Sejumlah orang menggunakan masker untuk melindungi diri dari polusi udara saat menyeberang di jembatan penyeberangan orang di Sarinah, Jakarta. (Foto: ANTARA/Galih Pradipta)
Sejumlah orang menggunakan masker untuk melindungi diri dari polusi udara saat menyeberang di jembatan penyeberangan orang di Sarinah, Jakarta. (Foto: ANTARA/Galih Pradipta)

Jakarta Jadi Salah Satu Kota Paling tak Aman di Dunia

19 Oktober 2017 09:32
medcom.id, Jakarta: The Economist Intelligence Unit Safe Cities Index 2017 menempatkan Kota Jakarta sebagai salah satu kota paling tidak aman di dunia. Jakarta menduduki peringkat 57 dari 60 kota di dunia dalam memberikan rasa aman, terutama yang terkait dengan kondisi kesehatan.
 
Berdasarkan data tersebut, peringkat Jakarta merosot hingga 13 posisi menjadi peringkat 57 dengan nilai rata-rata 53,39. Persoalan kemacetan, polusi, sampah, bahkan dari sisi kesehatan dan digital menjadi faktor yang melatarbelakanginya.
 
Berkaca dari data tersebut, Pengamat Kesehatan Masyarakat Marius Widjajarta mengatakan kategori kota yang sehat adalah kota yang mampu menjamin warganya mendapatkan pelayanan kesehatan berdasarkan patient safety atau keselamatan pasien.

Prinsip keselamatan pasien itu paling tidak ditopang oleh empat pilar; norma, standar pelayanan nasional, panduan, dan aturan global yang lainnya.
 
"Khusus untuk kesehatan di sini (Kota Jakarta) lebih banyak membuat panduan standar sementara standar pelayanan nasionalnya tidak ada," ungkap Marius, dalam Selamat Pagi Indonesia, Rabu 18 Oktober 2017.
 
Marius menduga, penobatan Jakarta sebagai salah satu kota paling tidak aman dari sisi kesehatan lantaran belum memilikinya standar pelayanan nasional. Bahkan bisa dikatakan bukan hanya di Jakarta, di seluruh Indonesia pun pemerintah belum memiliki standar pelayanan nasional.
 
"Di sini, yang dibuat Kementerian Kesehatan adalah panduan. Menurut mereka itu pedoman, bukan standar. Jadi bagaimana mau sehat," kata Marius.
 
Bicara standar pelayanan nasional, Marius mengatakan hal tersebut adalah kewenangan Kementerian Kesehatan. Kemenkes bisa menggandeng pihak terkait untuk menyusun clinical pathway dan unit cost untuk setiap keluhan kesehatan yang dirasakan masyarakat.
 
Selama ini pemerintah hanya mengandalkan BPJS Kesehatan yang tidak mengacu standar pelayanan nasional seperti kota-kota lain di dunia. BPJS Kesehatan seperti diketahui menggunakan sistem paket INA CBG's case mix dengan sistem top down; mengumpulkan laporan keuangan dengan rincian biaya produksi dan biaya operasional.
 
Padahal di negara-negara lain pelayanan kesehatan didasarkan pada evidence-based atau bukti ilmiah terkini untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
 
"Jadi standarnya tidak ada. Sistemnya top down, membangun rumah sakit dari atapnya, kan tidak mungkin. Padahal WHO pondasinya evidence-based supaya pasien sehat membangun rumah sakit dari bawah, kalau dari atas hanya terjadi di dunia maya," ungkap Marius.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan