Jakarta: Dinas Kehutanan (Dishut) DKI Jakarta menyebutkan tren makam model tumpang mengalami peningkatan. Dalam model ini, jenazah dikuburkan di petak makam keluarga atau kerabat yang sudah ada sebelumnya.
"Pada 2017, makam tumpang 37 persen, kemudian 39 persen pada 2018. Tahun ini, diprediksi meningkat lagi," kata Kepala Seksi Pelayanan dan Perpetakan Makam Dishut DKI Jakarta Ricky Putra di Jakarta, Rabu, 25 Juli 2019.
Menurut dia, jika dibandingkan dengan pembukaan petak makam baru, pemilihan makam tumpang memang masih kalah, yakni 63 persen pada 2017 dan 61 persen pada 2018. Meski demikian, permintaan makam tumpang terus naik karena keinginan keluarga memilih tempat pemakaman umum (TPU) tertentu.
"Kayak di TPU Karet Bivak, TPU Pondok Kelapa, TPU Utan Kayu, itu sudah penuh semua. Tidak bisa lagi mencari ruang makam baru," jelas Ricky.
Sebenarnya, kata dia, masih banyak lahan pemakaman di Jakarta yang longgar karena ada 84 TPU yang tersebar di lima kota administratif, belum termasuk lima TPU di Kepulauan Seribu. Namun, publik biasanya lebih memilih memakamkan keluarganya di TPU yang sudah ditempati makam sanak familinya.
"Sementara di TPU itu sudah penuh. Tidak boleh membuka petak makam baru. Ya, mau tidak mau harus model tumpang. Itu harus atas persetujuan keluarga," jelas dia.
Baca: Bekasi Kekurangan Lahan Pemakaman
Dilihat dari proyeksi kebutuhan lahan makam, sudah ada lahan siap pakai seluas 39,76 hektare untuk menampung 72.288 petak makam dengan durasi tampung hingga 2022. Untuk durasi antara 2022-2037, kata dia, masih ada lahan yang belum siap pakai seluas 195,76 hektare yang bisa menampung 355.848 petak makam.
Proyeksi kebutuhan makam itu dihitung menggunakan rasio kematian terhadap kelahiran sebesar 0,39 tahun dan tanpa memperhitungkan pengurangan terhadap lahan tumpang atau kedaluwarsa. "Artinya, tidak dihitung dengan lahan tumpang saja proyeksi kebutuhannya masih sejauh itu, apalagi ditambah dengan tumpang. Daya tampungnya bisa lebih banyak lagi," kata Ricky.
Jakarta: Dinas Kehutanan (Dishut) DKI Jakarta menyebutkan tren makam model tumpang mengalami peningkatan. Dalam model ini, jenazah dikuburkan di petak makam keluarga atau kerabat yang sudah ada sebelumnya.
"Pada 2017, makam tumpang 37 persen, kemudian 39 persen pada 2018. Tahun ini, diprediksi meningkat lagi," kata Kepala Seksi Pelayanan dan Perpetakan Makam Dishut DKI Jakarta Ricky Putra di Jakarta, Rabu, 25 Juli 2019.
Menurut dia, jika dibandingkan dengan pembukaan petak makam baru, pemilihan makam tumpang memang masih kalah, yakni 63 persen pada 2017 dan 61 persen pada 2018. Meski demikian, permintaan makam tumpang terus naik karena keinginan keluarga memilih tempat pemakaman umum (TPU) tertentu.
"Kayak di TPU Karet Bivak, TPU Pondok Kelapa, TPU Utan Kayu, itu sudah penuh semua. Tidak bisa lagi mencari ruang makam baru," jelas Ricky.
Sebenarnya, kata dia, masih banyak lahan pemakaman di Jakarta yang longgar karena ada 84 TPU yang tersebar di lima kota administratif, belum termasuk lima TPU di Kepulauan Seribu. Namun, publik biasanya lebih memilih memakamkan keluarganya di TPU yang sudah ditempati makam sanak familinya.
"Sementara di TPU itu sudah penuh. Tidak boleh membuka petak makam baru. Ya, mau tidak mau harus model tumpang. Itu harus atas persetujuan keluarga," jelas dia.
Baca: Bekasi Kekurangan Lahan Pemakaman
Dilihat dari proyeksi kebutuhan lahan makam, sudah ada lahan siap pakai seluas 39,76 hektare untuk menampung 72.288 petak makam dengan durasi tampung hingga 2022. Untuk durasi antara 2022-2037, kata dia, masih ada lahan yang belum siap pakai seluas 195,76 hektare yang bisa menampung 355.848 petak makam.
Proyeksi kebutuhan makam itu dihitung menggunakan rasio kematian terhadap kelahiran sebesar 0,39 tahun dan tanpa memperhitungkan pengurangan terhadap lahan tumpang atau kedaluwarsa. "Artinya, tidak dihitung dengan lahan tumpang saja proyeksi kebutuhannya masih sejauh itu, apalagi ditambah dengan tumpang. Daya tampungnya bisa lebih banyak lagi," kata Ricky.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)