Jakarta: Disiplin hukum pidana disebut tidak memadai untuk menilai "iktikad baik" pihak ketiga. Oleh karena itu, diperlukan disiplin ilmu lain, yakni ekonomi (akuntansi forensik) dan antropologi (fisiognomi dan analisis gestur) dalam tahap penyidikan, penuntutan, dan pembuktian di muka persidangan.
Hal tersebut diungkapkan oleh Patra M Zen dalam presentasi disertasi di hadapan ujian atau sidang promosi doktor Program Pascasarjana Universitas Krisnadwipayana. Menurutnya, kebaruan (novelty) dalam disertasinya adalah konsep pihak ketiga yang beriktikad baik dan cara membedakan harta kekayaan yang didapat dengan kejujuran dan kewajaran, dibandingkan harta kekayaan pihak ketiga yang kotor dan tercemar (dirty and tainted property).
"Hukum acara pidana di Indonesia belum menjamin hak atas harta kekayaan pihak ketiga yang beriktikad baik," tegas Patra, dilansir dari Antara, Kamis, 29 Oktober 2020.
Sidang terbuka dipimpin oleh Ketua Program Pascasarjana Firman Wijaya yang juga selaku co-promotor II; Prof Tb Ronny Nitibaskara bertindak sebagai promotor; dan Chairul Huda selaku co-promotor I. Adapun para penguji adalah Prof Basuki Rekso W; Yenti Ganarsih; Rocky Marbun; dan Hartanto.
Lebih lanjut dia mengatakan, dari 12 putusan yang diteliti dalam disertasinya, Patra menemukan adanya irasionalitas dalam due process of law perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. "Telah terjadi ketidakadilan dan pelanggar HAM dalam due process of law dalam perkara korupsi dan tindak pidana pencucian uang di negeri ini," urai Patra.
Tidak ada kewajiban bagi penyidik, penuntut umum, maupun hakim untuk menguraikan rasionalitas penyitaan dan perampasan harta kekayaan pihak ketiga. Padahal, dalam praktik peradilan, pihak ketiga bisa dibedakan ke dalam dua kelompok, yakni pihak ketiga yang beriktikad baik dan buruk.
"Perlindungan harta kekayaan pihak ketiga atas harta kekayaan di negeri ini masih bergantung pada 'kebaikan moral' penyidik, penuntut umum, dan hakim," ujar Patra.
Sidang terbuka dihadiri oleh para mentor dan senior promovendus, di antaranya Prof Amzulian Rifai yang saat ini menjabat ketua Ombudsman Republik Indonesia (dosen Patra saat menempuh pendidikan hukum di Universitas Indonesia). Hadir pula Hotma PD Sitoempoel (advokat senior yang menjadi mentor promovendus saat di Yayasan LBH Indonesia); Ferry Lawrentius Hollen direksi Gajah Tunggal Group (salah satu group perusaaan klien promovendus); Kartini Nurdin Ketua Yayasan Obor Indonesia (penerbit); dan Dian Novita Susanto, Direktur Eksekutif Kantor Hukum Moeldoko81, tempat promovendus didapuk selaku direktur hukum.
Hadir pula Lidia Ariyanti, istri dan kelima anak Patra mendampingi promovendus. Juga orang tua dan adik-adiknya. Tampak juga ibu kandung, ayah, dan ibu mertua.
Jakarta: Disiplin hukum pidana disebut tidak memadai untuk menilai "iktikad baik" pihak ketiga. Oleh karena itu, diperlukan disiplin ilmu lain, yakni ekonomi (akuntansi forensik) dan antropologi (fisiognomi dan analisis gestur) dalam tahap penyidikan, penuntutan, dan pembuktian di muka persidangan.
Hal tersebut diungkapkan oleh Patra M Zen dalam presentasi
disertasi di hadapan ujian atau sidang promosi doktor Program Pascasarjana Universitas Krisnadwipayana. Menurutnya, kebaruan (novelty) dalam disertasinya adalah konsep pihak ketiga yang beriktikad baik dan cara membedakan harta kekayaan yang didapat dengan kejujuran dan kewajaran, dibandingkan harta kekayaan pihak ketiga yang kotor dan tercemar (
dirty and tainted property).
"Hukum acara pidana di Indonesia belum menjamin hak atas harta kekayaan pihak ketiga yang beriktikad baik," tegas Patra, dilansir dari Antara, Kamis, 29 Oktober 2020.
Sidang terbuka dipimpin oleh Ketua Program Pascasarjana Firman Wijaya yang juga selaku co-promotor II; Prof Tb Ronny Nitibaskara bertindak sebagai promotor; dan Chairul Huda selaku co-promotor I. Adapun para penguji adalah Prof Basuki Rekso W; Yenti Ganarsih; Rocky Marbun; dan Hartanto.
Lebih lanjut dia mengatakan, dari 12 putusan yang diteliti dalam disertasinya, Patra menemukan adanya irasionalitas dalam due process of law perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. "Telah terjadi ketidakadilan dan pelanggar HAM dalam due process of law dalam perkara korupsi dan tindak pidana pencucian uang di negeri ini," urai Patra.
Tidak ada kewajiban bagi penyidik, penuntut umum, maupun hakim untuk menguraikan rasionalitas penyitaan dan perampasan harta kekayaan pihak ketiga. Padahal, dalam praktik peradilan, pihak ketiga bisa dibedakan ke dalam dua kelompok, yakni pihak ketiga yang beriktikad baik dan buruk.
"Perlindungan harta kekayaan pihak ketiga atas harta kekayaan di negeri ini masih bergantung pada 'kebaikan moral' penyidik, penuntut umum, dan hakim," ujar Patra.
Sidang terbuka dihadiri oleh para mentor dan senior promovendus, di antaranya Prof Amzulian Rifai yang saat ini menjabat ketua Ombudsman Republik Indonesia (dosen Patra saat menempuh pendidikan hukum di Universitas Indonesia). Hadir pula Hotma PD Sitoempoel (advokat senior yang menjadi mentor promovendus saat di Yayasan LBH Indonesia); Ferry Lawrentius Hollen direksi Gajah Tunggal Group (salah satu group perusaaan klien promovendus); Kartini Nurdin Ketua Yayasan Obor Indonesia (penerbit); dan Dian Novita Susanto, Direktur Eksekutif Kantor Hukum Moeldoko81, tempat promovendus didapuk selaku direktur hukum.
Hadir pula Lidia Ariyanti, istri dan kelima anak Patra mendampingi promovendus. Juga orang tua dan adik-adiknya. Tampak juga ibu kandung, ayah, dan ibu mertua.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)