medcom.id: Berita penggusuran selalu mengusik emosi kemanusiaan. Bagi korban penggusuran, mereka tak cuma kehilangan tempat tinggal yang merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, tapi juga tercerabut dari komunitasnya.
Di dalam sejarah pembangunan, penggusuran sulit dihindarkan. Kebutuhan terus berkembang seiring meningkatnya jumlah penduduk, mobilitas dan dinamikanya, memaksa kota terus 'menyediakan' lahan-lahan baru.
Meski begitu, sejarah mencatat penggusuran tak melulu berbuah pahit. Bahkan hampir semua cerita pilu itu berujung kebanggaan. Memang bukan kebanggaan bagi pribadi-pribadi yang tergusur, namun kebanggaan kolektif sebagai warga atau bangsa secara luas. Boleh jadi pada akhirnya para korban penggusuran ikut berbangga melihat di atas lahan yang dahulu tempat toilet, kamar atau terasnya berada telah berdiri fasilitas baru yang bermanfaat bagi banyak orang.
Sebut saja pembuatan alun-alun raksasa di tengah Manhattan, New York, Amerika Serikat, yakni Central Park. Kini, taman yang menyimpan cerita penggusuran besar-besaran tersebut menjadi kebanggaan warganya. Bahkan tujuan wisata wajib bagi para turis yang plesiran ke Big Apple.
Dibangun pada 1853, Central Park awalnya hanya seluas 280 hektar dan menggusur lebih dari 1.600 rumah warga menengah ke bawah. Central Park terus diperluas di tahun-tahun berikutnya, hingga memiliki luas 315 hektar.
Bukan sekadar membanggakan, secara fugsi pun memenuhi kebutuhan New York sebagai kota yang sibuk dan penuh polusi. Taman ini menjadi paru-paru kota dan tempat pelarian warga dikala penat tiba.
Di Indonesia, ada Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta Timur, yang mulai dibangun pada 1972. Taman budaya seluas 150 hektar ini merupakan simbol kebanggaan bangsa atas kekayaan budaya Indonesia.
Di dalam prosesnya, pembangunan TMII menggusur ribuan rumah warga. Sejumlah aktivis mahasiswa berdiri di depan barisan warga, memprotes, menolak pembangunan TMII.
Terlepas dari sejarah penggusuran itu, Taman Mini hingga kini menjadi tempat yang amat sangat tepat untuk memperkenalkan Indonesia pada generasi baru. Waktu sehari tak bakal cukup masuk ke 33 anjungan daerah yang ada.
Lantas bagaimana nasib warga tergusur?
Seiring dengan meningkatnya penghargaan pada hak azasi manusia, korban gusuran tak lagi 'dibuang'. Sebelum digusur, diajak berunding, ditempatkan di rumah susun termasuk fasilitasnya.
Di dalam kasus penggusuran hunian liar bantaran Waduk Pluit, Jakarta Utara, proses relokasi warga ke rusun berlangsung sukses. Kesuksesan Pluit dirasa tepat dijadikan model untuk diterapkan di lokasi lain.
Namun yang perlu diperhatikan, relokasi bukan hanya persoalan pindah rumah, tapi juga terkait hajat hidup. Kasus-kasus penolakan warga tergusur terhadap rumah pengganti yang disiapkan, perlu di evaluasi.
Kasus warga tergusur di Pasar Ikan, Jakarta Utara yang mayoritas nelayan, contohnya, lokasi rumah baru yang jauh diklaim akan mempengaruhi produktivitas. Bahkan ada yang menilai bisa mematikan mata pencaharian para nelayan. Sementara untuk beralih usaha, kekurangan modal.
Komunikasi antara Pemerintah dengan warga tergusur diperlukan, khususnya pada persoalan 'apa selanjutnya'. Perlu kerendahan hati dua pihak untuk mendapatkan win-win solution yang bakal menyempurnakan kebanggaan terhadap ruang baru di atas tanah gusuran.
medcom.id: Berita penggusuran selalu mengusik emosi kemanusiaan. Bagi korban penggusuran, mereka tak cuma kehilangan tempat tinggal yang merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, tapi juga tercerabut dari komunitasnya.
