medcom.id, Jakarta: Perkembangan perusahaan transportasi berbasis aplikasi mulai diatur pemerintah. Pada hari ini, Jumat (22/4/2016), Kementerian Perhubungan merilis Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 32/2016, tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Pudji Hartanto Iskandar memaparkan, salah satu syarat untuk perusahaan aplikasi adalah harus memiliki badan hukum. Peraturan tersebut tertuang dalam Permenhub No 32 tahun 2016 pasal 139 ayat 4.
"Peraturan lainnya, perusahaan aplikasi tidak harus kerja sama dengan perusahaan angkutan umum yang sudah mempunyai izin penyelenggaraan," kata Pudji di kantor Kemenhub, Jalan Abdul Muis, Jakarta Pusat, Jumat (22/4/2016).
Perihal tarif, Hartanto menerangkan, perusahaan aplikasi harus berdiskusi dengan perusahaan transportasi untuk menyepakati tarif. Kemudian, tarif yang sudah disepakati bersama harus disetujui Kemenhub.
Pasal 18 ayat 3 huruf c Permenhub No 32/2016 mewajibkan kendaraan sewa ber-STNK atas nama perusahaan, bukan pribadi, paling disorot. Hartanto menyampaikan, saat ini kebanyakan mobil yang digunakan perusahaan Uber maupun Grab Car masih atas nama pribadi.
"Bagaimana pun caranya, mereka harus membalikkan nama pada STNK mobil tersebut menjadi nama perusahaan. Itu harus ya," tegas Hartanto.
Selain itu, penyedia aplikasi juga harus melaporkan beberapa hal pada Dirjen Perhubungan darat. Seperti profil perusahaan, data perusahaan angkutan umum yang menjadi rekan, data pengemudi dan kendaraan, dan layanan pelanggan seperti telepon, email dan alamat kantor perusahaan.
Tidak hanya itu, perusahaan aplikasi juga harus bersedia memberikan akses pada Direktur Jenderal untuk melakukan monitoring pada operasional pelayanan.
Pasal 21 menjelaskan bahwa perusahaan angkutan umum harus memiliki izin penyelenggaraan yang dikenakan biaya sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Hartanto berharap, perusahaan transportasi dan aplikasi transportasi mematuhi aturan tersebut. Hal ini untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan penyediaan, pengemudi serta penumpang transportasi umum.
Perusahaan aplikasi dan transportasi diberikan waktu selama enam bulan untuk memenuhi peraturan yang dikeluarkan kemenhub. Bila tidak, Kemenhub tak segan akan memberikan sanksi dari pembekuan hingga pencabutan izin perusahaan.
"Kalau ada anggapan peraturan ini untuk memberangus transportasi berbasis online, itu salah. Peraturan ini justru untuk memberikan menjembatani perusahaan aplikasi dengan konvensional," tandas Hartanto.
Bulan lalu, massa Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) melakukan aksi demonstrasi. Aksi tersebut merupakan bentuk protes mereka akan keberadaan transportasi online.
Keberadaan transportasi online yang semakin digemari membuat popularitas taksi konvensional menurun. Pada akhirnya, hal ini berdampak pada penghasilan perusahaan taksi.
Para sopir taksi meminta pemerintah untuk memblokir perusahaan transportasi online. Namun, pemerintah tidak bisa serta-merta memblokir karena masyarakat memerlukan transportasi yang aman, nyaman dengan harga yang terjangkau. Dan layanan yang diberikan oleh transportasi online dianggap dapat memenuhi kebutuhan ini.
medcom.id, Jakarta: Perkembangan perusahaan transportasi berbasis aplikasi mulai diatur pemerintah. Pada hari ini, Jumat (22/4/2016), Kementerian Perhubungan merilis Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 32/2016, tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Pudji Hartanto Iskandar memaparkan, salah satu syarat untuk perusahaan aplikasi adalah harus memiliki badan hukum. Peraturan tersebut tertuang dalam Permenhub No 32 tahun 2016 pasal 139 ayat 4.
"Peraturan lainnya, perusahaan aplikasi tidak harus kerja sama dengan perusahaan angkutan umum yang sudah mempunyai izin penyelenggaraan," kata Pudji di kantor Kemenhub, Jalan Abdul Muis, Jakarta Pusat, Jumat (22/4/2016).
Perihal tarif, Hartanto menerangkan, perusahaan aplikasi harus berdiskusi dengan perusahaan transportasi untuk menyepakati tarif. Kemudian, tarif yang sudah disepakati bersama harus disetujui Kemenhub.
Pasal 18 ayat 3 huruf c Permenhub No 32/2016 mewajibkan kendaraan sewa ber-STNK atas nama perusahaan, bukan pribadi, paling disorot. Hartanto menyampaikan, saat ini kebanyakan mobil yang digunakan perusahaan Uber maupun Grab Car masih atas nama pribadi.
"Bagaimana pun caranya, mereka harus membalikkan nama pada STNK mobil tersebut menjadi nama perusahaan. Itu harus ya," tegas Hartanto.
Selain itu, penyedia aplikasi juga harus melaporkan beberapa hal pada Dirjen Perhubungan darat. Seperti profil perusahaan, data perusahaan angkutan umum yang menjadi rekan, data pengemudi dan kendaraan, dan layanan pelanggan seperti telepon, email dan alamat kantor perusahaan.
Tidak hanya itu, perusahaan aplikasi juga harus bersedia memberikan akses pada Direktur Jenderal untuk melakukan monitoring pada operasional pelayanan.
Pasal 21 menjelaskan bahwa perusahaan angkutan umum harus memiliki izin penyelenggaraan yang dikenakan biaya sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Hartanto berharap, perusahaan transportasi dan aplikasi transportasi mematuhi aturan tersebut. Hal ini untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan penyediaan, pengemudi serta penumpang transportasi umum.
Perusahaan aplikasi dan transportasi diberikan waktu selama enam bulan untuk memenuhi peraturan yang dikeluarkan kemenhub. Bila tidak, Kemenhub tak segan akan memberikan sanksi dari pembekuan hingga pencabutan izin perusahaan.
"Kalau ada anggapan peraturan ini untuk memberangus transportasi berbasis online, itu salah. Peraturan ini justru untuk memberikan menjembatani perusahaan aplikasi dengan konvensional," tandas Hartanto.
Bulan lalu, massa Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) melakukan aksi demonstrasi. Aksi tersebut merupakan bentuk protes mereka akan keberadaan transportasi online.
Keberadaan transportasi online yang semakin digemari membuat popularitas taksi konvensional menurun. Pada akhirnya, hal ini berdampak pada penghasilan perusahaan taksi.
Para sopir taksi meminta pemerintah untuk memblokir perusahaan transportasi online. Namun, pemerintah tidak bisa serta-merta memblokir karena masyarakat memerlukan transportasi yang aman, nyaman dengan harga yang terjangkau. Dan layanan yang diberikan oleh transportasi online dianggap dapat memenuhi kebutuhan ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(YDH)