara dengan membangun kantor pertamanya di Maluku. Namun, Pieter Both yang menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama, kemudian melirik Jayakarta untuk dijadikan basis administrasi dan perdagangan VOC dalam rangka mendekati pelabuhan Banten. Pada waktu itu di Banten telah banyak kantor pusat perdagangan orang-orang Eropa lain seperti Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, sedangkan Jayakarta masih merupakan pelabuhan kecil.
Pada tahun 1610-1611 VOC mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu dengan fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang atau loji. Kemudian mereka menyewa lahan sekitar 1,5 hektar di dekat muara di tepi bagian timur Sungai Ciliwung, yang menjadi kompleks perkantoran, gudang dan tempat tinggal orang Belanda, dan bangunan utamanya dinamakan Nassau Huis.
Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal VOC keempat (1618 – 1629), ia mendirikan lagi bangunan serupa Nassau Huis yang dinamakan Mauritius Huis, dan membangun tembok batu yang tinggi, di mana ditempatkan beberapa meriam. Tak lama kemudian, ia membangun lagi tembok setinggi 7 meter yang mengelilingi areal yang mereka sewa, sehingga kini benar-benar merupakan satu benteng yang kokoh, dan mulai mempersiapkan untuk menguasai Jayakarta. Dari basis benteng ini pada 30 Mei 1619 Belanda menyerang tuan rumah, yang memberi mereka izin untuk berdagang, dan membumihanguskan keraton serta hampir seluruh pemukiman penduduk. Berawal hanya dari bangunan separuh kayu, akhirnya Belanda menguasai seluruh kota, dan kemudian sebagian besar wilayah di Nusantara.
Semula Coen ingin menamakan kota ini sebagai Nieuwe Hoorn. "Karena Nieuwe Hoorn itu kan tempat kelahiran JP Coen,” kata Asep.
Namun, de Heeren Seventien di Belanda memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi Batavia, untuk mengenang bangsa Batavieren, yaitu bangsa Germania yang bermukim di tepi Sungai Rhein yang kini dihuni oleh orang Belanda. Dan nama Batavia ini digunakan oleh Belanda selama lebih dari 300 tahun. Dengan demikian, Batavia (Jayakarta) adalah jajahan Belanda pertama di Nusantara.
Setelah serangan pasukan Jepang ke Batavia mengusir Belanda pada 1942, nama kota ini berubah lagi menjadi Jakarta. “Jadi orang Jepang yang ngasih nama Jakarta itu, karena dia enggak suka nama yang panjang kayak Jayakarta,” imbuh Asep.
Namun, entah sejak kapan, penduduk di kota Batavia dinamakan atau menamakan diri orang Betawi, yang mengambil nama dari Batavia tersebut.
Perlu dicatat, gerakan nasional memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia mendapat gaungnya setelah terselenggaranya Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda pada 1928 di Jakarta. Kedatangan Jepang pada 1942 disambut oleh tokoh-tokoh pemuda saat itu sebagai "Saudara Asia" yang berjasa mengusir penjajah Belanda (Eropa).
Pemerintah Jepang membebaskan Soekarno dari hukuman pengasingan di Bengkulu yang dijatuhkan oleh Belanda, Soekarno kemudian dipulangkan ke Jakarta untuk merancang pembentukan negara Indonesia bersama para tokoh lainnya dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Setelah Indonesia merdeka, Sudiro selaku Walikota Jakarta periode 1953-1958 menetapkan hari jadi Jakarta adalah pada 22 Juni 1527 untuk memperingati kemenangan Fatahillah merebut Sunda Kelapa.
“Sudiro itu Walikota Jakarta, bukan Gubernur. Karena waktu itu Jakarta di bawah Provinsi Jawa Barat,” kata Asep.
Sudiro menyadari pentingnya penetapan hari jadi kota Jakarta yang berbeda dengan peringatan berdirinya Batavia, di mana pada masa kolonial Belanda diperingati setiap tanggal 30 Mei, merujuk keberhasilan JP Coen menggempur Jayakarta pada 30 Mei 1619.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(ADM)