Di dalam sejarah pembangunan, penggusuran sulit dihindarkan. Kebutuhan terus berkembang seiring meningkatnya jumlah penduduk, mobilitas dan dinamikanya, memaksa kota terus 'menyediakan' lahan-lahan baru.
Meski begitu, sejarah mencatat penggusuran tak melulu berbuah pahit. Bahkan hampir semua cerita pilu itu berujung kebanggaan. Memang bukan kebanggaan bagi pribadi-pribadi yang tergusur, namun kebanggaan kolektif sebagai warga atau bangsa secara luas. Boleh jadi pada akhirnya para korban penggusuran ikut berbangga melihat di atas lahan yang dahulu tempat toilet, kamar atau terasnya berada telah berdiri fasilitas baru yang bermanfaat bagi banyak orang.
Sebut saja pembuatan alun-alun raksasa di tengah Manhattan, New York, Amerika Serikat, yakni Central Park. Kini, taman yang menyimpan cerita penggusuran besar-besaran tersebut menjadi kebanggaan warganya. Bahkan tujuan wisata wajib bagi para turis yang plesiran ke Big Apple.
Dibangun pada 1853, Central Park awalnya hanya seluas 280 hektar dan menggusur lebih dari 1.600 rumah warga menengah ke bawah. Central Park terus diperluas di tahun-tahun berikutnya, hingga memiliki luas 315 hektar.
Bukan sekadar membanggakan, secara fugsi pun memenuhi kebutuhan New York sebagai kota yang sibuk dan penuh polusi. Taman ini menjadi paru-paru kota dan tempat pelarian warga dikala penat tiba.
Di Indonesia, ada Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta Timur, yang mulai dibangun pada 1972. Taman budaya seluas 150 hektar ini merupakan simbol kebanggaan bangsa atas kekayaan budaya Indonesia.
Di dalam prosesnya, pembangunan TMII menggusur ribuan rumah warga. Sejumlah aktivis mahasiswa berdiri di depan barisan warga, memprotes, menolak pembangunan TMII.
Terlepas dari sejarah penggusuran itu, Taman Mini hingga kini menjadi tempat yang amat sangat tepat untuk memperkenalkan Indonesia pada generasi baru. Waktu sehari tak bakal cukup masuk ke 33 anjungan daerah yang ada.
Lantas bagaimana nasib warga tergusur?
Seiring dengan meningkatnya penghargaan pada hak azasi manusia, korban gusuran tak lagi 'dibuang'. Sebelum digusur, diajak berunding, ditempatkan di rumah susun termasuk fasilitasnya.
Di dalam kasus penggusuran hunian liar bantaran Waduk Pluit, Jakarta Utara, proses relokasi warga ke rusun berlangsung sukses. Kesuksesan Pluit dirasa tepat dijadikan model untuk diterapkan di lokasi lain.
Namun yang perlu diperhatikan, relokasi bukan hanya persoalan pindah rumah, tapi juga terkait hajat hidup. Kasus-kasus penolakan warga tergusur terhadap rumah pengganti yang disiapkan, perlu di evaluasi.
Kasus warga tergusur di Pasar Ikan, Jakarta Utara yang mayoritas nelayan, contohnya, lokasi rumah baru yang jauh diklaim akan mempengaruhi produktivitas. Bahkan ada yang menilai bisa mematikan mata pencaharian para nelayan. Sementara untuk beralih usaha, kekurangan modal.
Komunikasi antara Pemerintah dengan warga tergusur diperlukan, khususnya pada persoalan 'apa selanjutnya'. Perlu kerendahan hati dua pihak untuk mendapatkan win-win solution yang bakal menyempurnakan kebanggaan terhadap ruang baru di atas tanah gusuran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LHE)