medcom.id, Jakarta: Nama baru bermunculan dalam kasus pembelian lahan oleh Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintahan Daerah DKI senilai Rp648 miliar. Saat ini, nama yang kerap kali disebut ialah Rudy Hartono Iskandar dan Aceng Sutiyaman.
Rudy merupakan kuasa hukum pemilik lahan Cengkareng Toeti Noezlar Soekarno, sedangkan Aceng Sutiyaman merupakan petugas notaris yang mengurus sertifikat tanah tersebut.
Rahidin Nur, orang tua Aceng menerangkan masalah sengketa lahan seluas 4,6 hektare itu. Ia menuding Rudy, penerima uang hasil penjual tanah, sebagai pelaku utama. Ia menyebut Rudy merupakan mafia tanah yang bersembunyi di balik nama Koen Soekarno, suami Toeti.
"Permasalahannya, dia enggak punya tanah dan enggak punya girik. Lalu, tiba-tiba dia buat sertifikat atas nama Koen," kata Rahidin kepada Metrotvnews.com di Kantor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Jakarta Pusat, Jumat (1/7/2016).
Saat hendak menerbitkan sertifikat, Rudy hanya mengandalkan laporan kehilangan Surat Pelepasan Hak (SPH) tanah dari kepolisian. Ia lalu membuat sertifikat atas nama Koen Soekarno. Alasannya pun terdengar janggal. Nama Soekarno yang tertera di belakang nama Koen diklaim sebagai tanda kliennya merupakan keturunan Presiden Pertama Indonesia.
Bukti pembayaran tanah/MTVN/LB. Ciputri Hutabarat
Koen wafat ketika proses pembuatan surat masih berjalan. Toeti bersama Nafis sebagai ahli waris kemudian melanjutkan proses tersebut. Pada November 2015, Toeti menjual tanah itu kepada Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintahan Pemprov DKI.
Namun, Pemprov DKI membayar uang tanah kepada Rudy sebagai kuasa pemilik lahan. Sebelum transaksi jual beli, Aceng sudah memberitahu Gubenur DKI Basuki Tjahja Purnama (Ahok) soal beberapa kejanggalan dalam jual beli tanah itu.
"Pada 4 November 2015, saya, anak saya, sama teman saya datang ke Balai Kota untuk menemui Pak Ahok. Anak saya kasih tahu ke dia kalau Pemprov harus menunda pembayaran dan membatalkan jual beli," terang Rahidin.
Namun, Ahok disebut tak begitu menggubris ucapan Aceng. Ahok hanya menjawab, bila ingin mengagalkan, Aceng dipersilakan menggugat ke pengadilan. Saat proses pengumpulan data sedang berjalan, justru Aceng yang ditahan polisi.
"Alasan anak saya ditahan karena mengahalang-halangi proses jual beli tanah Toeti ke pemerintah dan telah merugikan Toeti," ucap dia.
Sebelumnya, Aceng bekerja sebagai staf di kantor notaris di kawasan Jakarta Barat. Pada akhir 2015, ia ditetapkan sebagai tersangka. Aceng divonis satu tahun dua bulan, pada 20 Januari 2016.
"Saat ini anak saya mau banding. Anak saya tahu semuanya soal lahan itu. Kalau mau tahu datang saja ke Rutan Salemba," ujarnya.
Lahan di Cengkareng Barat yang kini menjadi masalah/MTVN/Wanda Indana
Aceng mengetahui Pemprov DKI hanya akan membeli sertifikat bodong milik Toeti. "Kalau Pemprov beli tanahnya sendiri itu enggak ada. Malah, Pemrov beli sertifikat yang tanahnya enggak ada," kata Rasidin usai menjalani BAP di BPK.
Sebetulnya, tanah tersebut sudah menjadi objek sengketa jauh sebelum bekas Sekretaris Kelurahan Cengkareng Barat Jufrianto Amin angkat suara. Jufrianto menjadi salah satu saksi kunci dalam kasus ini.
Pada 2009, Dinas Kelautan menggugat D.L. Sitorus, pemilik PT Sabar Ganda, yang tiba-tiba mengklaim pemilik tanah tersebut. DKI menggugat ke pengadilan. Di pengadilan pertama, pemerintah kalah. Namun, pada tingkat banding, DKI menang dan Sitorus diharuskan membayar denda Rp6,9 miliar.
Pembelian lahan seluas 4,6 hektare itu kembali berujung kisruh setelah menjadi salah satu temuan yang tercantum dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK atas laporan keuangan Pemerintah Provinsi DKI 2015. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama berang dan melaporkan temuan BPK ke KPK dan Bareskrim Polri. KPK maupun Bareskrim telah bergerak menyelidiki kasus ini.
medcom.id, Jakarta: Nama baru bermunculan dalam kasus pembelian lahan oleh Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintahan Daerah DKI senilai Rp648 miliar. Saat ini, nama yang kerap kali disebut ialah Rudy Hartono Iskandar dan Aceng Sutiyaman.
