Petugas melakukan pemeriksaan kolam akselerator di Instalasi Pengolahan Air (IPA) milik PT PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA) di Pejompongan, Jakarta, Senin (5/9/2011). Foto: Antara/Widodo S. Jusuf
Petugas melakukan pemeriksaan kolam akselerator di Instalasi Pengolahan Air (IPA) milik PT PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA) di Pejompongan, Jakarta, Senin (5/9/2011). Foto: Antara/Widodo S. Jusuf

PAM Jaya Loyo

Yanurisa Ananta • 24 Oktober 2017 06:49
medcom.id, Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sepatutnya mematuhi aturan hukum dan untuk mengeksekusi keputusan MA memutus swastanisasi air. Selama ini pun, swastanisasi memang tidak berdampak terhadap pelayanan secara signifikan. Janji air PAM bisa langsung diminum tidak terbukti.
 
"Jumlah cakupan pelanggan juga tidak bertambah. Pelanggan PAM Jaya masih di bawah 50%. Jadi, swastanisasi itu gagal mengubah performa PAM Jaya menjadi lebih baik. Baik dari sisi hilir dan hulu," kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi saat dihubungi, kemarin.
 
Sementara itu, PAM Jaya sendiri mengklaim bahwa lima tahun belakangan keuntungan PAM Jaya semakin meningkat.

Pada 2013 lalu keuntungan sebesar Rp64 miliar, pada 2014 keuntungan sebesar Rp66 miliar, pada 2015 keuntungan mencapai Rp96 miliar, dan 2016 mencapai Rp126 miliar.
 
Aset yang dimiliki PAM Jaya pun terbilang lancar dengan tingkat kesehatan keuangan yang baik.
 
Persoalan kualitas dan kuantitas ini di mata pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia Trubus Rahardiansyah berkaitan dengan swastanisasi air yang selama ini terjadi di Jakarta.
 
Menurutnya, sudah selayaknya Jakarta sebagai ibu kota kembali pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33 Ayat 33 yang mengatakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
 
"Swastanisasi ini berdampak pada harga yang melambung tinggi. Naiknya sampai 42% tarif air itu. Di zaman Gubernur Fauzi Bowo (Foke) hampir seluruh pekerjaan diserahkan ke swasta. Dilacak secara hukum tidak masuk akal, alasannya karena APBD tidak kuatlah. Padahal, lebih banyak politisnya," tutur Trubus.
 
Transfer ilmu
 
Bila memang PAM Jaya ingin seutuhnya mengelola air di Jakarta sendiri, harus dipastikan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki harus mumpuni.
 
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Nirwono Joga mengatakan harus ada transfer ilmu dari PT Aetra dan PT Palyja ke PAM Jaya tentang pengelolaan air secara berkelanjutan dan ramah lingkungan.
 
"Ini memang buntut dari pencabutan UU Sumber Daya Air yang lalu dengan pengelolaan air harus dikelola pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Persoalannya bagaimana dengan kesiapan SDM pemda kita? Harus ada transfer ilmu dari swasta kepada PAM tentang pengelolaan air secara berkelanjutan," jelas Nirwono Joga.
 
Mulanya, swastanisasi pengelolaan air di Indonesia terjadi sejak 1991. Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRUHA) Muhammad Reza Sahib mengatakan ide swastanisasi muncul ketika Bank Dunia memberikan pinjaman sebesar US$92 juta kepada PAM Jaya.
 
Mereka berasumsi, PAM Jaya saat itu lemah baik dalam hal finansial maupun teknis.
 
Pada 10 April 2017, putusan MA dengan Nomor 31 K/Pdt/2017 telah mengabulkan kasasi koalisi dan memerintahkan pengelolaan air di Jakarta oleh Palyja dan Aetra dikembalikan sepenuhnya ke PAM Jaya.
 
Berkas putusan soal perintah agar swastanisasi air di Jakarta dihentikan itu baru diunggah ke laman resmi MA pada 10 Oktober 2017.
 
Koalisi terdiri atas Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Solidaritas Perempuan, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRUHa), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi Jakarta), Koalisi Antiutang (KAU), Urban Poor Consortium (UPC), Front Perjuangan Pemuda Indonesia, Jaringan Rakyat Miskin Kota, dan Indonesia Corruption Watch (ICW).
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan