medcom.id Jakarta: Front Pembela Islam (FPI) menilai ada kekeliruan dalam tafsir pemohon terhadap Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan.
FPI memberikan keterangan selaku pihak terkait dalam sidang uji materi syarat sah pernikahan di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (14/10/2014). Saat memberikan keterangan, kuasa hukum FPI, Mirza Zulkarnaen, tidak banyak mengucapkan kata setuju.
"Kekeliruan pemohon sangat fatal dalam menafsirkan bahwa Pasal 2 UU Perkawinan tidak menjamin hak setiap orang untuk memeluk agama dan menjalankan ibadat," kata Mirza.
Pasal yang dimaksud berbunyi, "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu."
Kekeliruan itu, ungkap Mirza, karena pernikahan sangat jelas dilakukan dua orang yang berlainan jenis kelamin, pria dan wanita. Karena itu, unsur pernikahan pada Pasal 2 UU Perkawinan tidak dapat ditautkan dengan frasa 'setiap orang' pada Pasal 28E ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 UUD 1945 karena memiliki kuantitas berbeda.
Lebih lanjut, Mirza bertutur, pemohon tidak keliru jika pernikahan menurut pemohon hanya dilangsungkan satu orang sehingga unsur 'setiap orang' masih berpotensi dilanggar oleh Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan.
Tak puas sampai di situ, Mirza menambahkan perkawinan yang dilakukan satu orang bukanlah sebuah perkawinan.
"Bukanlah perkawinan jika dilakukan satu orang, melainkan perbuatan masturbasi dan onani," kata Mirza.
medcom.id Jakarta: Front Pembela Islam (FPI) menilai ada kekeliruan dalam tafsir pemohon terhadap Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan.
FPI memberikan keterangan selaku pihak terkait dalam sidang uji materi syarat sah pernikahan di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (14/10/2014). Saat memberikan keterangan, kuasa hukum FPI, Mirza Zulkarnaen, tidak banyak mengucapkan kata setuju.
"Kekeliruan pemohon sangat fatal dalam menafsirkan bahwa Pasal 2 UU Perkawinan tidak menjamin hak setiap orang untuk memeluk agama dan menjalankan ibadat," kata Mirza.
Pasal yang dimaksud berbunyi, "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu."
Kekeliruan itu, ungkap Mirza, karena pernikahan sangat jelas dilakukan dua orang yang berlainan jenis kelamin, pria dan wanita. Karena itu, unsur pernikahan pada Pasal 2 UU Perkawinan tidak dapat ditautkan dengan frasa 'setiap orang' pada Pasal 28E ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 UUD 1945 karena memiliki kuantitas berbeda.
Lebih lanjut, Mirza bertutur, pemohon tidak keliru jika pernikahan menurut pemohon hanya dilangsungkan satu orang sehingga unsur 'setiap orang' masih berpotensi dilanggar oleh Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan.
Tak puas sampai di situ, Mirza menambahkan perkawinan yang dilakukan satu orang bukanlah sebuah perkawinan.
"Bukanlah perkawinan jika dilakukan satu orang, melainkan perbuatan masturbasi dan onani," kata Mirza.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(PRI)