medcom.id Jakarta: Bertindak sebagai pihak terkait dalam sidang uji materi UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK), Front Pembela Islam (FPI) menyebut gugatan yang diajukan mahasiswa dan alumni Universitas Indonesia perihal pernikahan beda agama adalah sesuatu yang ngawur.
"Jika kita mengikuti pola pikir pemohon yang ngawur, bukan hanya norma agama yang ditabrak, melainkan juga tata cara atau adat istiadat pernikahan setiap suku di Indonesia menjadi tidak berarti," kata kuasa hukum FPI Mirza Zulkarnaen dalam sidang uji materi di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (14/10/2014).
Mirza mengatakan dalam pernikahan beda agama ada dua aturan dan dua norma agama berbeda yang harus diikuti pasangan. Mirza menambahkan, untuk menjamin kebebasan dalam memeluk suatu agama dan menjalankan ibadah sangat tepat jika pasangan itu memilih satu agama yang akan dianut berdasarkan perjanjian keduanya.
Tanpa mengikuti agama salah satu pihak, kata dia, pelaksanaan jaminan pernikahan hanya berdasarkan perjanjian kedua pihak. Pernikahan itu dinilai bersifat perdata atas perjanjian kedua pihak. "Selain itu, tata cara keagamaan juga dikesampingkan," kata dia.
Mirza juga berpendapat, jika Pasal 2 ayat (1) itu tidak ada, pernikahan hanya bersifat perdata biasa. Ini tidak dikenal di Indonesia. "Ini tidak dikenal di Indonesia sehingga dapat dikualifikasi pernikahan versi pemohon adalah kumpul kebo," tandas dia.
medcom.id Jakarta: Bertindak sebagai pihak terkait dalam sidang uji materi UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK), Front Pembela Islam (FPI) menyebut gugatan yang diajukan mahasiswa dan alumni Universitas Indonesia perihal pernikahan beda agama adalah sesuatu yang ngawur.
"Jika kita mengikuti pola pikir pemohon yang ngawur, bukan hanya norma agama yang ditabrak, melainkan juga tata cara atau adat istiadat pernikahan setiap suku di Indonesia menjadi tidak berarti," kata kuasa hukum FPI Mirza Zulkarnaen dalam sidang uji materi di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (14/10/2014).
Mirza mengatakan dalam pernikahan beda agama ada dua aturan dan dua norma agama berbeda yang harus diikuti pasangan. Mirza menambahkan, untuk menjamin kebebasan dalam memeluk suatu agama dan menjalankan ibadah sangat tepat jika pasangan itu memilih satu agama yang akan dianut berdasarkan perjanjian keduanya.
Tanpa mengikuti agama salah satu pihak, kata dia, pelaksanaan jaminan pernikahan hanya berdasarkan perjanjian kedua pihak. Pernikahan itu dinilai bersifat perdata atas perjanjian kedua pihak. "Selain itu, tata cara keagamaan juga dikesampingkan," kata dia.
Mirza juga berpendapat, jika Pasal 2 ayat (1) itu tidak ada, pernikahan hanya bersifat perdata biasa. Ini tidak dikenal di Indonesia. "Ini tidak dikenal di Indonesia sehingga dapat dikualifikasi pernikahan versi pemohon adalah kumpul kebo," tandas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(PRI)