medcom.id, Jakarta: Dinas Perhubungan DKI Jakarta mendukung penuh pemasangan Air Conditioner (AC) atau pendingin udara di angkutan kota (angkot). Namun, kebijakan itu harus disesuaikan dengan kondisi wilayah.
"Untuk implementasi di Jakarta memang enggak semua bisa dilakukan (dipasang AC)," kata Kepala Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, Andri Yansyah kepada Metrotvnews.com di kantornya, Jumat 7 Juli 2017.
Andri mencontohkan, jika angkot trayek Muara Angke dipasangi pendingin udara, akan membuat sesak. Sebab, pengguna angkutan kebanyakan mereka yang pergi maupun datang ke pasar ikan.
Sementara desain angkutan berpendingin tidak dilengkapi dengan sirkulasi keluar, sehingga udara terkunci di dalam. Dampaknya, bisa membuat penumpang mabuk dan dalam jangka panjang angkutan itu tak diminati lagi.
"Harus disesuaikan dengan kondisi lapangan," imbuh Andri.
Meski demikian, kebijakan yang diambil Kementerian Perhubungan ini menurut Andri sangat bagus, terutama untuk memanjakan pelanggan angkot. Tapi, tetap membutuhkan penilaian tertentu, trayek-trayek yang akan dipasang atau tidak dipasang AC.
"Dishub mendukung penuh, karena itu bagian peningkatan pelayanan pada masyarakat," pungkas Andri.
(Baca juga: Peremajaan, Syarat Penting Program Angkot Berpendingin Udara Bisa Berjalan)
Sebelumnya, pemasangan AC dalam angkot sesuai dengan Peraturan Menteri (PM) Nomor 29 Tahun 2015. Ketua Organda, Shafrun Sinungan menyebut kebijakan itu pernah diberlakukan 2005.
Namun, nasib pengemudi angkot tak seperti yang diharapkan, yakni peningkatan taraf hidup. Salah satunya yang terjadi pada, Taat, 43, sopir sekaligus salah satu pemilik angkutan kota (angkot) M44 trayek Karet-Kampung Melayu.
Ia mencabut pendingin udara di angkotnya dengan alasan kurang diminati masyarakat. "Cuma bertahan kurang lebih satu tahun, berhenti gitu aja. Penumpang sepi mau gimana," kata Taat kepada Metrotvnews.com di Kampung Melayu, Jakarta Timur, Kamis 6 Juli 2017.
Taat menuturkan, perbedaan tarif penumpang angkot ber-AC dengan angkot biasa saat itu hanya Rp500. Masyarakat justru merasa keberatan dengan perbedaan tarif tersebut.
Penumpang yang keberatan dengan tarif itu rata-rata kelas menengah ke bawah. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka memilih naik angkot biasa ketimbang yang ber-AC.
"Rp500 saja mereka keberatan, kebanyakan kan yang naik angkot yang kerja di mal-mal, mereka yang protes. Mungkin buat mereka Rp500 kali sebulan sudah lumayan, makanya mereka milih naik angkot biasa," tutur dia.
(Baca juga: Seluruh Angkot di Jakarta Harus Ber-AC pada 2018)
medcom.id, Jakarta: Dinas Perhubungan DKI Jakarta mendukung penuh pemasangan Air Conditioner (AC) atau pendingin udara di angkutan kota (angkot). Namun, kebijakan itu harus disesuaikan dengan kondisi wilayah.
"Untuk implementasi di Jakarta memang enggak semua bisa dilakukan (dipasang AC)," kata Kepala Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, Andri Yansyah kepada
Metrotvnews.com di kantornya, Jumat 7 Juli 2017.
Andri mencontohkan, jika angkot trayek Muara Angke dipasangi pendingin udara, akan membuat sesak. Sebab, pengguna angkutan kebanyakan mereka yang pergi maupun datang ke pasar ikan.
Sementara desain angkutan berpendingin tidak dilengkapi dengan sirkulasi keluar, sehingga udara terkunci di dalam. Dampaknya, bisa membuat penumpang mabuk dan dalam jangka panjang angkutan itu tak diminati lagi.
"Harus disesuaikan dengan kondisi lapangan," imbuh Andri.
Meski demikian, kebijakan yang diambil Kementerian Perhubungan ini menurut Andri sangat bagus, terutama untuk memanjakan pelanggan angkot. Tapi, tetap membutuhkan penilaian tertentu, trayek-trayek yang akan dipasang atau tidak dipasang AC.
"Dishub mendukung penuh, karena itu bagian peningkatan pelayanan pada masyarakat," pungkas Andri.
(Baca juga:
Peremajaan, Syarat Penting Program Angkot Berpendingin Udara Bisa Berjalan)
Sebelumnya, pemasangan AC dalam angkot sesuai dengan Peraturan Menteri (PM) Nomor 29 Tahun 2015. Ketua Organda, Shafrun Sinungan menyebut kebijakan itu pernah diberlakukan 2005.
Namun, nasib pengemudi angkot tak seperti yang diharapkan, yakni peningkatan taraf hidup. Salah satunya yang terjadi pada, Taat, 43, sopir sekaligus salah satu pemilik angkutan kota (angkot) M44 trayek Karet-Kampung Melayu.
Ia mencabut pendingin udara di angkotnya dengan alasan kurang diminati masyarakat. "Cuma bertahan kurang lebih satu tahun, berhenti gitu aja. Penumpang sepi mau gimana," kata Taat kepada Metrotvnews.com di Kampung Melayu, Jakarta Timur, Kamis 6 Juli 2017.
Taat menuturkan, perbedaan tarif penumpang angkot ber-AC dengan angkot biasa saat itu hanya Rp500. Masyarakat justru merasa keberatan dengan perbedaan tarif tersebut.
Penumpang yang keberatan dengan tarif itu rata-rata kelas menengah ke bawah. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka memilih naik angkot biasa ketimbang yang ber-AC.
"Rp500 saja mereka keberatan, kebanyakan kan yang naik angkot yang kerja di mal-mal, mereka yang protes. Mungkin buat mereka Rp500 kali sebulan sudah lumayan, makanya mereka milih naik angkot biasa," tutur dia.
(Baca juga:
Seluruh Angkot di Jakarta Harus Ber-AC pada 2018)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)