Pengguna jalan melintas diantara Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berdagang di atas trotoar di Tanah Abang, Jakarta, Kamis (26/10). (Foto: ANTARA/Galih Pradipta)
Pengguna jalan melintas diantara Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berdagang di atas trotoar di Tanah Abang, Jakarta, Kamis (26/10). (Foto: ANTARA/Galih Pradipta)

Tanah Abang dan Komodifikasi Ruang

04 Desember 2017 11:23
Jakarta: Persoalan okupasi trotoar di Tanah Abang, Jakarta Pusat, seperti jadi masalah abadi. Bagaimana tidak, tahun demi tahun bahkan hingga pemerintahan terus berganti, persoalan Tanah Abang dan kesemrawutan di dalamnya belum dapat diurai.
 
Tanah Abang mungkin hanya sebuah wilayah kecil di Jakarta Pusat, namun seperti Provinsi DKI Jakarta yang memiliki gubernur atau pemimpin, Tanah Abang pun demikian. Pengamat Tata Kota Yayat Supriatna menyebutnya dengan 'gubernur' bayangan.
 
Menurut Yayat, 'gubernur' inilah yang secara tidak langsung turut campur tangan dalam mengokupasi trotoar yang sejatinya diperuntukan bagi pejalan kaki.

"'Gubernur' ini Saya mengatakan bisa saja Dia preman. Preman, ormas, aktor, atau tokoh siapapun yang mungkin menguasai ruang tersebut bisa jadi orang yang lama di sana atau orang yang punya kuasa," ungkap Yayat, dalam News Story Insight (NSI), Kamis 30 Noveber 2017.
 
Yayat mengatakan harus diakui bahwa dalam struktur kehidupan masyarakat di perkotaan, masalah 'dunia bawah tanah' akan selalu ada dan menjadi hal yang menarik untuk dicermati. Tak sembarangan, hal menarik inilah yang justru bermuara pada kepentingan; bisnis, politik, dan sebagainya.
 
Baca juga: Anies Belum Punya Solusi Tertibkan PKL Tanah Abang
 
Dari sekian kepentingan yang menarik untuk disorot, hal lain yang sudah menjadi rahasia umum adalah soal perputaran uang di wilayah tersebut. Secara tidak langsung ketika seseorang bicara tentang Tanah Abang bukan hanya soal PKL atau okupasi trotoar, lebih dari itu ternyata ada komodifikasi ruang di dalamnya.
 
"Ada ruang transaksi yang dikomoditaskan, inilah persoalan mendasar mengapa ketika ada perekonomian dan perputaran uang yang besar banyak pihak yang ingin masuk ke sana," ujarnya.
 
Ketika uang atau faktor ekonomi menjadi hal paling mendasar dari suatu permasalahan tata kota, Yayat meyakini bahwa akan ada benturan yang terjadi antara aturan pemerintah dan aturan yang dibuat 'gubernur bayangan' itu sendiri di suatu wilayah.
 
Berbeda dengan sektor formal yang memiliki struktur organisasi resmi, 'dunia bawah tanah' di Tanah Abang tak perlu struktur secara nyata. Bagaimanapun, dalam sistem dunia sindikat orang secara fisik tak dibutuhkan yang penting gaya, suasana, dan situasi di wilayah tersebut terasa bahwa ada pihak yang mengatur secara internal urusan semacam itu.
 
"Konteks penguasaan ruang dengan kekuatan organisasi, uang, atau alat kekuasaan bisa saja terjadi karena yang dipelihara adalah kepentingannya. Pemimpin boleh berganti, tapi kepentingan ekonomi, kekuasaan, politik, perputaran bisnis gelap itu biasa terjadi," katanya.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan