Jakarta: Persilangan jalur kereta api dengan jalan raya atau kerap disebut sebagai perlintasan KA sebidang sering kali dianggap tidak ada oleh sejumlah pengguna jalan.
Adanya rambu-rambu sebagai peringatan hingga suara bel yang khas tak menyurutkan niat sejumlah pengendara maupun pejalan kaki untuk berhenti dan mendahulukan kereta yang akan melintas. Akibatnya, sering kali kecelakaan yang melibatkan pengguna jalan dengan kereta api tak bisa dihindarkan.
Kasubdit Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Yus Rizal mengatakan hampir semua kasus kecelakaan yang terjadi di perlintasan kereta api sebidang membuat korbannya meninggal seketika.
"Karena manusia melawan besi yang sangat berat," katanya, dalam Newsline, Senin 18 Desember 2017.
Yus menyebut angka kecelakaan di perlintasan kereta api sebidang sampai 2017 terbilang tinggi. Ada lebih dari 1.280 orang menjadi korban. Ia memprediksi angka tersebut akan terus bertambah setiap harinya.
Asumsi tersebut muncul setelah DJKA menginventarisasi jumlah perlintasan sebidang yang ada di Indonesia. Terutama di wilayah Jawa dan Sumatera. Ada sekitar 5.800 perlintasan sebidang baik yang resmi dijaga maupun yang liar.
"Kita tahu setiap hari terjadi penambahan perlintasan liar mulai dari yang hanya 1 meter untuk dilintasi orang dan sepeda hingga kendaraan bermotor. Dari perlintasan yang tidak dijaga tersebut berpotensi besar terjadinya kecelakaan," kata Yus.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama peneliti Institut Studi Transportasi Deddy Herlambang juga menyebut tingginya angka kecelakaan juga salah satunya dipengaruhi oleh tingkat kesadaran masyarakat akan keselamatan sangat rendah ketika berlalu lintas.
Memang, dalam jangka pendek pemerintah bisa meminta aparat penegak hukum untuk melakukan penindakan seperti tilang bagi pelanggar yang melintas jalur sebidang ketika KA sudah berada sangat dekat. Namun efek jera semacam itu hanya berlaku sementara.
"Kalau kita mau investasi jangka panjang, perlu masuk ke kurikulum sekolah tentang disiplin berlalu lintas. Kita investasi hari ini mungkin 5 tahun mendatang bisa dinikmati," kata Deddy.
Menerapkan disiplin berlalu lintas ke sekolah-sekolah mungkin menjadi tugas ekstra bagi pemerintah dan pihak-pihak terkait. Namun keuntungan yang bisa diperoleh nanti, mungkin saja di kemudian hari rambu atau bel peringatan tak lagi diperlukan.
"Di situ mungkin tak lagi perlu rambu-rambu ketat atau polisi karena kesadaran masyarakat sudah ada. Tapi kalau penegakan hukum sekadar tilang ya hanya berlaku hari ini besok bisa terjadi lagi," jelasnya.
Jakarta: Persilangan jalur kereta api dengan jalan raya atau kerap disebut sebagai perlintasan KA sebidang sering kali dianggap tidak ada oleh sejumlah pengguna jalan.
Adanya rambu-rambu sebagai peringatan hingga suara bel yang khas tak menyurutkan niat sejumlah pengendara maupun pejalan kaki untuk berhenti dan mendahulukan kereta yang akan melintas. Akibatnya, sering kali kecelakaan yang melibatkan pengguna jalan dengan kereta api tak bisa dihindarkan.
Kasubdit Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Yus Rizal mengatakan hampir semua kasus kecelakaan yang terjadi di perlintasan kereta api sebidang membuat korbannya meninggal seketika.
"Karena manusia melawan besi yang sangat berat," katanya, dalam
Newsline, Senin 18 Desember 2017.
Yus menyebut angka kecelakaan di perlintasan kereta api sebidang sampai 2017 terbilang tinggi. Ada lebih dari 1.280 orang menjadi korban. Ia memprediksi angka tersebut akan terus bertambah setiap harinya.
Asumsi tersebut muncul setelah DJKA menginventarisasi jumlah perlintasan sebidang yang ada di Indonesia. Terutama di wilayah Jawa dan Sumatera. Ada sekitar 5.800 perlintasan sebidang baik yang resmi dijaga maupun yang liar.
"Kita tahu setiap hari terjadi penambahan perlintasan liar mulai dari yang hanya 1 meter untuk dilintasi orang dan sepeda hingga kendaraan bermotor. Dari perlintasan yang tidak dijaga tersebut berpotensi besar terjadinya kecelakaan," kata Yus.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama peneliti Institut Studi Transportasi Deddy Herlambang juga menyebut tingginya angka kecelakaan juga salah satunya dipengaruhi oleh tingkat kesadaran masyarakat akan keselamatan sangat rendah ketika berlalu lintas.
Memang, dalam jangka pendek pemerintah bisa meminta aparat penegak hukum untuk melakukan penindakan seperti tilang bagi pelanggar yang melintas jalur sebidang ketika KA sudah berada sangat dekat. Namun efek jera semacam itu hanya berlaku sementara.
"Kalau kita mau investasi jangka panjang, perlu masuk ke kurikulum sekolah tentang disiplin berlalu lintas. Kita investasi hari ini mungkin 5 tahun mendatang bisa dinikmati," kata Deddy.
Menerapkan disiplin berlalu lintas ke sekolah-sekolah mungkin menjadi tugas ekstra bagi pemerintah dan pihak-pihak terkait. Namun keuntungan yang bisa diperoleh nanti, mungkin saja di kemudian hari rambu atau bel peringatan tak lagi diperlukan.
"Di situ mungkin tak lagi perlu rambu-rambu ketat atau polisi karena kesadaran masyarakat sudah ada. Tapi kalau penegakan hukum sekadar tilang ya hanya berlaku hari ini besok bisa terjadi lagi," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)