Jakarta: Pengamat militer Khairul Fahmi menilai pertikaian anggota TNI-Polri bukan karena belum dilaksanakannya TAP MPR Nomor 7 Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri Sebagai Aparat Pertahanan dan Keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dia menyebut TAP MPR itu sebagian besar telah diatur dalam undang-undang (UU).
Khairul mengatakan regulasi yang belum berjalan saat ini salah satunya perubahan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dalam sejumlah kasus, kata dia, hal itu menyebabkan hambatan.
"Namun dalam konteks bentrok antar aparat, baik antarsatuan TNI, maupun antara TNI dan Polri, saya kira itu bukan masalah utama," kata Khairul kepada Medcom.id, Rabu, 1 Desember 2021.
Dia menyebut benturan antarkesatuan TNI-Polri selalu potensial terjadi. Apalagi di daerah konflik yang misinya kerap beriringan dan bersinggungan.
"Selain karena tingkat stres yang jelas lebih tinggi, kita harus mengakui bahwa para prajurit, baik TNI maupun Polri memang dicetak untuk bermental juara, selalu berkompetisi untuk menjadi yang paling unggul. Kesalahan dan kekalahan adalah hal yang dianggap sangat memalukan," ungkap Khairul.
Khairul juga melihat kesenjangan antara konstruksi realitas digital dan sosial. Pimpinan TNI-Polri kerap menampilkan sinergitas yang baik di ruang digital baik melalui beragam event dan momen seremonial.
"Namun kenyataannya, persoalan kecil saja ternyata bisa memicu perkelahian bahkan kontak senjata yang bukan saja membahayakan para prajurit itu sendiri namun juga dapat mengancam keselamatan warga masyarakat," kata pengamat intelijen itu.
Dia menyebut pimpinan TNI-Polri semestinya lebih dahulu menerapkan kedisiplinan, kepatuhan, dan kesadaran tidak melakukan tindakan memalukan dan merusak nama baik korps di lapangan. Hal itu diyakini akan menjadi teladan bagi personel di akar rumput.
"Ini persoalan yang tak bisa diselesaikan secara instan, apalagi hanya dengan bermaafan dan foto bareng. Diperlukan juga aturan main yang lebih rigid soal tugas perbantuan TNI maupun mengenai operasi militer selain perang (OMSP) yang beririsan dan bersinggungan baik dengan Polri maupun dengan kementerian dan lembaga lainnya," ucap dia.
Aparat TNI-Polri terlibat bentrok beberapa waktu lalu. Pertama, TNI-Polri adu jontos di depan pos lantas Mutiara Mardika Ambon, Maluku sekitar pukul 16.00 WIB, Rabu, 24 November 2021.
Peristiwa itu dipicu anggota TNI tak terima anggota keluarganya ditilang polisi lalu lintas (Polantas) Polresta Ambon. Anggota TNI yang berasal dari Kodam Pattimura memukul anggota polantas hingga tersungkur. Kedua belah pihak disebut telah berdamai. Namun, pemberian sanksi disiplin tetap diproses.
Peristiwa kedua, TNI-Polri dari Satgas Nanggala Kopassus dan Satgas Amole terlibat bentrok di Mess Hall, Tembagapura, Mimika, Papua pada Sabtu, 27 November 2021. Peristiwa itu dipicu komplain terkait harga rokok yang dijual enam orang anggota Satgas Amole.
Sebanyak 20 anggota TNI dari Satgas Nanggala mengeroyok enam anggota Polri. Akibatnya, anggota polisi mengalami luka-luka. Kedua belah pihak diklaim telah berdamai. Namun, anggota TNI-Polri yang terlibat bentrok dipastikan akan dikenakan sanksi disiplin.
Baca: Pengamat: Bentrok TNI-Polri Penyakit Kambuhan
Jakarta: Pengamat militer Khairul Fahmi menilai
pertikaian anggota
TNI-Polri bukan karena belum dilaksanakannya TAP MPR Nomor 7 Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri Sebagai Aparat Pertahanan dan Keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dia menyebut TAP MPR itu sebagian besar telah diatur dalam undang-undang (UU).
Khairul mengatakan regulasi yang belum berjalan saat ini salah satunya perubahan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dalam sejumlah kasus, kata dia, hal itu menyebabkan hambatan.
"Namun dalam konteks bentrok antar aparat, baik antarsatuan
TNI, maupun antara TNI dan
Polri, saya kira itu bukan masalah utama," kata Khairul kepada
Medcom.id, Rabu, 1 Desember 2021.
Dia menyebut benturan antarkesatuan TNI-Polri selalu potensial terjadi. Apalagi di daerah konflik yang misinya kerap beriringan dan bersinggungan.
"Selain karena tingkat stres yang jelas lebih tinggi, kita harus mengakui bahwa para prajurit, baik TNI maupun Polri memang dicetak untuk bermental juara, selalu berkompetisi untuk menjadi yang paling unggul. Kesalahan dan kekalahan adalah hal yang dianggap sangat memalukan," ungkap Khairul.
Khairul juga melihat kesenjangan antara konstruksi realitas digital dan sosial. Pimpinan TNI-Polri kerap menampilkan sinergitas yang baik di ruang digital baik melalui beragam event dan momen seremonial.
"Namun kenyataannya, persoalan kecil saja ternyata bisa memicu perkelahian bahkan kontak senjata yang bukan saja membahayakan para prajurit itu sendiri namun juga dapat mengancam keselamatan warga masyarakat," kata pengamat intelijen itu.
Dia menyebut pimpinan TNI-Polri semestinya lebih dahulu menerapkan kedisiplinan, kepatuhan, dan kesadaran tidak melakukan tindakan memalukan dan merusak nama baik korps di lapangan. Hal itu diyakini akan menjadi teladan bagi personel di akar rumput.
"Ini persoalan yang tak bisa diselesaikan secara instan, apalagi hanya dengan bermaafan dan foto bareng. Diperlukan juga aturan main yang lebih rigid soal tugas perbantuan TNI maupun mengenai operasi militer selain perang (OMSP) yang beririsan dan bersinggungan baik dengan Polri maupun dengan kementerian dan lembaga lainnya," ucap dia.
Aparat TNI-Polri terlibat bentrok beberapa waktu lalu. Pertama, TNI-Polri adu jontos di depan pos lantas Mutiara Mardika Ambon, Maluku sekitar pukul 16.00 WIB, Rabu, 24 November 2021.
Peristiwa itu dipicu anggota TNI tak terima anggota keluarganya ditilang polisi lalu lintas (Polantas) Polresta Ambon. Anggota TNI yang berasal dari Kodam Pattimura memukul anggota polantas hingga tersungkur. Kedua belah pihak disebut telah berdamai. Namun, pemberian sanksi disiplin tetap diproses.
Peristiwa kedua, TNI-Polri dari Satgas Nanggala Kopassus dan Satgas Amole terlibat bentrok di Mess Hall, Tembagapura, Mimika, Papua pada Sabtu, 27 November 2021. Peristiwa itu dipicu komplain terkait harga rokok yang dijual enam orang anggota Satgas Amole.
Sebanyak 20 anggota TNI dari Satgas Nanggala mengeroyok enam anggota Polri. Akibatnya, anggota polisi mengalami luka-luka. Kedua belah pihak diklaim telah berdamai. Namun, anggota TNI-Polri yang terlibat bentrok dipastikan akan dikenakan sanksi disiplin.
Baca:
Pengamat: Bentrok TNI-Polri Penyakit Kambuhan
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)