medcom.id, Jakarta: Polemik keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan uji materi Permenhub Nomor 26 Tahun 2017 perlu disikapi bijak. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, keputusan masih bisa dilakukan uji publik untuk dilakukan pembenahan.
Putusan MA itu kini menuai babak baru pro kontra terkait eksistensi taksi online. Beberapa pengamat transportasi memandang, putusan MA kurang relevan jika 14 poin dalam Permenhub tersebut dianggap tidak berpayung hukum. Putusan MA Nomor 37 P/HUM/2017 itu hanya menggunakan dasar hukum Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Jalan (LLAJ).
"Walaupun keputusan MA, ini harus diuji eksaminasi karena sebenarnya apa yang diatur dalam Permenhub itu rujukannnya Undang-undang Lalin. Sementara MA memutuskan lewat Undang-undang Koperasi," kata Tulus Kepada Metrotvnews.com, Jumat 25 Agustus 2017.
Tulus memaparkan, uji eksaminasi atau uji publik tersebut bisa dilakukan sebagai proses pembuktian keputusan MA. Penilaian untuk pembenahan maupun perubahan keputusan tersebut bisa dilakukan secara non-yuridis.
"Uji publik terhadap keputusan MA bisa dilakukan Kementerian Perhubungan atau pihak lain sehingga bisa dinilai apakah MA sudah tepat atau tidak dalam keputusannya itu," Tulus memaparkan.
Perjuangan pada titik kepentingan masyarakat yang lebih luas mesti dilakukan. Menurut Tulus, Kemenhub dituntut untuk segera memberikan solusi aturan pengganti.
"Nah, sekarang Kemenhub harus membuat regulasi baru yang tentu menyesuaikan putusan dari MA agar tidak bertentangan," ujar dia.
Hakim MA mengabulkan gugatan pengemudi online atas Permenhub Nomor 26 Tahun 2017. Dalam putusan bernomor 37 P/HUM/2017, MA menyatakan angkutan sewa khusus berbasis aplikasi online adalah konsekuensi logis dari perkembangan teknologi informasi. Apalagi, moda transportasi online juga menawarkan pelayanan yang baik, jaminan keamanan memadai, harga yang murah, dan tepat waktu.
medcom.id, Jakarta: Polemik keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan uji materi Permenhub Nomor 26 Tahun 2017 perlu disikapi bijak. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, keputusan masih bisa dilakukan uji publik untuk dilakukan pembenahan.
Putusan MA itu kini menuai babak baru pro kontra terkait eksistensi taksi online. Beberapa pengamat transportasi memandang, putusan MA kurang relevan jika 14 poin dalam Permenhub tersebut dianggap tidak berpayung hukum. Putusan MA Nomor 37 P/HUM/2017 itu hanya menggunakan dasar hukum Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Jalan (LLAJ).
"Walaupun keputusan MA, ini harus diuji eksaminasi karena sebenarnya apa yang diatur dalam Permenhub itu rujukannnya Undang-undang Lalin. Sementara MA memutuskan lewat Undang-undang Koperasi," kata Tulus Kepada
Metrotvnews.com, Jumat 25 Agustus 2017.
Tulus memaparkan, uji eksaminasi atau uji publik tersebut bisa dilakukan sebagai proses pembuktian keputusan MA. Penilaian untuk pembenahan maupun perubahan keputusan tersebut bisa dilakukan secara non-yuridis.
"Uji publik terhadap keputusan MA bisa dilakukan Kementerian Perhubungan atau pihak lain sehingga bisa dinilai apakah MA sudah tepat atau tidak dalam keputusannya itu," Tulus memaparkan.
Perjuangan pada titik kepentingan masyarakat yang lebih luas mesti dilakukan. Menurut Tulus, Kemenhub dituntut untuk segera memberikan solusi aturan pengganti.
"Nah, sekarang Kemenhub harus membuat regulasi baru yang tentu menyesuaikan putusan dari MA agar tidak bertentangan," ujar dia.
Hakim MA mengabulkan gugatan pengemudi online atas Permenhub Nomor 26 Tahun 2017. Dalam putusan bernomor 37 P/HUM/2017, MA menyatakan angkutan sewa khusus berbasis aplikasi online adalah konsekuensi logis dari perkembangan teknologi informasi. Apalagi, moda transportasi online juga menawarkan pelayanan yang baik, jaminan keamanan memadai, harga yang murah, dan tepat waktu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)