Foto udara suasana proyek pembangunan reklamasi Teluk Jakarta di Pantai Utara Jakarta, Minggu (28/2). Foto: Antara/Andika Wahyu
Foto udara suasana proyek pembangunan reklamasi Teluk Jakarta di Pantai Utara Jakarta, Minggu (28/2). Foto: Antara/Andika Wahyu

Perjalanan Raperda Reklamasi Teluk Jakarta

LB Ciputri Hutabarat • 03 April 2016 11:08
medcom.id, Jakarta: Rancangan peraturan daerah (raperda) yang berhubungan dengan reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta kembali menjadi perbincangan hangat. Pasalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut raperda ini menjadi objek suap yang menyeret nama anggota DPRD DKI, Mohamad Sanusi dan Presdir PT APL, AWJ menjadi tersangka.
 
Lantas apa itu raperda reklamasi yang menjadi objek suap Sanusi?
 
Saat ini DPRD DKI sedang menggodok peraturan daerah yang berhubungan dengan reklamasi. Adapun dua raperda tersebut adalah raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta (RZWP3K) dan raperda Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.

Dalam perjalanannya, reklamasi memang menimbulkan pro dan kontra. Gubernur DKI Jakarta Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama keukeuh akan mereklamasi 17 pulau. Banyak pihak yang menolak reklamasi karena dinilai merusak lingkungan dan hanya mementingkan kaum elit saja.
 
Salah satunya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) meminta Ahok mematuhi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2013 tentang Reklamasi. Reklamasi pulau buatan harus mendapat izin langsung dari Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
 
Sementara pria yang akrab disapa Ahok ini menyebut dasar dari reklamasi itu sudah sesuai dengan Keputusan Presiden No. 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda DKI nomor 8/1995.
 
"Jadi kalau mau tolak reklamasi, kamu ganti dulu Kepresnya. Lebih tinggi mana preaturan menteri atau presiden?" kata Ahok disetiap jawabannya menanggapi soal reklamasi.
 
Sejumlah penolakan ini juga terjadi di DPRD DKI sebagai pembuat kebijakan reklamasi. Diketahui sampai saat ini telah terjadi tiga kali penundaan paripurna saat pengesahan raperda reklamasi.
 
DPRD DKI pada 22 Februari lalu berencana menggelar paripurna untuk mengesahkan Raperda Zonasi. Namun, tak kunjung terlaksana karena jumlah anggota dewan yang hadir tidak mencapai kuorum.
 
Kemudian rapat tersebut disepakati dijadwal ulang pada 24 Februari. Namun hasilnya tetap sama, tak juga dilaksanakan. Hal itu mengingat jumlah kehadiran peserta rapat yang juga tak memenuhi persyaratan yang tercantum pada Tatib DPRD itu.
 
Pihak DPRD DKI kembali menjadwalkan paripurna pada 1 Maret lalu. Alhasil, kembali ditunda. "Masih enggak kuorum ya bagaimana? Ada yang izin, ada yang sakit. Kita harus menunda sesuai tatib," kata Ketua Balegda Mohamad Taufik, Selasa, 1 Maret 2016.
 
Terganjal Pasal
 
Taufik sempat mengungkapkan penundaan terjadi lantaran ada sejumlah pasal yang belum disepakati. Dia menjelaskan raperda tentang RZWP3K tersebut seyogyanya ada 13 pasal yang telah disepakati.
 
Namun, belakangan ada dua pasal yang berubah di tengah jalan. "Jadi kami minta ditunda sampai ada kesepakatan pasal itu semua," terang dia.
 
Beberapa pasal tersebut, kata dia, tercantum dalam bab X tentang perizinan dan rekomendasi pasal 101 menyebutkan reklamasi sudah mendapatkan izin. Padahal menurut Taufik reklamasi 17 pulau di Utara Jakarta tersebut belum mendapatkan izin.
 
Pasal kedua, Taufik menyebutkan di draft awal Baleg menginginkan ada kawasan pemakaman di salah satu pulau. Namun draft yang tertuang dalam Pasal 51 ayat (1) berubah dengan menghilangkan pulau O sebagai tempat pengelolaan sampah.
 
"Kalau disitu enggak ada pemakaman dan pembuangan sampah mau dibuang kemana?" ujar Taufik.
 
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengaku tak terlalu tahu mengenai batalnya paripurna hari ini. Dia juga mengaku tidak tahu bahwa batalnya paripurna masih berkaitan dengan rembukan pasal.
 
"Aku enggak tahu (soal tarik menarik pasal). Kamu tanya DPRD saja," ucap Ahok.
 
Tak hanya itu, belakangan Taufik juga mencoba mengubah Pasal 111 ihwal kontribusi tambahan dalam raperda RTR Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Politikus Gerindra itu menyisipkan kata kontribusi tambahan yang diwajibkan kepada pengembang minimal 5 persen dari luas lahan pulau dalam bentuk pembangunan infrastruktur di Ibu Kota.
 
“Kami mengatur minimal alas bawah, maksimal berapa terserah eksekutif,” kata Taufik.
 
Usulan Taufik itu jauh lebih kecil dibandingkan keinginan Pemprov soal kontribusi tambahan yakni 15 persen dikali nilai jual objek dan lahan yang dijual. Menurut Taufik angka 5 persen itu sudah berpatokan pada surat edaran Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tentang kontribusi lahan sebesar 5 persen.
 
“Kami enggak mau pemerintah rugi,” kata Wakil Ketua DPRD itu.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan