medcom.id, Jakarta: Pemprov DKI Jakarta mendapatkan opini wajar dengan pengecualian (WDP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bahkan opini WDP didapat Jakarta selama tiga tahun berturut-turut sejak 2013 hingga 2015.
Dalam Rapat Paripurna Istimewa HUT DKI ke-489, Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi memberikan catatan soal opini BPK tersebut. Pras, sapaan Prasetio, menilai pemerintah Jakarta belum serius memperbaiki pengelolaan keuangan daerah.
"Hal tersebut membuktikan tidak ada upaya pemerintah daerah dalam memperbaiki pengelolaan aset daerah," kata Pras dalam Rapat Paripurna Istimewa di Gedung DPRD DKI Jakarta, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (22/6/2016).
Pras mengungkapkan, BPK DKI menunjukkan adanya 50 temuan senilai Rp30,15 triliun. "Antara lain aset belum validasi senilai Rp14,5 triliun dan aset Dinas Pendidikan senilai Rp15,2 triliun tidak dapat diyakini kewajarannya," ungkap Pras.
Dari bukti-bukti tersebut, Pras menilai bidang kearsipan Pemprov DKI Jakarta masih menemui banyak kelemahan. Ia juga mendorong Pemprov DKI Jakarta segera menindaklanjuti rekomendasi dari BPK DKI. "Pemda diharapkan segera menindaklanjuti rekomendasi dari BPK DKI," ujar Pras.
Anggota V BPK RI Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan terdapat tiga hal yang dikecualikan dalam opini BPK terhadap LKPD DKI Jakarta 2015. Pertama, pengendalian pengelolaan pendapatan dan piutang pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan (PBBP2) belum memadai.
"Sehingga ditemukan data-data yang berbeda terkait penerimaan kas atas PBBP2 dan piutang PBBP2 yang dilaporkan pada laporan keuangan," terang Moermahadi.
Perbedaan data tersebut belum dapat ditelusuri. Selain itu, tagihan pajak kendaraan bermotor di Ibu Kota tidak berdasarkan nilai jual kendaraan bermotor pada tahun turunan pajak. "Sebagaimana diatur dalam peraturan gubernur, sehingga pokok dan sanksi denda pajak kendaraan bermotor terlalu rendah," jelasnya.
Kedua, Pemprov DKI Jakarta belum mencatat piutang lain yang berasal dari konversi kewajiban pengembang membangun rumah susun menjadi pendapatan uang kepada Pemprov DKI Jakarta dan juga kewajiban pemegang surat izin penunjukkan penggunaan tanah (SIPPT) menyerahkan aset berupa fasilitas sosial dan fasilitas umum pada saat hak tagih tersebut jatuh tempo.
"Kebijakan pemberian hak izin tersebut pada pengembang belum mengatur pengukuran nilainya sehingga penerapannya menyulitkan penagihan," ungkap Moermahadi.
Ketiga, pengendalian pengelolaan aset tetap termasuk aset tanah dalam sengketa masih belum memadai. Pencatatan akte tetap masih memiliki kekurangan. "Pemprov DKI tidak melalui siklus satu akuntansi dan tidak menggunakan sistem hak informasi akuntansi, inventaris aset belum selesai, data KIP (keterbukaan informasi publik) belum informatif dan valid," terangnya.
Kendati punya catatan banyak, Gubernur DKI Jakarta basuki Tjahja Purnama (Ahok) menganggap sudah melaksanakan sistem akrual di keuangan DKI. Sistem ini mengacu pada pencatatan yang diakui atau dicatat ketika transaksi terjadi, bukan ketika uang kas untuk transaksi-transaksi tersebut diterima atau dibayarkan.
Penggunaan sistem ini dianggap akan membuka banyak penyelewengan. Penghitungan keuangan DKI pun lebih akurat karena sistem akrual ini adalah sistem yang juga diterapkan swasta.
