Terpidana kasus cessie Bank Bali Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra. Antara/Sigid Kurniawan
Terpidana kasus cessie Bank Bali Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra. Antara/Sigid Kurniawan

Penghapusan Red Notice Djoko Tjandra Dipatok Rp7 Miliar

Fachri Audhia Hafiez • 02 November 2020 19:18
Jakarta: Mantan Kepala Koordinasi dan Pengawasan (Karo Korwas) PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetyo Utomo, dan mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri, Irjen Napoleon Bonaparte, disebut mematok tarif penghapusan nama Djoko Soegiarto Tjandra dari red notice. Tarif tersebut mencapai Rp7 miliar.
 
Peristiwa ini bermula saat pengusaha, Tommy Sumardi, meminta bantuan kepada Prasetyo untuk menghapus red notice Djoko. Tommy kemudian dikenalkan ke Napoleon dan berlanjut ke sejumlah pertemuan.
 
"(Pada 17 April 2020) sekitar pukul 15.00 WIB, Tommy bersama Prasetyo menemui Napoleon. Dalam pertemuan tersebut terdakwa Napoleon menyampaikan bahwa 'red notice Djoko Tjandra bisa dibuka, karena Lyon yang buka, bukan saya. Saya bisa buka, asal ada uangnya," kata salah satu jaksa penuntut umum di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 2 November 2020.

Saat Tommy menanyakan nominal uang yang dimaksud, Napoleon menyebut Rp3 miliar. Pada 27 April 2020, Tommy menerima kiriman US$100 ribu dari Djoko untuk diserahkan ke Napoleon.
 
Baca: Tommy Sumardi Didakwa Bantu Djoko Tjandra Suap Dua Polisi
 
Dalam perjalanan menuju Kantor Kadiv Hubinter, Prasetyo terkejut dengan uang yang dibawa Tommy. Saat itu pula uang 'dibelah dua' oleh Prasetyo.
 
"Dan saat itu uang dibelah dua oleh Prasetijo Utomo dengan mengatakan 'ini buat gw, nah ini buat beliau (Napoleon)' sambil menunjukkan uang yang sudah dibagi dua," ucap jaksa.

Petinggi Kita

Setiba di Kantor Kadiv Hubinter, uang yang tersisa US$50 ribu itu diserahkan kepada Napoleon. Namun, Napoleon menolak mentah-mentah pemberian uang tersebut dan minta Rp7 miliar.
 
"Terdakwa Irjen Napoleon tidak mau menerima uang dengan nominal tersebut dengan mengatakan 'Ini apaan nih segini, enggak mau saya. Naik Ji jadi 7 (miliar), soalnya kan buat depan juga, bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau', dan berkata 'petinggi kita ini'," kata jaksa.
 
Setelah itu, Djoko terus memberikan uang kepada Napoleon melalui Tommy. Pada 28 April 2020, Napoleon menerima 200 ribu dolar Singapura. Kemudian, US$100 ribu pada 29 April 2020, US$150 ribu pada 4 Mei 2020, dan pada 5 Mei 2020 US$20 ribu.
 
Kemudian Napoleon menerbitkan surat penyampaian penghapusan 'Interpol Red Notice' atas nama Djoko Soegiarto Tjandra. Isi surat itu menyatakan red notice telah terhapus dari basis data Interpol sejak 2014 atau setelah 5 tahun.
 
Prasetyo kembali menghubungi Tommy dan meminta jatah. Prasetyo mengatakan, 'Ji, sudah beres tuh, mana nih jatah gw punya'. Besoknya Tommy memberikan US$50 ribu kepada Prasetyo.
 
Jika ditotal, kedua polisi tersebut menerima sekitar Rp8,3 miliar. Napoleon menerima 200 ribu dolar Singapura (sekitar Rp2,1 miliar, kurs 1 dolar Singapura = Rp10.700) dan US$270 ribu (sekitar Rp6,1 miliar, kurs US$1 = Rp14.700). Sedangkan Prasetyo diberikan sejumlah US$150 ribu atau sekitar Rp2,2 miliar.
 
Akibat surat dari Divisi Hubungan Internasional Polri kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), status daftar pencarian orang (DPO) Djoko dihapus dari sistem Imigrasi. Djoko mampu mengajukan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Juni 2020.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan