medcom.id, Jakarta: "Kampung Akuarium? Itu di sana tempatnya, yang ada bangunan genting warna oranye. Akan tetapi, kampungnya sudah tidak ada lagi, sudah tidak ada orangnya lagi di sana," jawab Kasriman, warga Penjaringan, Jakarta Utara, menujuk lokasi Kampung Akuarium, saat ditanya Media Indonesia, kemarin.
Tidak ada yang salah dari jawaban pria 58 tahun itu. Dia menunjuk sebuah perkampungan yang sekarang hanya menjadi tanah gersang, panas, dan penuh dengan sampah plastik. Setahun lalu, pada 2016, kawasan itu dihancurkan alat berat dan ribuan petugas merobohkan semua bangunan rumah dan toko di sana.
Semua penduduknya berpencar ke segala penjuru daerah termasuk Lemu, 55, bersama kelima anaknya. Lemu, salah satu warga yang tinggal di Kampung Akuarium sejak 30 tahun lalu itu, kini tinggal di Rusun Marunda sesuai dengan yang dijanjikan pemerintah saat rumahnya dibongkar paksa waktu itu.
Untuk bertahan hidup, Lemu mendirikan warung kelontong di atas tanah bekas rumahnya persis di belakang Museum Bahari. Bermodal kayu dan tripleks bekas, dengan atap terpal biru Lemu berjualan minuman dingin dan kopi. Dia harus modar-mandir Marunda-Kampung Akuarium untuk berjualan.
"Dulu rumah saya di sini. Saya kembali lagi ke sini karena di Rusun Marunda tidak bisa usaha. Sepi sekali," ujarnya.
Tidak hanya Lemu yang memutuskan kembali ke kampung itu, sekitar 170 kepala keluarga memilih kembali ke sana. Mereka membangun tempat berteduh dari bahan seadanya. Kayu bekas, tripleks, dan kardus jadi dinding serta alas tempat mereka tinggal.
"Banyak warga Kampung Akurium yang terpencar ke mana-mana setelah digusur, akhirnya mereka kembali ke sini. Kami merasa ada harapan baru. Kami bertahan dengan seadanya," terangnya.
Baca: Warga Kampung Akuarium Berharap Anies Penuhi Janji
Sembari melayani pembeli di warungnya, Lemu semringah saat mengingat dan menceritakan geliat ekonomi di kampungnya itu.
"Saya masih ingat betul bagaimana kampung ini selalu ramai. Banyak toko. Toko emas, agen, sampai cabang bank pun ada. Namun, sekarang mau bilang apa, tinggal bagaimana gubernur yang baru bisa mewujudkan harapan kami," harapnya.
Menata bukan menggusur
Memasuki kawasan 'bekas' kampung tersebut, terlihat tumpukan sampah plastik yang sudah bertahun bercampur tanah. Di sudut kanan jalan masuk, tiga rumah berbentuk petak dengan keempat atap sudut miring masih berdiri.
"Cuma rumah itu yang tidak dirobohkan karena itu cagar budaya rumah peninggalan zaman Portugis. Namun di dalamnya sudah dibongkar, sudah tidak berbentuk," ujarnya.
Melangkah lebih dalam, puluhan bangunan seadanya berdiri tidak beraturan dan berpencar. Di bagian tengah, warga membangun musala yang diberi nama Al-Jihad. Di depannya berdiri balai tempat anak-anak belajar dan bermain bersama. Di sudut kiri, sebuah balai tertutup untuk pertemuan warga didirikan dengan cat berwarna merah jambu. Tidak jauh dari kedua balai terdapat toilet umum yang dirawat bergantian.
"Sudah lebih dari satu tahun seperti ini, kami kehilangan masa depan dan harta benda, tapi tempat ini dibiarkan begitu saja. Saya berharap gubernur baru menatanya, bukan menggusur," kata Lemu sambil menangis.
