Jakarta: Pemerintah dinilai salah langkah dalam upaya mengendalikan polusi udara di Jabodetabek. Hal itu diungkapkan Juru Kampanye Energi dan Iklim Greenpeace Bondan Andriyanu.
Misalnya, solusi penanaman pohon. Menurut dia, tanpa adanya masalah polusi, Pemprov DKI Jakarta seharusnya sudah memenuhi target 30 persen pembuatan ruang terbuka hijau. Namun, tidak semua pohon bisa menyerap 100 persen polusi yang dihasilkan di perkotaan.
“Mau menanam berapa banyak pohon agar polusi bisa dikendalikan? Artinya kalau pohon ditanam terus tapi polusinya tetap jalan, mau sampai berapa tahun menanam pohon? Grafiknya gak ketemu, itu,” kata Bondan saat dihubungi, Senin, 21 Agustus 2023.
Dia menilai solusi kendaraan listrik yang ditawarkan pemerintah pun bukan jalan keluar. Pasalnya, dunia global menyatakan untuk mengurangi emisi, perlu dilakukan pengurangan PLTU. Nyatanya, masih banyak PLTU batu bara yang beroperasi.
“Meskipun banyak PLTU batu bara yang ditutup, banyak yang dikecualikan, misalnya untuk kepentingan industri. Jadi artinya harus membenahi sumber listriknya. Kalau kendaraan listrik, hanya memindahkan polusi dari asap kendaraan ke PLTU batu bara,” beber dia.
Menurut dia, kebijakan work from home (WFH) juga bukan solusi mengatasi polusi udara. Meski sumber polutan PM2,5 sebanyak 64 persen dari transportasi, tapi polutan SO2 berasal dari industri sebanyak 64 persen.
“Jadi apa yang diselesaikan? Gak ada. Jadi solusi yang ada belum menyentuh akar masalah,” ujar dia.
Menurut dia, Pemprov DKI tak bisa berdiri sendiri dalam penanganan polusi di Jabodetabek. Harus ada kolaborasi dengan Pemerintah Jawa Barat dan Banten karena ada pencemaran udara lintas batas.
Mungkin, lanjut dia, Jakarta memang perlu mengendalikan polusi yang berasal dari transportasi, dan PLTU yang tersisa sedikit di Jakarta. Namun, pemerintah di luar Jakarta pun harus mengendalikan cerobong industri yang masih ada dan masuk ke Jakarta.
“PLTU batu bara, misalnya Januari, ketika angin muson barat ke timur, PLTU Suralaya itu masuk dan mencemari Jakarta. Jadi ada polutan masuk dari luar Jakarta, begitu juga sebaliknya,” ujar dia.
Sementara itu, Climate Impact Associate Yayasan Indonesia Cerah, Dita Farida, menilai solusi jangka pendek yang bisa dilakukan Jakarta ialah uji emisi cerobong asap kawasan industri yang berada di Jakarta.
“Untuk solusi jangka panjang adalah melakukan sinergi dengan pemerintah wilayah sumber polusi udara terdekat. Atau sederhananya dengan menjalankan putusan gugatan warga negara dari PN Jakarta Pusat pada 16 September 2021,” tegas Diya.
Jakarta: Pemerintah dinilai salah langkah dalam upaya mengendalikan
polusi udara di Jabodetabek. Hal itu diungkapkan Juru Kampanye Energi dan Iklim Greenpeace Bondan Andriyanu.
Misalnya, solusi penanaman pohon. Menurut dia, tanpa adanya masalah polusi, Pemprov
DKI Jakarta seharusnya sudah memenuhi target 30 persen pembuatan ruang terbuka hijau. Namun, tidak semua pohon bisa menyerap 100 persen polusi yang dihasilkan di perkotaan.
“Mau menanam berapa banyak pohon agar polusi bisa dikendalikan? Artinya kalau pohon ditanam terus tapi polusinya tetap jalan, mau sampai berapa tahun menanam pohon? Grafiknya
gak ketemu, itu,” kata Bondan saat dihubungi, Senin, 21 Agustus 2023.
Dia menilai solusi kendaraan listrik yang ditawarkan pemerintah pun bukan jalan keluar. Pasalnya, dunia global menyatakan untuk mengurangi emisi, perlu dilakukan pengurangan PLTU. Nyatanya, masih banyak PLTU batu bara yang beroperasi.
“Meskipun banyak PLTU batu bara yang ditutup, banyak yang dikecualikan, misalnya untuk kepentingan industri. Jadi artinya harus membenahi sumber listriknya. Kalau kendaraan listrik, hanya memindahkan polusi dari asap kendaraan ke PLTU batu bara,” beber dia.
Menurut dia, kebijakan
work from home (WFH) juga bukan solusi mengatasi polusi udara. Meski sumber polutan PM2,5 sebanyak 64 persen dari transportasi, tapi polutan SO2 berasal dari industri sebanyak 64 persen.
“Jadi apa yang diselesaikan?
Gak ada. Jadi solusi yang ada belum menyentuh akar masalah,” ujar dia.
Menurut dia,
Pemprov DKI tak bisa berdiri sendiri dalam penanganan polusi di Jabodetabek. Harus ada kolaborasi dengan Pemerintah Jawa Barat dan Banten karena ada pencemaran udara lintas batas.
Mungkin, lanjut dia, Jakarta memang perlu mengendalikan polusi yang berasal dari transportasi, dan PLTU yang tersisa sedikit di Jakarta. Namun, pemerintah di luar Jakarta pun harus mengendalikan cerobong industri yang masih ada dan masuk ke Jakarta.
“PLTU batu bara, misalnya Januari, ketika angin muson barat ke timur, PLTU Suralaya itu masuk dan mencemari Jakarta. Jadi ada polutan masuk dari luar Jakarta, begitu juga sebaliknya,” ujar dia.
Sementara itu, Climate Impact Associate Yayasan Indonesia Cerah, Dita Farida, menilai solusi jangka pendek yang bisa dilakukan Jakarta ialah uji emisi cerobong asap kawasan industri yang berada di Jakarta.
“Untuk solusi jangka panjang adalah melakukan sinergi dengan pemerintah wilayah sumber polusi udara terdekat. Atau sederhananya dengan menjalankan putusan gugatan warga negara dari PN Jakarta Pusat pada 16 September 2021,” tegas Diya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)