Ilustrasi. (MI/Panca Syurkani)
Ilustrasi. (MI/Panca Syurkani)

Primetime News

Tarif Murah Menjebak Pengemudi Taksi Online

24 Maret 2017 09:40
medcom.id, Jakarta: Penerapan tarif transportasi berbasis aplikasi yang dinilai murah, awalnya diharapkan mampu memberikan alternatif angkutan umum yang 'ramah kantong'.
 
Sayangnya, hal itu tak berlangsung lama. Ketika sebagian besar orang ingin mendapatkan uang secara cepat dengan bergabung bersama perusahaan transportasi berbasis aplikasi, justru berbuntut tak menyenangkan.
 
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, saat ini para mitra pengemudi yang bergabung dengan perusahaan taksi online justru mulai terjebak dengan penerapan tarif murah yang menjadi kebijakan perusahaan. 

"Sekarang mereka terjebak. Mereka susah payah mengkredit mobil baru bahkan operator memfasilitasi, tapi kemudian tarifnya terlalu murah dan persaingannya ketat karena jumlah kendaraannya tidak dibatasi," kata Tulus, dalam Primetime News, Kamis 23 Maret 2017.
 
Tulus mendapatkan fakta bahwa penerapan tarif murah mulai merugikan pengemudi. Dia mengaku beberapa kali berkomunikasi dengan mitra pengemudi taksi online bahwa penerapan tarif murah justru sangat memberatkan.
 
"Pengakuan mereka selama ini yang tadinya bisa mencari income lebih cepat, lebih banyak. Misalnya Rp1 juta sekarang mencari Rp500 ribu saja susah. Belum untuk cicilan, bahan bakar dan sebagainya," katanya.
 
Menurut Tulus, seharusnya operator penyedia taksi online lebih dulu melakukan survei supply dan demand untuk mencegah oversupply di satu zona dan menghindarkan para mitra pengemudi merugi. 
 
Selain mengecek penawaran dan permintaan, operator maupun pemerintah juga mestinya punya aturan agar kemunculan taksi online tidak menimbulkan kemacetan baru. Termasuk menyiapkan solusi dengan tidak melarang adanya taksi online dan hanya perlu membuat aturan yang mengikat.
 
Misalnya melarang taksi online menarik penumpang di bandara. Selain karena menyangkut persaingan usaha, aturan ini juga untuk mencegah adanya predator tarif yang bisa membunuh operator lain.
 
"Karena kalau nanti operator taksi ini mati terbunuh predator tarif mereka akan memberlakukan tarif yang sama atau lebih mahal, dan yang dirugikan penumpang juga. Contoh yang paling jelas adalah di sektor penerbangan," jelasnya.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan