Jakarta: Proses hukum terhadap dua Hakim Agung Gazalba Saleh dan Sudrajad Dimyati ramai diperbincangkan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebut harus mendapatkan izin jaksa agung dan presiden sebelum memproses dua hakim itu.
Kebijakan itu diatur dalam Pasal 17 dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (MA). Aturan tersebut diklaim tidak berlaku mengacu dengan Pasal 46 dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
"Dalam hal seseorang ditetapkan (sebagai) tersangka oleh KPK, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut, prosedur yang berlaku dalam pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya, tidak berlaku berdasarkan undang-undang ini," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam telekonferensi yang dikutip pada Minggu, 4 Desember 2022.
KPK menilai izin ke jaksa agung dan presiden tidak wajib. Pasalnya, hal tersebut merupakan proses administrasi belaka.
"Bupati, untuk diperiksa butuh izin gubernur atau Kemendagri. Gubernur perlu butuh Kemendagri, dan selanjutnya itu prosedur-prosedur administrasi," ujar Ghufron.
Dia mengatakan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 merupakan terobosan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sehingga, KPK meyakini aturan dalam undang-undang itu lebih kuat ketimbang kebijakan izin jaksa agung dan presiden untuk memproses hukum hakim agung.
"Undang-undang ini lahirnya KPK itu untuk kemudian salah satunya untuk menerobos men-short cut barrier (hambatan) perijinan-perizinan administrasi tersebut," ucap Ghufron.
Gazalba diduga dijanjikan uang SGD202 ribu terkait pengurusan kasasi pidana terhadap Pengurus KSP Intidana Budiman Gandi Suparman. Uang itu berasal dari Pengacara Yosep Parera dan Eko Suparno yang merupakan suruhan Debitur KSP Intidana Heryanto Tanaka.
Yosep dan Eko kemudian meminta bantuan pegawai negeri sipil (PNS) di MA Desy Yustria untuk mengondisikan putusan kasasi. Setelah mendengar janji itu, Desy langsung menghubungi staf Kepaniteraan MA Nurmanto Akmal. Nurmanto kemudian meminta bantuan staf Hakim Agung Gazalba Saleh, Redhy Novarisza; dan Hakim Yustisial Prasetio Nugroho.
Kongkalikong ini membuat kubu jaksa memenangkan kasasi. Sehingga, Budiman dinyakatan bersalah dan dihukum penjara selama lima tahun.
Karena sudah menang, Yosep dan Eko menyerahkan uang tersebut secara tunai ke Desy. Pembagiannya belum dilakukan.
Total, 13 tersangka ditetapkan KPK dalam kasus dugaan suap penanganan perkara. Mereka yakni Hakim Agung, Gazalba Saleh; Hakim Yustisial, Prasetio Nugroho; dan staf Gazalba, Redhy Novarisza.
Sepuluh lainnya yakni Hakim Agung, Sudrajat Dimyati; Hakim Yudisial atau panitera pengganti, Elly Tri Pangestu (ETP); dua aparatur sipil negara (ASN) pada Kepeniteraan MA, Desy Yustria (DY) dan Muhajir Habibie (MH); serta dua ASN di MA, Nurmanto Akmal (NA) dan Albasri (AB).
Kemudian, pengacara Yosep Parera (YP) dan Eko Suparno (ES) serta Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana Heryanto Tanaka (HT), dan Debitur Koperasi Simpan Pinjam Ivan Dwi Kusuma Sujanto (IDKS).
Dalam kasus ini, Gazalba, Prasetio dan Redhy disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau b Jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Heryanto Tanaka, Yosep Parera, Eko Suparno, dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto sebagai pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 atau Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sedangkan Sudrajad Dimyati, Desy Yustria, Elly Tri Pangestu, Muhajir Habibie, Nurmanto, dan Albasri sebagai penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau b Jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Jakarta: Proses hukum terhadap dua Hakim Agung
Gazalba Saleh dan Sudrajad Dimyati ramai diperbincangkan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebut harus mendapatkan izin jaksa agung dan presiden sebelum memproses dua hakim itu.
Kebijakan itu diatur dalam Pasal 17 dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (MA). Aturan tersebut diklaim tidak berlaku mengacu dengan Pasal 46 dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
"Dalam hal seseorang ditetapkan (sebagai) tersangka oleh
KPK, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut, prosedur yang berlaku dalam pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya, tidak berlaku berdasarkan undang-undang ini," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam telekonferensi yang dikutip pada Minggu, 4 Desember 2022.
KPK menilai izin ke jaksa agung dan presiden tidak wajib. Pasalnya, hal tersebut merupakan proses administrasi belaka.
"Bupati, untuk
diperiksa butuh izin gubernur atau Kemendagri. Gubernur perlu butuh Kemendagri, dan selanjutnya itu prosedur-prosedur administrasi," ujar Ghufron.
Dia mengatakan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 merupakan terobosan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sehingga, KPK meyakini aturan dalam undang-undang itu lebih kuat ketimbang kebijakan izin jaksa agung dan presiden untuk memproses hukum hakim agung.
"Undang-undang ini lahirnya KPK itu untuk kemudian salah satunya untuk menerobos men-short cut barrier (hambatan) perijinan-perizinan administrasi tersebut," ucap Ghufron.
Gazalba diduga dijanjikan uang SGD202 ribu terkait pengurusan kasasi pidana terhadap Pengurus KSP Intidana Budiman Gandi Suparman. Uang itu berasal dari Pengacara Yosep Parera dan Eko Suparno yang merupakan suruhan Debitur KSP Intidana Heryanto Tanaka.
Yosep dan Eko kemudian meminta bantuan pegawai negeri sipil (PNS) di MA Desy Yustria untuk mengondisikan putusan kasasi. Setelah mendengar janji itu, Desy langsung menghubungi staf Kepaniteraan MA Nurmanto Akmal. Nurmanto kemudian meminta bantuan staf Hakim Agung Gazalba Saleh, Redhy Novarisza; dan Hakim Yustisial Prasetio Nugroho.
Kongkalikong ini membuat kubu jaksa memenangkan kasasi. Sehingga, Budiman dinyakatan bersalah dan dihukum penjara selama lima tahun.
Karena sudah menang, Yosep dan Eko menyerahkan uang tersebut secara tunai ke Desy. Pembagiannya belum dilakukan.
Total, 13 tersangka ditetapkan KPK dalam kasus dugaan suap penanganan perkara. Mereka yakni Hakim Agung, Gazalba Saleh; Hakim Yustisial, Prasetio Nugroho; dan staf Gazalba, Redhy Novarisza.
Sepuluh lainnya yakni Hakim Agung, Sudrajat Dimyati; Hakim Yudisial atau panitera pengganti, Elly Tri Pangestu (ETP); dua aparatur sipil negara (ASN) pada Kepeniteraan MA, Desy Yustria (DY) dan Muhajir Habibie (MH); serta dua ASN di MA, Nurmanto Akmal (NA) dan Albasri (AB).
Kemudian, pengacara Yosep Parera (YP) dan Eko Suparno (ES) serta Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana Heryanto Tanaka (HT), dan Debitur Koperasi Simpan Pinjam Ivan Dwi Kusuma Sujanto (IDKS).
Dalam kasus ini, Gazalba, Prasetio dan Redhy disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau b Jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Heryanto Tanaka, Yosep Parera, Eko Suparno, dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto sebagai pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 atau Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sedangkan Sudrajad Dimyati, Desy Yustria, Elly Tri Pangestu, Muhajir Habibie, Nurmanto, dan Albasri sebagai penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau b Jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)