Yani, 40, salah satu warga yang bertahan di sana, mengungkapkan mereka rerata sama mendapat harapan baru dan yakin gubernur memberikan solusi tepat tanpa menggusur.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/akWyZxBN" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: "Kampung Akuarium? Itu di sana tempatnya, yang ada bangunan genting warna oranye. Akan tetapi, kampungnya sudah tidak ada lagi, sudah tidak ada orangnya lagi di sana," jawab Kasriman, warga Penjaringan, Jakarta Utara, menujuk lokasi Kampung Akuarium, saat ditanya Media Indonesia, kemarin.
Tidak ada yang salah dari jawaban pria 58 tahun itu. Dia menunjuk sebuah perkampungan yang sekarang hanya menjadi tanah gersang, panas, dan penuh dengan sampah plastik. Setahun lalu, pada 2016, kawasan itu dihancurkan alat berat dan ribuan petugas merobohkan semua bangunan rumah dan toko di sana.
Semua penduduknya berpencar ke segala penjuru daerah termasuk Lemu, 55, bersama kelima anaknya. Lemu, salah satu warga yang tinggal di Kampung Akuarium sejak 30 tahun lalu itu, kini tinggal di Rusun Marunda sesuai dengan yang dijanjikan pemerintah saat rumahnya dibongkar paksa waktu itu.
Untuk bertahan hidup, Lemu mendirikan warung kelontong di atas tanah bekas rumahnya persis di belakang Museum Bahari. Bermodal kayu dan tripleks bekas, dengan atap terpal biru Lemu berjualan minuman dingin dan kopi. Dia harus modar-mandir Marunda-Kampung Akuarium untuk berjualan.
"Dulu rumah saya di sini. Saya kembali lagi ke sini karena di Rusun Marunda tidak bisa usaha. Sepi sekali," ujarnya.
Tidak hanya Lemu yang memutuskan kembali ke kampung itu, sekitar 170 kepala keluarga memilih kembali ke sana. Mereka membangun tempat berteduh dari bahan seadanya. Kayu bekas, tripleks, dan kardus jadi dinding serta alas tempat mereka tinggal.
"Banyak warga Kampung Akurium yang terpencar ke mana-mana setelah digusur, akhirnya mereka kembali ke sini. Kami merasa ada harapan baru. Kami bertahan dengan seadanya," terangnya.
Baca: Warga Kampung Akuarium Berharap Anies Penuhi Janji
Sembari melayani pembeli di warungnya, Lemu semringah saat mengingat dan menceritakan geliat ekonomi di kampungnya itu.
"Saya masih ingat betul bagaimana kampung ini selalu ramai. Banyak toko. Toko emas, agen, sampai cabang bank pun ada. Namun, sekarang mau bilang apa, tinggal bagaimana gubernur yang baru bisa mewujudkan harapan kami," harapnya.
Menata bukan menggusur
Memasuki kawasan 'bekas' kampung tersebut, terlihat tumpukan sampah plastik yang sudah bertahun bercampur tanah. Di sudut kanan jalan masuk, tiga rumah berbentuk petak dengan keempat atap sudut miring masih berdiri.
"Cuma rumah itu yang tidak dirobohkan karena itu cagar budaya rumah peninggalan zaman Portugis. Namun di dalamnya sudah dibongkar, sudah tidak berbentuk," ujarnya.
Melangkah lebih dalam, puluhan bangunan seadanya berdiri tidak beraturan dan berpencar. Di bagian tengah, warga membangun musala yang diberi nama Al-Jihad. Di depannya berdiri balai tempat anak-anak belajar dan bermain bersama. Di sudut kiri, sebuah balai tertutup untuk pertemuan warga didirikan dengan cat berwarna merah jambu. Tidak jauh dari kedua balai terdapat toilet umum yang dirawat bergantian.
"Sudah lebih dari satu tahun seperti ini, kami kehilangan masa depan dan harta benda, tapi tempat ini dibiarkan begitu saja. Saya berharap gubernur baru menatanya, bukan menggusur," kata Lemu sambil menangis.
Yani, 40, salah satu warga yang bertahan di sana, mengungkapkan mereka rerata sama mendapat harapan baru dan yakin gubernur memberikan solusi tepat tanpa menggusur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)