"Jadi kita bisa tahu penyusutan, terus uang ini serapannya berapa bisa kita tahu. Ini semua betul-betul tercatat langsung dengan angka," tandas Ahok.
medcom.id, Jakarta: Pemprov DKI Jakarta mendapatkan opini wajar dengan pengecualian (WDP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bahkan opini WDP didapat Jakarta selama tiga tahun berturut-turut sejak 2013 hingga 2015.
Dalam Rapat Paripurna Istimewa HUT DKI ke-489, Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi memberikan catatan soal opini BPK tersebut. Pras, sapaan Prasetio, menilai pemerintah Jakarta belum serius memperbaiki pengelolaan keuangan daerah.
"Hal tersebut membuktikan tidak ada upaya pemerintah daerah dalam memperbaiki pengelolaan aset daerah," kata Pras dalam Rapat Paripurna Istimewa di Gedung DPRD DKI Jakarta, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (22/6/2016).
Pras mengungkapkan, BPK DKI menunjukkan adanya 50 temuan senilai Rp30,15 triliun. "Antara lain aset belum validasi senilai Rp14,5 triliun dan aset Dinas Pendidikan senilai Rp15,2 triliun tidak dapat diyakini kewajarannya," ungkap Pras.
Dari bukti-bukti tersebut, Pras menilai bidang kearsipan Pemprov DKI Jakarta masih menemui banyak kelemahan. Ia juga mendorong Pemprov DKI Jakarta segera menindaklanjuti rekomendasi dari BPK DKI. "Pemda diharapkan segera menindaklanjuti rekomendasi dari BPK DKI," ujar Pras.
Anggota V BPK RI Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan terdapat tiga hal yang dikecualikan dalam opini BPK terhadap LKPD DKI Jakarta 2015. Pertama, pengendalian pengelolaan pendapatan dan piutang pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan (PBBP2) belum memadai.
"Sehingga ditemukan data-data yang berbeda terkait penerimaan kas atas PBBP2 dan piutang PBBP2 yang dilaporkan pada laporan keuangan," terang Moermahadi.
Perbedaan data tersebut belum dapat ditelusuri. Selain itu, tagihan pajak kendaraan bermotor di Ibu Kota tidak berdasarkan nilai jual kendaraan bermotor pada tahun turunan pajak. "Sebagaimana diatur dalam peraturan gubernur, sehingga pokok dan sanksi denda pajak kendaraan bermotor terlalu rendah," jelasnya.
Kedua, Pemprov DKI Jakarta belum mencatat piutang lain yang berasal dari konversi kewajiban pengembang membangun rumah susun menjadi pendapatan uang kepada Pemprov DKI Jakarta dan juga kewajiban pemegang surat izin penunjukkan penggunaan tanah (SIPPT) menyerahkan aset berupa fasilitas sosial dan fasilitas umum pada saat hak tagih tersebut jatuh tempo.
"Kebijakan pemberian hak izin tersebut pada pengembang belum mengatur pengukuran nilainya sehingga penerapannya menyulitkan penagihan," ungkap Moermahadi.
Ketiga, pengendalian pengelolaan aset tetap termasuk aset tanah dalam sengketa masih belum memadai. Pencatatan akte tetap masih memiliki kekurangan. "Pemprov DKI tidak melalui siklus satu akuntansi dan tidak menggunakan sistem hak informasi akuntansi, inventaris aset belum selesai, data KIP (keterbukaan informasi publik) belum informatif dan valid," terangnya.
Kendati punya catatan banyak, Gubernur DKI Jakarta basuki Tjahja Purnama (Ahok) menganggap sudah melaksanakan sistem akrual di keuangan DKI. Sistem ini mengacu pada pencatatan yang diakui atau dicatat ketika transaksi terjadi, bukan ketika uang kas untuk transaksi-transaksi tersebut diterima atau dibayarkan.
Penggunaan sistem ini dianggap akan membuka banyak penyelewengan. Penghitungan keuangan DKI pun lebih akurat karena sistem akrual ini adalah sistem yang juga diterapkan swasta.
"Jadi kita bisa tahu penyusutan, terus uang ini serapannya berapa bisa kita tahu. Ini semua betul-betul tercatat langsung dengan angka," tandas Ahok.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(YDH)