medcom.id, Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengimbau masyarakat agar tidak berlebihan melakukan aksi 'om telolet om'. Terlebih, aksi tersebut dapat membahayakan anak-anak karena harus mengejar kendaraan hingga ke jalan raya.
"KPAI mengimbau kepada orang tua untuk melakukan pengawasan, jangan sampai kemudian (anak-anak) membahayakan diri dengan mengejar-ngejar hingga ke tengah jalan sehingga terlena dan terjadi kecelakaan," ujar Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh di kantor KPAI, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (22/12/2016).
Menurut Asrorun, anak-anak cenderung akan meniru sesuatu yang telah menjadi viral di media sosial. Dengan demikian, pemanfaatan sarana hiburan ini perlu dipastikan memiliki kepentingan edukatif.
"Sekali pun adalah rekreasi, tetapi rekreasi dalam rangka edukasi,' ucap dia.
Baca: Menimbang Tilang Klakson Telolet
Fenomena aksi 'om telolet om' ini, lanjut Asrorun, sama halnya dengan kehadiran aplikasi game berbasis virtual realty, Pokemon Go. Tidak sedikit kalangan anak-anak lantas meniru berburu Pokemon di sembarang tempat.
"Kalau pada akhirnya menghadirkan imajinasi, melalaikan kewajiban, melalaikan waktu istirahat, melalaikan keselamatan diri maka harus dilarang," kata dia.
Fenomena 'om telolet om' bermula dari teriakan yang biasa diucapkan anak-anak di pinggir jalan ketika bus besar melintas. Mereka berharap, sopir bus membunyikan klakson yang bunyinya `telolet, telolet`.
Idiom `om telolet om` menjadi ramai di jagat maya, hingga menjadi topik paling diperbincangkan di Twitter. Pengguna media sosial secara masif menulis `om telolet om`. Bahkan, secara membabi-buta menyebut idiom itu sembari menyebut akun idola mereka.
medcom.id, Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengimbau masyarakat agar tidak berlebihan melakukan aksi 'om telolet om'. Terlebih, aksi tersebut dapat membahayakan anak-anak karena harus mengejar kendaraan hingga ke jalan raya.
"KPAI mengimbau kepada orang tua untuk melakukan pengawasan, jangan sampai kemudian (anak-anak) membahayakan diri dengan mengejar-ngejar hingga ke tengah jalan sehingga terlena dan terjadi kecelakaan," ujar Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh di kantor KPAI, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (22/12/2016).
Menurut Asrorun, anak-anak cenderung akan meniru sesuatu yang telah menjadi viral di media sosial. Dengan demikian, pemanfaatan sarana hiburan ini perlu dipastikan memiliki kepentingan edukatif.
"Sekali pun adalah rekreasi, tetapi rekreasi dalam rangka edukasi,' ucap dia.
Baca: Menimbang Tilang Klakson Telolet
Fenomena aksi 'om telolet om' ini, lanjut Asrorun, sama halnya dengan kehadiran aplikasi game berbasis virtual realty, Pokemon Go. Tidak sedikit kalangan anak-anak lantas meniru berburu Pokemon di sembarang tempat.
"Kalau pada akhirnya menghadirkan imajinasi, melalaikan kewajiban, melalaikan waktu istirahat, melalaikan keselamatan diri maka harus dilarang," kata dia.
Fenomena 'om telolet om' bermula dari teriakan yang biasa diucapkan anak-anak di pinggir jalan ketika bus besar melintas. Mereka berharap, sopir bus membunyikan klakson yang bunyinya `telolet, telolet`.
Idiom `om telolet om` menjadi ramai di jagat maya, hingga menjadi topik paling diperbincangkan di Twitter. Pengguna media sosial secara masif menulis `om telolet om`. Bahkan, secara membabi-buta menyebut idiom itu sembari menyebut akun idola mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)