medcom.id, Jakarta: Pemerintah segera membentuk Satgas Panama Papers. Menurut Jaksa Agung M Prasetyo, satgas akan diisi unsur penegak hukum, perwakilan Kementerian Keuangan, dan PPATK.
"Kami berangkat dari list yang ada, baik dari bocoran (dokumen Panama Papers) itu, saya juga punya data dari Kemenkeu dan PPATK. Tinggal dipilah-pilah," kata Prasetyo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (25/4/2016).
Namun, Prasetyo belum bisa memastikan kapan satgas tersebut bisa dibentuk. Namun Prasetyo memastikan jika pihaknya menunggu perintah dan segera menjalankan tugas setelah satgas resmi dibentuk.
"Artinya kebijakan pemerintah," lanjut Prasetyo.
Satgas, lanjut Prasetyo, akan meverifikasi, memvalidasi dan mengkaji data yang sudah dipegang. Nantinya data akan dipilah dalam beberapa bagian.
"Yang berkaitan dengan kriminalitas tentunya pelaksana hukum akan turun. Kalau berkaitan semata-mata hanya karena pajak, ya nanti Menkeu dan Dirjen Pajak yang akan bekerja," beber Prasetyo.
Menurut Prasetyo, offshore company yang tercatat di luar negeri tak semuanya dibuat berdasarkan latar belakang kejahatan. Tidak sedikit yang menjadikan itu sebagai trik bisnis, salah satunya menghindari pajak ganda.
"Ketika perusahaan kita mau invest di negara lain, dengan offshore company itu, yang nanti maju di negara tujuan itu, membuat tentunya pajaknya dikenakan di tempat investasi, negara lain itu," jelas Prasetyo.
Namun Prasetyo mengatakan jika hal ini masih bisa ditoleransi. Dibentuknya perusahaan di luar negeri biasanya dilakukan untuk memberi jaminan kepada perusahaan asing yang akan diajak bekerja sama. Sebab, ketika suatu perusahaan menjalin kerja sama, perusahaan asing cenderung tak begitu yakin dengan regulasi dan jaminan di negeri ini.
Namun, ceritanya akan berbeda ketika offshore company dibuat untuk mendukung kejahatan. Misalnya, menampung dana peredaran narkoba, terorisme, korupsi, menghindari pajak dan human trafficking.
"Tapi selebihnya dari itu, itu nanti Menkeu yang akan menyelesaikan," tandas Prasetyo.
medcom.id, Jakarta: Pemerintah segera membentuk Satgas Panama Papers. Menurut Jaksa Agung M Prasetyo, satgas akan diisi unsur penegak hukum, perwakilan Kementerian Keuangan, dan PPATK.
"Kami berangkat dari list yang ada, baik dari bocoran (dokumen Panama Papers) itu, saya juga punya data dari Kemenkeu dan PPATK. Tinggal dipilah-pilah," kata Prasetyo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (25/4/2016).
Namun, Prasetyo belum bisa memastikan kapan satgas tersebut bisa dibentuk. Namun Prasetyo memastikan jika pihaknya menunggu perintah dan segera menjalankan tugas setelah satgas resmi dibentuk.
"Artinya kebijakan pemerintah," lanjut Prasetyo.
Satgas, lanjut Prasetyo, akan meverifikasi, memvalidasi dan mengkaji data yang sudah dipegang. Nantinya data akan dipilah dalam beberapa bagian.
"Yang berkaitan dengan kriminalitas tentunya pelaksana hukum akan turun. Kalau berkaitan semata-mata hanya karena pajak, ya nanti Menkeu dan Dirjen Pajak yang akan bekerja," beber Prasetyo.
Menurut Prasetyo,
offshore company yang tercatat di luar negeri tak semuanya dibuat berdasarkan latar belakang kejahatan. Tidak sedikit yang menjadikan itu sebagai trik bisnis, salah satunya menghindari pajak ganda.
"Ketika perusahaan kita mau invest di negara lain, dengan
offshore company itu, yang nanti maju di negara tujuan itu, membuat tentunya pajaknya dikenakan di tempat investasi, negara lain itu," jelas Prasetyo.
Namun Prasetyo mengatakan jika hal ini masih bisa ditoleransi. Dibentuknya perusahaan di luar negeri biasanya dilakukan untuk memberi jaminan kepada perusahaan asing yang akan diajak bekerja sama. Sebab, ketika suatu perusahaan menjalin kerja sama, perusahaan asing cenderung tak begitu yakin dengan regulasi dan jaminan di negeri ini.
Namun, ceritanya akan berbeda ketika
offshore company dibuat untuk mendukung kejahatan. Misalnya, menampung dana peredaran narkoba, terorisme, korupsi, menghindari pajak dan
human trafficking.
"Tapi selebihnya dari itu, itu nanti Menkeu yang akan menyelesaikan," tandas Prasetyo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEN)