Jakarta: Sebanyak 39 persen atau 67.907 pelajar di Jakarta tidak memiliki gawai untuk belajar daring. Pelajar yang paling banyak tidak memiliki gawai berada di jenjang sekolah dasar (SD) sebanyak 22.904 orang.
Kemudian, jenjang sekolah menengah pertama (SMP) sebanyak 21.294 orang dan sekolah menengah kejuruan (SMK) 17.604 orang. Dinas Pendidikan DKI juga memaparkan 104.091 pelajar menggunakan gawai bersama-sama untuk belajar daring.
Dari jumlah tersebut, 81.407 orang dari jenjang SD dan 15.574 orang dari jenjang SMP. Pelaksana Tugas Wakil Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Slamet, mengatakan pihaknya berkolaborasi dengan berbagai mitra agar bisa memberikan bantuan gawai bagi pelajar yang tidak memiliki gawai dan orang tua yang tidak mampu memberikan.
Bantuan komputer juga diberikan kepada guru-guru honorer yang tidak memiliki gawai untuk melakukan pembelajaran jarak jauh. "Kita coba kolaborasi dengan berbagai pihak sampai terkumpul smartphone sampai 1.732 buah, tablet 748 buah, komputer 406 buah, dan laptop 416 buah," jelas Slamet dalam diskusi virtual, Kamis, 5 Agustus 2021.
Pemprov DKI juga menyediakan wifi gratis melalui program Jak Wifi yang telah dipasang di ribuan titik dan dapat menjangkau puluhan ribu warga guna memfasilitasi pembelajaran jarak jauh. Jak Wifi dipasang di permukiman padat dan dengan demografi warga berpenghasilan rendah.
Baca: Pembelajaran Adaptif Solusi Atasi Kesenjangan Pendidikan Saat Pandemi
LaporCovid-19 bekerja sama dengan Laboratorium Intervensi dan Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia juga melakukan survei terkait pembelajaran jarak jauh. Dari 23.015 responden yang disurvei pada 30 April-15 Mei 2021, 4,56 persen pelajar tidak memiliki gawai untuk belajar, dan 20,4 persen yang memiliki satu gawai untuk dipakai bersama-sama.
Peneliti Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Dicku Pelupessy mengatakan hasil survei juga mengungkap banyak orang tua yang tidak memiliki waktu untuk mendampingi anak-anaknya belajar. "Ini mayoritas adalah orangtua dari ekonomi rendah yang memiliki pekerjaan dengan pendapatan harian. Sehingga mereka kesulitan untuk mendampingi karena keduanya harus sama-sama bekerja," jelas dia.
Jakarta: Sebanyak 39 persen atau 67.907 pelajar di Jakarta tidak memiliki gawai untuk
belajar daring. Pelajar yang paling banyak tidak memiliki gawai berada di jenjang sekolah dasar (SD) sebanyak 22.904 orang.
Kemudian, jenjang sekolah menengah pertama (SMP) sebanyak 21.294 orang dan sekolah menengah kejuruan (SMK) 17.604 orang. Dinas Pendidikan DKI juga memaparkan 104.091 pelajar menggunakan gawai bersama-sama untuk
belajar daring.
Dari jumlah tersebut, 81.407 orang dari jenjang SD dan 15.574 orang dari jenjang SMP. Pelaksana Tugas Wakil Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Slamet, mengatakan pihaknya berkolaborasi dengan berbagai mitra agar bisa memberikan bantuan gawai bagi pelajar yang tidak memiliki gawai dan orang tua yang tidak mampu memberikan.
Bantuan komputer juga diberikan kepada guru-guru honorer yang tidak memiliki gawai untuk melakukan pembelajaran jarak jauh. "Kita coba kolaborasi dengan berbagai pihak sampai terkumpul
smartphone sampai 1.732 buah, tablet 748 buah, komputer 406 buah, dan laptop 416 buah," jelas Slamet dalam diskusi virtual, Kamis, 5 Agustus 2021.
Pemprov DKI juga menyediakan wifi gratis melalui program Jak Wifi yang telah dipasang di ribuan titik dan dapat menjangkau puluhan ribu warga guna memfasilitasi pembelajaran jarak jauh. Jak Wifi dipasang di permukiman padat dan dengan demografi warga berpenghasilan rendah.
Baca: Pembelajaran Adaptif Solusi Atasi Kesenjangan Pendidikan Saat Pandemi
LaporCovid-19 bekerja sama dengan Laboratorium Intervensi dan Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia juga melakukan survei terkait pembelajaran jarak jauh. Dari 23.015 responden yang disurvei pada 30 April-15 Mei 2021, 4,56 persen pelajar tidak memiliki gawai untuk belajar, dan 20,4 persen yang memiliki satu gawai untuk dipakai bersama-sama.
Peneliti Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Dicku Pelupessy mengatakan hasil survei juga mengungkap banyak orang tua yang tidak memiliki waktu untuk mendampingi anak-anaknya belajar. "Ini mayoritas adalah orangtua dari ekonomi rendah yang memiliki pekerjaan dengan pendapatan harian. Sehingga mereka kesulitan untuk mendampingi karena keduanya harus sama-sama bekerja," jelas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)