medcom.id, Jakarta: Presiden Joko Widodo menyentil Gubernur DKI Jakarta Basuki `Ahok` Tjahaja Purnama yang tidak membelanjakan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) secara maksimal. Duit APBD milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp13,9 triliun diduga masih mengendap di bank umum.
Pemprov DKI Jakarta menilai Presiden Jokowi salah intrepretasi mengenai pengelolaan keuangan Ibu Kota. Kepala Badan Pengelolaan Keuangam Aset dan Daerah (BPKAD) DKI Heru Budi Hartono menerangkan, ada dua poin salah kaprah soal interpretasi tabel yang dijelaskan Presiden Jokowi pada acara Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID).
Pertama, kata Heru, perbandingan tabel tersebut kurang relevan. Pasalnya tabel itu membandingkan keuangan Pemprov DKI dengan keuangan provinsi lain. Pengelolaan keuangan daerah DKI dilakukan di tingkat provinsi. Sementara provinsi lain mengelola keuangan di tingkat kota/kabupaten.
"Jadi DKI berbeda dengan provinsi lain. Saya menyayangkan data dibuat atas sisa saldo. Harusnya sih pakai presentase," kata Heru di Gedung Pemprov DKI, Jalana Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (4/8/2016).
Dia mencontohkan, uang yang diterima Provinsi Jabar akan disalurkan langsung ke kota/kabupaten di bawahnya. Pengelolaan keuangan pun di lakukan di kota/kabupaten. Sehingga, menurut dia wajar jika saldo anggaran daerah lain lebih rendah ketimbang DKI.
"Sedangkan DKI, kita tidak menyalurlan ke kota dan semua dikelola oleh provinsi," ucap Heru.
(Baca juga: Jokowi: Ahok Duitnya Gede, Simpenannya Juga Gede)
Kedua, Heru meluruskan dana Rp13,9 triliun tersebut disimpan di Bank DKI, bukan di bank umum. Dana itu juga dana murni APBD DKI 2016 yang totalnya sekitar Rp69 triliun. Dia membantah, dana Rp13,9 triliun merupakan dana umum yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
"Jadi jangan pikir uang tersebut saya bawa-bawa simpan di rekening sendiri atau di bank biasa. Itu semua di kas daerah dan merupakan dana bergulir," jelas dia.
Masih Wajar
Dana Rp13,9 triliun merupakan dana sampai Juni 2016. Sementara data terbaru Agustus 2016, saldo akhir DKI sebesar Rp11,1 triliun. Angka ini, lanjut Heru, merupakan dana wajar sampai semester pertama pengelolaan keuangan daerah DKI.
"Ini masih safety. Dan jumlah dananya masih wajar. Kalau sisanya kedikitan malah saya yang harusnya pusing," jelas Heru.
Heru menerangkan, DKI harus menjaga agar pengelolaan keuangan daerah berada di titip safety: sisa anggaran tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu banyak. Sebab, ada pengeluaran rutin yang harus dibayarkan DKI setiap bulan.
"Harus bayar gaji pegawai tiap bulan. Air dan listrik juga kan harus dibayar. Untuk air listrik per tahun Rp2 triliun sampai Rp2,5 triliun per tahun," terang Heru.
Dengan penjelasan seperti ini, Heru menganggap wajar jika saldo akhir milik Pemprov DKI per Juni 2016 sebesar Rp13,9 triliun. Sekadar diketahui Belanja DKI sampai 29 Juli terserap 33 persen atau sekitar Rp19,8 triliun. Sementara pendapatan DKI terserap 44,6 persen atau sekitar Rp15,1 triliun.
medcom.id, Jakarta: Presiden Joko Widodo menyentil Gubernur DKI Jakarta Basuki `Ahok` Tjahaja Purnama yang tidak membelanjakan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) secara maksimal. Duit APBD milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp13,9 triliun diduga masih mengendap di bank umum.
Pemprov DKI Jakarta menilai Presiden Jokowi salah intrepretasi mengenai pengelolaan keuangan Ibu Kota. Kepala Badan Pengelolaan Keuangam Aset dan Daerah (BPKAD) DKI Heru Budi Hartono menerangkan, ada dua poin salah kaprah soal interpretasi tabel yang dijelaskan Presiden Jokowi pada acara Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID).
Pertama, kata Heru, perbandingan tabel tersebut kurang relevan. Pasalnya tabel itu membandingkan keuangan Pemprov DKI dengan keuangan provinsi lain. Pengelolaan keuangan daerah DKI dilakukan di tingkat provinsi. Sementara provinsi lain mengelola keuangan di tingkat kota/kabupaten.
"Jadi DKI berbeda dengan provinsi lain. Saya menyayangkan data dibuat atas sisa saldo. Harusnya sih pakai presentase," kata Heru di Gedung Pemprov DKI, Jalana Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (4/8/2016).
Dia mencontohkan, uang yang diterima Provinsi Jabar akan disalurkan langsung ke kota/kabupaten di bawahnya. Pengelolaan keuangan pun di lakukan di kota/kabupaten. Sehingga, menurut dia wajar jika saldo anggaran daerah lain lebih rendah ketimbang DKI.
"Sedangkan DKI, kita tidak menyalurlan ke kota dan semua dikelola oleh provinsi," ucap Heru.
(
Baca juga: Jokowi: Ahok Duitnya Gede, Simpenannya Juga Gede)
Kedua, Heru meluruskan dana Rp13,9 triliun tersebut disimpan di Bank DKI, bukan di bank umum. Dana itu juga dana murni APBD DKI 2016 yang totalnya sekitar Rp69 triliun. Dia membantah, dana Rp13,9 triliun merupakan dana umum yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
"Jadi jangan pikir uang tersebut saya bawa-bawa simpan di rekening sendiri atau di bank biasa. Itu semua di kas daerah dan merupakan dana bergulir," jelas dia.
Masih Wajar
Dana Rp13,9 triliun merupakan dana sampai Juni 2016. Sementara data terbaru Agustus 2016, saldo akhir DKI sebesar Rp11,1 triliun. Angka ini, lanjut Heru, merupakan dana wajar sampai semester pertama pengelolaan keuangan daerah DKI.
"Ini masih safety. Dan jumlah dananya masih wajar. Kalau sisanya kedikitan malah saya yang harusnya pusing," jelas Heru.
Heru menerangkan, DKI harus menjaga agar pengelolaan keuangan daerah berada di titip safety: sisa anggaran tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu banyak. Sebab, ada pengeluaran rutin yang harus dibayarkan DKI setiap bulan.
"Harus bayar gaji pegawai tiap bulan. Air dan listrik juga kan harus dibayar. Untuk air listrik per tahun Rp2 triliun sampai Rp2,5 triliun per tahun," terang Heru.
Dengan penjelasan seperti ini, Heru menganggap wajar jika saldo akhir milik Pemprov DKI per Juni 2016 sebesar Rp13,9 triliun. Sekadar diketahui Belanja DKI sampai 29 Juli terserap 33 persen atau sekitar Rp19,8 triliun. Sementara pendapatan DKI terserap 44,6 persen atau sekitar Rp15,1 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)