Orang tua Ari (24), salah satu Anak Buah Kapal (ABK) Long Xing 629 menunjukkan foto anaknya di Desa Serdang Menang, Sirah Pulau Padang, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Sabtu, 9 Mei 2020 (Antara/Triyan W)
Orang tua Ari (24), salah satu Anak Buah Kapal (ABK) Long Xing 629 menunjukkan foto anaknya di Desa Serdang Menang, Sirah Pulau Padang, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Sabtu, 9 Mei 2020 (Antara/Triyan W)

Pemerintah Dituntut Tegas Mengusut Pelanggaran HAM Kapal Tiongkok

Intan Yunelia • 10 Mei 2020 22:24
Jakarta: Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani mengomentari kasus pelarungan jasad Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia oleh kapal ikan berbendera Tiongkok di perairan Korea. Menurutnya, pemerintah harus bertindak tegas mengusut tuntas kasus tersebut.
 
"Peristiwa ini memilukan sekali. Pemerintah harus bergerak cepat dan tegas mengusut kasus kematian tiga ABK dan pelarungan jenazah. Misalnya, apakah proses itu sudah memenuhi syarat dokumen perizinannya?" kata Netty melalui siaran pers, Minggu, 10 Mei 2020.
 
Politikus PKS ini menyayangkan belum ada perlindungan hukum ABK di luar negeri. Aturan yang digunakan adalah UU Nomor 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, UU Nomor 17/2008 tentang Pelayaran, dan UU Nomor 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.35/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia Pada Usaha Perikanan.

"Sejauh ini regulasi hanya membahas perlindungan ABK di dalam negeri dan bersifat parsial. Padahal kasus pelanggaran HAM banyak terjadi juga di luar negeri. ABK sebagai bagian dari pekerja migran Indonesia, saya minta pemerintah untuk membuat aturan hukum yang komprehensif dan memberi perlindungan pada mereka," ujar Netty.
 
Terlebih pelarungan mayat korban ABK tidak diketahui pihak keluarga. Dari berita yang beredar, keluarga tidak diberi tahu sama sekali soal pelarungan korban.
 
"Apakah keluarganya sudah diminta izin untuk melakukan pelarungan? Seharusnya proses pelarungan itu juga harus didokumentasikan secara detil baik dengan video maupun foto," tutur Netty.
 
Diketahui, praktik pelarungan diatur dalam peraturan 'Seafarer’s Service Regulations' ILO, Pasal 30. Jika ada pelaut yang meninggal saat berlayar, maka kapten kapal harus segera melaporkannya ke pemilik kapal dan keluarga korban. Tentu dengan memenuhi berbagai syarat terkait teknis dan proses pelarungan, serta pengawasan yang bertanggungjawab.
 
Netty menilai kasus yang dialami oleh ABK itu seperti fenomena gunung es. Kasus ini hanya segelintir yang tidak terkuak di permukaan. Salah satunya, beberapa waktu lalu terjadi perkelahian ABK Indonesia dengan ABK lainnya di perairan Malaysia yang mengakibatkan dua ABK hilang di laut.
 
"Sekarang kita mendengar soal pelarungan jasad. Bukan mustahil kalau banyak terjadi kasus pelanggaran HAM terhadap ABK Indonesia di lautan. Ini harus jadi perhatian pemerintah," kata Netty.
 
Selain potret pelarungan, dunia pelayaran terutama di kapal asing sarat akan dugaan eksploitasi. Seperti pengakuan ABK yang selamat, mereka dipaksa berdiri dan bekerja selama 18 jam, bahkan ada yang sampai 30 jam.
 
"Saya meminta pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkait untuk segera merespon dan membentuk tim untuk mengusut kasus ini hingga tuntas. Jangan sampai hal ini mencoreng marwah bangsa, sebagai bangsa maritim yang unggul. Jangan sampai ada lagi eksploitasi atas nama apapun di belahan dunia manapun," ujar Netty.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ROS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan