Jakarta: Penegakan hukum soal kasus pemerkosaan di Indonesia memilukan. Laporan pemerkosaan yang diproses tidak sampai 30 persen.
"Dari 2016 hingga 2019, kurang dari 30 persen kasus pemerkosaan yang dilaporkan kemudian diproses hukum maupun diputus di pengadilan," kata Ketua Komisi Nasional Anti (Komnas) Perempuan Andy Yentriyani dalam diskusi virtual di Jakarta, Minggu, 12 Juli 2020.
Andy mengatakan musabab mandeknya penegakan hukum. Salah satu faktor terbesar adalah pihak penyelidik yang kerap menyalahkan korban pemerkosaan.
"Serta menghambat proses penyelidikan terutama ketika pelaku adalah pejabat atau elit yang punya kuasa," ujar dia.
Komnas Perempuan, kata Andy, juga sering menerima laporan dugaan kekerasan oleh kepolisian. Sehingga ada dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Selain pemerkosaan, Andy menyoroti adanya konflik antara kelompok mayoritas dan minoritas. Dia bilang, polisi kerap memaksa kelompok minoritas tunduk pada mayoritas.
Baca: Ayah di Malang Perkosa Anak Kandung Selama 6 Tahun
Di sisi lain, Andy menyayangkan wacana penambahan wewenang kepolisian dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker). Menurut Andy, polisi seharusnya lebih dulu melaksanakan tugasnya dengan maksimal.
Dia menilai penambahan wewenang bakal semakin memberatkan tugas kepolisian. Jika gagal menunaikan tugas, citra polisi diperkirakan semakin buruk di mata masyarakat.
"Perubahan yang diberikan semakin memungkinkan reputasi pihak kepolisian dipertaruhkan," ujar dia.
Penambahan kewenangan Polri dalam RUU Ciptaker dikritisi. Polri diminta fokus memaksimalkan fungsi sesuai kewenangan yang ada.
Penambahan kewenangan itu termaktub dalam Pasal 82 RUU Ciptaker untuk mengubah Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Polri diberi wewenang mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; serta melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan.
Jakarta: Penegakan hukum soal kasus pemerkosaan di Indonesia memilukan. Laporan pemerkosaan yang diproses tidak sampai 30 persen.
"Dari 2016 hingga 2019, kurang dari 30 persen kasus pemerkosaan yang dilaporkan kemudian diproses hukum maupun diputus di pengadilan," kata Ketua Komisi Nasional Anti (Komnas) Perempuan Andy Yentriyani dalam diskusi virtual di Jakarta, Minggu, 12 Juli 2020.
Andy mengatakan musabab mandeknya penegakan hukum. Salah satu faktor terbesar adalah pihak penyelidik yang kerap menyalahkan korban pemerkosaan.
"Serta menghambat proses penyelidikan terutama ketika pelaku adalah pejabat atau elit yang punya kuasa," ujar dia.
Komnas Perempuan, kata Andy, juga sering menerima laporan dugaan kekerasan oleh kepolisian. Sehingga ada dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Selain pemerkosaan, Andy menyoroti adanya konflik antara kelompok mayoritas dan minoritas. Dia bilang, polisi kerap memaksa kelompok minoritas tunduk pada mayoritas.
Baca:
Ayah di Malang Perkosa Anak Kandung Selama 6 Tahun
Di sisi lain, Andy menyayangkan wacana penambahan wewenang kepolisian dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker). Menurut Andy, polisi seharusnya lebih dulu melaksanakan tugasnya dengan maksimal.
Dia menilai penambahan wewenang bakal semakin memberatkan tugas kepolisian. Jika gagal menunaikan tugas, citra polisi diperkirakan semakin buruk di mata masyarakat.
"Perubahan yang diberikan semakin memungkinkan reputasi pihak kepolisian dipertaruhkan," ujar dia.
Penambahan kewenangan Polri dalam RUU Ciptaker dikritisi. Polri diminta fokus memaksimalkan fungsi sesuai kewenangan yang ada.
Penambahan kewenangan itu termaktub dalam Pasal 82 RUU Ciptaker untuk mengubah Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Polri diberi wewenang mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; serta melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)