Jakarta: Tanpa disadari penggunaan taksi daring bisa berujung petaka. Ada beberapa sebab mengapa penggunaan taksi daring menjadi lebih meresahkan ketimbang naik transportasi umum.
Pertama, bisnis antara pengemudi dan penyedia aplikasi hanya sebatas mitra. Artinya peluang bagi siapa pun menjadi pengemudi sangat terbuka lebar dan potensi ketidaksesuaian taksi daring yang datang dengan pemesanan di aplikasi sangat besar.
Pengamat Transportasi Ellen Tangkudung menilai banyak kasus antara pemesanan dengan taksi yang datang berbeda. Sayangnya mayoritas penumpang mengabaikan hal tersebut.
Terpenting bagi penumpang, kata Ellen, hanya mendapatkan taksi rasa kendaraan pribadi tanpa pelat kuning dan label dengan harga murah.
"Prinsip yang disenangi penumpang inilah yang menjadi celah kriminal. Sekarang kita lihat potensi itu menjadi sangat mungkin terjadi," katanya, dalam Metro Siang, Jumat, 27 April 2018.
Ellen mengatakan pada dasarnya penyedia aplikasi wajib melakukan pemeriksaan dan pencocokan pengemudi dan kendaraan yang didaftarkan dengan yang digunakan sebagai operasional.
Namun, lemahnya pengawasan yang diberikan penyedia aplikasi sementara pemerintah tak mampu berbuat banyak, yang bisa memastikan keamanan penumpang saat menggunakan taksi daring hanya mereka sendiri.
"Ketika yang dipesan berbeda harus yakin bahwa saya tidak mau naik itu dan sebaiknya dilaporkan. Ini saja yang bisa kita lakukan saat ini untuk menjaga diri," kata Ellen.
Menurut Ellen saat ini pemerintah sulit mengawasi taksi daring karena memang tidak semua data pengemudi dan kendaraan yang digunakan masuk ke pemerintah. Apalagi dengan sikap perusahaan penyedia aplikasi yang sulit terbuka terkait data para mitranya.
"Seharusnya pemerintah jadi pembina tapi faktanya data saja tidak punya sama sekali. Dugaan kita yang terdaftar dengan yang tidak itu lebih banyak yang tidak terdaftar. Di sinilah perlunya penyedia aplikasi untuk terbuka," ungkapnya.
Ellen menambahkan kriminalitas memang bisa datang dari mana saja selama ada peluang. Khusus taksi daring, hal pertama yang harus dipastikan penumpang selain identitas pengemudi dan kendaraan yang digunakan adalah menutup peluang itu.
Selain kewaspadaan pengguna taksi daring, penyedia aplikasi juga dituntut untuk transparan terhadap data para mitranya agar pemerintah bisa turut ambil bagian dalam mengawasi operasional taksi aplikasi tersebut.
"Kriminalitas secara umum seperti perampokan iya bisa ditindak tapi menyalahgunakan fungsi yang dilakukan pengemudi taksi daring itu belum ada makanya penyedia aplikasi juga harus transparan," pungkasnya.
Jakarta: Tanpa disadari penggunaan taksi daring bisa berujung petaka. Ada beberapa sebab mengapa penggunaan taksi daring menjadi lebih meresahkan ketimbang naik transportasi umum.
Pertama, bisnis antara pengemudi dan penyedia aplikasi hanya sebatas mitra. Artinya peluang bagi siapa pun menjadi pengemudi sangat terbuka lebar dan potensi ketidaksesuaian taksi daring yang datang dengan pemesanan di aplikasi sangat besar.
Pengamat Transportasi Ellen Tangkudung menilai banyak kasus antara pemesanan dengan taksi yang datang berbeda. Sayangnya mayoritas penumpang mengabaikan hal tersebut.
Terpenting bagi penumpang, kata Ellen, hanya mendapatkan taksi rasa kendaraan pribadi tanpa pelat kuning dan label dengan harga murah.
"Prinsip yang disenangi penumpang inilah yang menjadi celah kriminal. Sekarang kita lihat potensi itu menjadi sangat mungkin terjadi," katanya, dalam
Metro Siang, Jumat, 27 April 2018.
Ellen mengatakan pada dasarnya penyedia aplikasi wajib melakukan pemeriksaan dan pencocokan pengemudi dan kendaraan yang didaftarkan dengan yang digunakan sebagai operasional.
Namun, lemahnya pengawasan yang diberikan penyedia aplikasi sementara pemerintah tak mampu berbuat banyak, yang bisa memastikan keamanan penumpang saat menggunakan taksi daring hanya mereka sendiri.
"Ketika yang dipesan berbeda harus yakin bahwa saya tidak mau naik itu dan sebaiknya dilaporkan. Ini saja yang bisa kita lakukan saat ini untuk menjaga diri," kata Ellen.
Menurut Ellen saat ini pemerintah sulit mengawasi taksi daring karena memang tidak semua data pengemudi dan kendaraan yang digunakan masuk ke pemerintah. Apalagi dengan sikap perusahaan penyedia aplikasi yang sulit terbuka terkait data para mitranya.
"Seharusnya pemerintah jadi pembina tapi faktanya data saja tidak punya sama sekali. Dugaan kita yang terdaftar dengan yang tidak itu lebih banyak yang tidak terdaftar. Di sinilah perlunya penyedia aplikasi untuk terbuka," ungkapnya.
Ellen menambahkan kriminalitas memang bisa datang dari mana saja selama ada peluang. Khusus taksi daring, hal pertama yang harus dipastikan penumpang selain identitas pengemudi dan kendaraan yang digunakan adalah menutup peluang itu.
Selain kewaspadaan pengguna taksi daring, penyedia aplikasi juga dituntut untuk transparan terhadap data para mitranya agar pemerintah bisa turut ambil bagian dalam mengawasi operasional taksi aplikasi tersebut.
"Kriminalitas secara umum seperti perampokan iya bisa ditindak tapi menyalahgunakan fungsi yang dilakukan pengemudi taksi daring itu belum ada makanya penyedia aplikasi juga harus transparan," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(MEL)