Ilustrasi korupsi -- ANTARA
Ilustrasi korupsi -- ANTARA

Penegak Hukum Diminta tak Ragu Tindak Korporasi

Yogi Bayu Aji • 22 Februari 2017 09:29
medcom.id, Jakarta: Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Peraturan MA (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi. Penerapan aturan ini membutuhkan keberanian dari para penegak hukum.
 
"Dibutuhkan keberanian penegak hukum jangan ragu-ragu terhadap korporasi, apakah korporasi memenuhi unsur-unsur tindak pidana atau tidak karena dalam pengalaman bisa korporasi itu bisa pasif menerima (keuntungan) atau bisa juga aktif memberi suap misalnya dengan tidak langsung," kata Hakim Agung Suhadi di Jakarta, Selasa, 22 Februari 2017.
 
Perma yang diterbitkan pada 29 Desember 2016 berisi pedoman bagi penegak hukum dalam penanganan kejahatan korporasi. Suhadi pun memberikan contoh kasus di mana Perma bisa digunakan. 

"Misalnya ada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Muhammad Santoso) yang memberikan diberikan sesuatu dan katanya hanya untuk perayaan perkawinan putranya. Tapi di buku perusahaan ada uang yang keluar. Ini rentetan korporasi yang tidak kelihatan memberikan uang tapi ada pembukuan untuk keperluan pemberian itu artinya sudah melakukan tindak pidana hukum," tambah Suhadi.
 
Suhadi menuturkan, korporasi yang dapat dipidanakan dengan berpedoman pada Perma adalah yang mendapat keuntungan dari perbuatan-perbuatan pidana tanpa mencegahnya. Contohnya, kata dia, pada kasus penyuapan atau membakar hutan bila merujuk UU Lingkungan Hidup.
 
Wakil Ketua MA bidang Yudisial Syarifuddin menyatakan Perma tersebut penting karena selama ini hanya sedikit penegak hukum yang menjadikan korporasi sebagai pelaku. KUHAP juga tidak mengatur korporasi sebagai pelaku. 
 
Untuk itu MA mengeluarkan Perma untuk mengatur perbuatan apa saja yang menjadi ukuran perbuatan yang dilakukan korporasi. "Sehingga mempunyai mens rea (sikap batin) dan actus reus (perbuatan). Harapannya Perma ini dipahami betul oleh masyarakat, aparat penegak hukum dan hakim," jelas Syarifuddin.
 
Perma ini tidak menentukan sanksi bagi korporasi karena sudah diatur dalam undang-undang. "Seperti korporasi itu hanya bisa dihukum hukuman denda, tapi dari UU pencucian uang dan UU tindak pidana korupsi, keuntungan dari korporasi  dapat diambil dan bahkan sampai hukuman mati pun bisa, dalam arti bahwa bisa perusahaan itu dalam putusan hakim ditutup," tambah Suhadi.
 
Perma Nomor 13 tahun 2016 itu mengindentifkasi kesalahan korporasi baik berbentuk kesengajaan maupun karena kelalaian. Pertama, apabila kejahatan dilakukan untuk memberikan manfaat atau keuntungan maupun untuk kepentingan korporasi. Kedua, apabila korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana. Ketiga, apabila korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan termasuk mencegah dampak yang lebih besar setelah terjadinya tindak pidana.
 
Bila penegak hukum menemukan bukti pemegang saham atau anggota direksi atau komisaris bahkan pegawai rendahan melakukan tindak pidana untuk kepentingan dan keuntungan korporasi, dapat diindikasikan perusahaan telah melakukan tindak pidana. Dalam Perma juga ditentukan penyesuaian identitas korporasi dalam surat panggilan, surat dakwaan, dan surat putusan terhadap korporasi sehingga proses penanganan korporasi lebih memberikan kepastian hukum. 
 
Aset korporasi yang digunakan sebagai alat atau dari hasil kejahatan juga dapat segera dijual melalui lelang meskipun belum ada putusan pengadilan.  Ketentuan ini tidak saja menguntungkan penyidik atau jaksa penuntut umum dalam mengelola barang sitaan namun juga menyelamatkan tersangka atau terdakwa dari risiko kerugian penurunan nilai ekonomis barang yang digunakan sebagai jaminan pembayaran pidana denda atau uang pengganti. (Antara)
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan