Jakarta: Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, mengatakan majelis hakim di pengadilan harus diawasi untuk pengaturan pidana mati dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pengaturan pidana mati dalam UU tersebut salah satu hasil advokasi isu pidana mati yang dilakukan kepada pemerintah dan DPR.
“Pengadilan menjadi last guardian dalam penjatuhan pidana mati karena Pemerintah dan DPR sudah mengambil tindakan, kini bagaimana dengan sikap pengadilan dalam menindaklanjutinya,” kata Wahyudi dilansir dari Mediaindonesia.com, Minggu, 21 Mei 2023.
Wahyudi khawatir jika pengadilan di Indonesia mendapatkan tekanan-tekanan dari banyak pihak untuk menjatuhkan pidana mati kepada seorang terdakwa yang menghadapi proses hukum.
“Tekanan publik akan memengaruhi sikap majelis hakim saat mengadili suatu perkara. Karenanya, jangan sampai pidana mati dijatuhkan semata-mata hanya karena ada tekanan dari masyarakat,” ujar dia.
Sementara itu, anggota Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Tioria Pretty, memberi catatan terhadap praktik peradilan pidana yang menangani perkara dengan ancaman hukuman mati. “Pidana mati itu bersifat irreversible, sehingga hakim seyogianya lebih sensitif untuk melihat adanya aspek-aspek lain dari yang ditampilkan di dalam persidangan,” jelas dia.
Hal ini, kata Pretty, mencegah terjadinya unfair trial seperti kemungkinan adanya penyiksaan selama proses sebelum persidangan. Selain itu, perlu ada tolok ukur yang lebih objektif sebelum dapat menentukan apakah pelaku tindak pidana dapat dijatuhi dengan pidana mati.
Kemudian, Pretty menyebut penjatuhan pidana mati perlu didasarkan pada pertimbangan dari pelbagai aspek. Hakim, lanjut dia, perlu menilai kondisi dari keluarga terdakwa dan juga faktor-faktor yang mungkin meringankannya.
“Mahkamah Agung agar membuat suatu pedoman pemidanaan pedoman pemidanaan sebagai rambu-rambu bagi majelis hakim sebelum menjatuhkan pidana mati,” ujar dia.
Masih ada 404 terpidana mati di Indonesia yang menunggu eksekusi. Kementerian Hukum dan HAM menyebut eksekusi itu merupakan kewenangan Kejaksaan.
Eksekusi mati terakhir dilakukan terhadap empat terpidana mati pada Jumat, 29 Juli 2016, dini hari. Mereka adalah Freddy Budiman, Michael Titus Igweh (Nigeria), Humprey Ejike (Nigeria), dan Gajetan Acena Seck Osmane (Afrika Selatan).
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Jakarta: Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, mengatakan majelis hakim di
pengadilan harus diawasi untuk pengaturan
pidana mati dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pengaturan pidana mati dalam UU tersebut salah satu hasil advokasi isu pidana mati yang dilakukan kepada pemerintah dan DPR.
“Pengadilan menjadi last guardian dalam penjatuhan pidana mati karena Pemerintah dan DPR sudah mengambil tindakan, kini bagaimana dengan sikap pengadilan dalam menindaklanjutinya,” kata Wahyudi dilansir dari Mediaindonesia.com, Minggu, 21 Mei 2023.
Wahyudi khawatir jika pengadilan di Indonesia mendapatkan tekanan-tekanan dari banyak pihak untuk menjatuhkan
pidana mati kepada seorang terdakwa yang menghadapi proses hukum.
“Tekanan publik akan memengaruhi sikap majelis hakim saat mengadili suatu perkara. Karenanya, jangan sampai pidana mati dijatuhkan semata-mata hanya karena ada tekanan dari masyarakat,” ujar dia.
Sementara itu, anggota Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Tioria Pretty, memberi catatan terhadap praktik peradilan pidana yang menangani perkara dengan ancaman hukuman mati. “Pidana mati itu bersifat irreversible, sehingga hakim seyogianya lebih sensitif untuk melihat adanya aspek-aspek lain dari yang ditampilkan di dalam persidangan,” jelas dia.
Hal ini, kata Pretty, mencegah terjadinya unfair trial seperti kemungkinan adanya penyiksaan selama proses sebelum persidangan. Selain itu, perlu ada tolok ukur yang lebih objektif sebelum dapat menentukan apakah pelaku tindak pidana dapat dijatuhi dengan pidana mati.
Kemudian, Pretty menyebut penjatuhan pidana mati perlu didasarkan pada pertimbangan dari pelbagai aspek. Hakim, lanjut dia, perlu menilai kondisi dari keluarga terdakwa dan juga faktor-faktor yang mungkin meringankannya.
“Mahkamah Agung agar membuat suatu pedoman pemidanaan pedoman pemidanaan sebagai rambu-rambu bagi majelis hakim sebelum menjatuhkan pidana mati,” ujar dia.
Masih ada 404 terpidana mati di Indonesia yang menunggu eksekusi. Kementerian Hukum dan HAM menyebut eksekusi itu merupakan kewenangan Kejaksaan.
Eksekusi mati terakhir dilakukan terhadap empat terpidana mati pada Jumat, 29 Juli 2016, dini hari. Mereka adalah Freddy Budiman, Michael Titus Igweh (Nigeria), Humprey Ejike (Nigeria), dan Gajetan Acena Seck Osmane (Afrika Selatan).
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)