medcom.id, Jakarta: Sejumlah pasien mengantre di ruang tunggu yang berada di lantai dua Rumah Sakit Kanker Dharmais. Namun, ruang tunggu itu tampak berbeda dengan ruang tunggu yang berada tepat didepannya.
Ruang tunggu ini terasa sangat sejuk. Pantas, karena ruang yang memiliki penyejuk ruangan ini tertutup rapat. Kursinya pun memiliki busa. Ruangan yang berada di pojok RS Dharmais ini tak terlalu ramai, sangat nyaman untuk pasien. Itulah ruang tunggu untuk pasien bukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS)
Salah satu pasien non-BPJS yang enggan menyebutkan namanya mengatakan, lebih memilih membayar ketimbang mamakai kartu BPJS. Hal itu lantaran, antrean pasien BPJS cukup banyak.
"Lihat saja itu pasiennya banyak gitu. Lama. Kalo di sini kan enggak. Langsung ditangani," tuturnya kepada Metrotvnews.com, di Slipi, Jakarta Barat, (25/5/2016).
Ruang tunggu pasien non-BPJS -- Foto: MTVN/ Nur Azizah
Wanita 39 tahun itu datang bersama suaminya. Ia hendak memeriksakan benjolan yang berada di pinggang suaminya. Sekali konsultasi dia harus mengeluarkan sekitar Rp300 ribu. Sementara untuk pemeriksaan biopsi dan Computed Tomography (CT) scan ia harus merogoh hingga Rp3 juta.
Cerita lain datang dari pasien BPJS, Mega. Wanita berusia 35 tahun itu berasal dari Kalimantan Utara. Sejak Januari, ia dan suaminya Johathan Tului harus bolak-balik Jakarta-Kalimantan Utara.
"Sejak Januari Bolak-balik terus buat berobat. Tapi udah satu bulan belom juga dapet kamar. Suami saya juga belom dapet kemo ataupun sinar," kata Mega.
Dia bercerita bahwa suaminya terdeteksi kanker Nasofaring sejak 2015. Nasofaring adalah jenis kanker yang tumbuh di rongga belakang hidung dan rongga mulut.
Ruang tunggu pasien BPJS -- Foto: MTVN/ Nur Azizah
Sementara itu Direktur Utama RS Kanker Dharmais Abdul Kadir mengatakan, tidak pernah membedakan pasien BPJS maupun non-BPJS. Semua pasien mendapat fasilitas yang sama.
Ia mengakui, semenjak adanya BPJS pasien RS Kanker Dharmais meningkat. Sehari sedikitnya ada 800 pasien yang ditangani. Padahal, jumlah tempat tidur terbatas. Hanya berkisar 350 tempat tidur.
"Pasien BPJS sekitar 80 persen, 13 persen pribadi atau swasta, dan 7 persen dari perusahaan," ungkap Abdul Kadir.
Ia menjelaskan, setiap penderita kanker yang sudah dikemoterapi harus menunggu dua hingga tiga minggu untuk melanjutkan kemoterapi ke tahap selanjutnya.
"Harus menunggu dulu agar selnya tumbuh lagi. Kalo kurang dari dua minggu, pengobatan tidak bisa dilakukan. Jadi bukan menunggu karena dia BPJS atau bukan," ungkap Abdul.
Umumnya, setiap pasien harus melewati sekitar enam hingga delapan kali siklus kemoterapi. Bila, satu siklus terlewat maka pasien harus mengulang ke tahap awal.
"Sehari, RS Dharmais bisa menangani sekitar 600 pasien lama dan 200 pasien baru. Pasien baru ini memang harus menunggu. Ada waiting list. Kenapa? Karena pengobatan pasien lama tidak boleh diganggu. Kalo terputus pengobatannya harus diulang lagi," terang Abdul.
Alasan lainnya, setiap pasien yang hendak dikemoterapi dan pengobatan sinar harus dalam kondisi sehat. Itulah mengapa pasien harus menunggu cukup lama untuk mendapatkan penanganan lanjutan.
"Pengobatan menjadi tertunda kalau pasien sakit. Misalnya, fisiknya lemas dan kurang darah, itu tidak bisa. Harus menunggu agar dia dalam keadaan normal," jelasnya.
Ia berharap, agar pemerintah bisa membangun RS kanker di setiap daerah. Hal itu dikarenakan agar pasien yang berada dipelosok dapat ditangani dengan cepat.
Abdul Kadir pun mendukung penuh rencana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama membangun rumah sakit kanker baru. Namun, Pemerintah DKI sebaiknya mencari lahan kosong, bukan menggunakan lahan bekas RS Sumber Waras.
“Sebenarnya penting dijadikan rumah sakit kanker. Tapi sebaiknya Pemprov DKI bangun di lahan kosong. Biar enggak jadi polemik,” katanya.
Pemerintah DKI perlu memperhatikan lokasi yang tidak terlalu ramai dan tidak terlalu dekat dengan permukiman penduduk. “Karena itu banyak radioaktif. Perlu ada kajian lokasi sebelum membangun. Kalau perlu yang dekat balai pendidikan,” ujarnya.
medcom.id, Jakarta: Sejumlah pasien mengantre di ruang tunggu yang berada di lantai dua Rumah Sakit Kanker Dharmais. Namun, ruang tunggu itu tampak berbeda dengan ruang tunggu yang berada tepat didepannya.