Rudy merupakan kuasa hukum pemilik lahan Cengkareng Toeti Noezlar Soekarno, sedangkan Aceng Sutiyaman merupakan petugas notaris yang mengurus sertifikat tanah tersebut.
Rahidin Nur, orang tua Aceng menerangkan masalah sengketa lahan seluas 4,6 hektare itu. Ia menuding Rudy, penerima uang hasil penjual tanah, sebagai pelaku utama. Ia menyebut Rudy merupakan mafia tanah yang bersembunyi di balik nama Koen Soekarno, suami Toeti.
"Permasalahannya, dia enggak punya tanah dan enggak punya girik. Lalu, tiba-tiba dia buat sertifikat atas nama Koen," kata Rahidin kepada
Metrotvnews.com di Kantor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Jakarta Pusat, Jumat (1/7/2016).
Saat hendak menerbitkan sertifikat, Rudy hanya mengandalkan laporan kehilangan Surat Pelepasan Hak (SPH) tanah dari kepolisian. Ia lalu membuat sertifikat atas nama Koen Soekarno. Alasannya pun terdengar janggal. Nama Soekarno yang tertera di belakang nama Koen diklaim sebagai tanda kliennya merupakan keturunan Presiden Pertama Indonesia.
Bukti pembayaran tanah/MTVN/LB. Ciputri Hutabarat
Koen wafat ketika proses pembuatan surat masih berjalan. Toeti bersama Nafis sebagai ahli waris kemudian melanjutkan proses tersebut. Pada November 2015, Toeti menjual tanah itu kepada Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintahan Pemprov DKI.
Namun, Pemprov DKI membayar uang tanah kepada Rudy sebagai kuasa pemilik lahan. Sebelum transaksi jual beli, Aceng sudah memberitahu Gubenur DKI Basuki Tjahja Purnama (Ahok) soal beberapa kejanggalan dalam jual beli tanah itu.
"Pada 4 November 2015, saya, anak saya, sama teman saya datang ke Balai Kota untuk menemui Pak Ahok. Anak saya kasih tahu ke dia kalau Pemprov harus menunda pembayaran dan membatalkan jual beli," terang Rahidin.
Namun, Ahok disebut tak begitu menggubris ucapan Aceng. Ahok hanya menjawab, bila ingin mengagalkan, Aceng dipersilakan menggugat ke pengadilan. Saat proses pengumpulan data sedang berjalan, justru Aceng yang ditahan polisi.
"Alasan anak saya ditahan karena mengahalang-halangi proses jual beli tanah Toeti ke pemerintah dan telah merugikan Toeti," ucap dia.
Sebelumnya, Aceng bekerja sebagai staf di kantor notaris di kawasan Jakarta Barat. Pada akhir 2015, ia ditetapkan sebagai tersangka. Aceng divonis satu tahun dua bulan, pada 20 Januari 2016.
"Saat ini anak saya mau banding. Anak saya tahu semuanya soal lahan itu. Kalau mau tahu datang saja ke Rutan Salemba," ujarnya.
Lahan di Cengkareng Barat yang kini menjadi masalah/MTVN/Wanda Indana
Aceng mengetahui Pemprov DKI hanya akan membeli sertifikat bodong milik Toeti. "Kalau Pemprov beli tanahnya sendiri itu enggak ada. Malah, Pemrov beli sertifikat yang tanahnya enggak ada," kata Rasidin usai menjalani BAP di BPK.
Sebetulnya, tanah tersebut sudah menjadi objek sengketa jauh sebelum bekas Sekretaris Kelurahan Cengkareng Barat Jufrianto Amin angkat suara. Jufrianto menjadi salah satu saksi kunci dalam kasus ini.
Pada 2009, Dinas Kelautan menggugat D.L. Sitorus, pemilik PT Sabar Ganda, yang tiba-tiba mengklaim pemilik tanah tersebut. DKI menggugat ke pengadilan. Di pengadilan pertama, pemerintah kalah. Namun, pada tingkat banding, DKI menang dan Sitorus diharuskan membayar denda Rp6,9 miliar.
Pembelian lahan seluas 4,6 hektare itu kembali berujung kisruh setelah menjadi salah satu temuan yang tercantum dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK atas laporan keuangan Pemerintah Provinsi DKI 2015. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama berang dan melaporkan temuan BPK ke KPK dan Bareskrim Polri. KPK maupun Bareskrim telah bergerak menyelidiki kasus ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OJE)