Ruang tunggu ini terasa sangat sejuk. Pantas, karena ruang yang memiliki penyejuk ruangan ini tertutup rapat. Kursinya pun memiliki busa. Ruangan yang berada di pojok RS Dharmais ini tak terlalu ramai, sangat nyaman untuk pasien. Itulah ruang tunggu untuk pasien bukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS)
Salah satu pasien non-BPJS yang enggan menyebutkan namanya mengatakan, lebih memilih membayar ketimbang mamakai kartu BPJS. Hal itu lantaran, antrean pasien BPJS cukup banyak.
"Lihat saja itu pasiennya banyak gitu. Lama. Kalo di sini kan enggak. Langsung ditangani," tuturnya kepada
Metrotvnews.com, di Slipi, Jakarta Barat, (25/5/2016).
Ruang tunggu pasien non-BPJS -- Foto: MTVN/ Nur Azizah
Wanita 39 tahun itu datang bersama suaminya. Ia hendak memeriksakan benjolan yang berada di pinggang suaminya. Sekali konsultasi dia harus mengeluarkan sekitar Rp300 ribu. Sementara untuk pemeriksaan biopsi dan Computed Tomography (CT) scan ia harus merogoh hingga Rp3 juta.
Cerita lain datang dari pasien BPJS, Mega. Wanita berusia 35 tahun itu berasal dari Kalimantan Utara. Sejak Januari, ia dan suaminya Johathan Tului harus bolak-balik Jakarta-Kalimantan Utara.
"Sejak Januari Bolak-balik terus buat berobat. Tapi udah satu bulan belom juga dapet kamar. Suami saya juga belom dapet kemo ataupun sinar," kata Mega.
Dia bercerita bahwa suaminya terdeteksi kanker Nasofaring sejak 2015. Nasofaring adalah jenis kanker yang tumbuh di rongga belakang hidung dan rongga mulut.
Ruang tunggu pasien BPJS -- Foto: MTVN/ Nur Azizah
Sementara itu Direktur Utama RS Kanker Dharmais Abdul Kadir mengatakan, tidak pernah membedakan pasien BPJS maupun non-BPJS. Semua pasien mendapat fasilitas yang sama.
Ia mengakui, semenjak adanya BPJS pasien RS Kanker Dharmais meningkat. Sehari sedikitnya ada 800 pasien yang ditangani. Padahal, jumlah tempat tidur terbatas. Hanya berkisar 350 tempat tidur.
"Pasien BPJS sekitar 80 persen, 13 persen pribadi atau swasta, dan 7 persen dari perusahaan," ungkap Abdul Kadir.
Ia menjelaskan, setiap penderita kanker yang sudah dikemoterapi harus menunggu dua hingga tiga minggu untuk melanjutkan kemoterapi ke tahap selanjutnya.
"Harus menunggu dulu agar selnya tumbuh lagi. Kalo kurang dari dua minggu, pengobatan tidak bisa dilakukan. Jadi bukan menunggu karena dia BPJS atau bukan," ungkap Abdul.
Umumnya, setiap pasien harus melewati sekitar enam hingga delapan kali siklus kemoterapi. Bila, satu siklus terlewat maka pasien harus mengulang ke tahap awal.
"Sehari, RS Dharmais bisa menangani sekitar 600 pasien lama dan 200 pasien baru. Pasien baru ini memang harus menunggu. Ada waiting list. Kenapa? Karena pengobatan pasien lama tidak boleh diganggu. Kalo terputus pengobatannya harus diulang lagi," terang Abdul.
Alasan lainnya, setiap pasien yang hendak dikemoterapi dan pengobatan sinar harus dalam kondisi sehat. Itulah mengapa pasien harus menunggu cukup lama untuk mendapatkan penanganan lanjutan.
"Pengobatan menjadi tertunda kalau pasien sakit. Misalnya, fisiknya lemas dan kurang darah, itu tidak bisa. Harus menunggu agar dia dalam keadaan normal," jelasnya.
Ia berharap, agar pemerintah bisa membangun RS kanker di setiap daerah. Hal itu dikarenakan agar pasien yang berada dipelosok dapat ditangani dengan cepat.
Abdul Kadir pun mendukung penuh rencana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama membangun rumah sakit kanker baru. Namun, Pemerintah DKI sebaiknya mencari lahan kosong, bukan menggunakan lahan bekas RS Sumber Waras.
“Sebenarnya penting dijadikan rumah sakit kanker. Tapi sebaiknya Pemprov DKI bangun di lahan kosong. Biar enggak jadi polemik,” katanya.
Pemerintah DKI perlu memperhatikan lokasi yang tidak terlalu ramai dan tidak terlalu dekat dengan permukiman penduduk. “Karena itu banyak radioaktif. Perlu ada kajian lokasi sebelum membangun. Kalau perlu yang dekat balai pendidikan,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(Des)