medcom.id, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjawab gugatan praperadilan yang diajukan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Tim kuasa hukum KPK yakin negara mengalami kerugian dalam perkara ini.
"Kalau dari pihak mereka mengatakan tidak ada kerugian negara, kita sudah dapatkan beberapa informasi tentang kerugian negara. Baik itu dari kesaksian yang kita mintakan maupun dari dua instansi yang sudah kita minta perhitungan kerugian negara," kata Kabiro Hukum KPK Setiadi di PN Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Rabu (5/10/2016).
Setiadi menegaskan, penyidik KPK adalah instansi yang sah dalam mengusut kasus dugaan penyalahgunaan wewenang tersebut. Tidak seperti yang disebut tim kuasa hukum Nur Alam, bahwa selain Polri dan Kejaksaan tidak berhak mengusut kasus yang menjerat kliennya.
"Penyidik di PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil), bea cukai, kehutanan dan imigrasi, mereka semua penyidik. (Penyidik) bukan hanya dari Polri," jelas Setiadi.
Nur Alam, kata Setiadi, menyalahi wewenang sebagai gubernur dengan memberikan izin perusahaan pertambangan di wilayahnya. Nur Alam juga diduga menerima uang dari perusahaan yang diberi izin.
"Kami tidak permasalahkan izin, tapi penyalahgunaan wewenang itu. Apa pun namanya, ini kan ada kick back-nya. Sekarang kiriman uangnya untuk apa? Kiriman uang yang USD4,5 juta. Itu yang harus digali," kata Setiadi.
(Baca: KPK Yakin Kalahkan Nur Alam di Praperadilan)
KPK menetapkan Nur Alam sebagai tersangka pada 23 Agustus 2016. Politikus PAN ini diduga menyalahgunakan wewenang dalam menerbitkan sejumlah surat keputusan (SK) izin usaha pertambangan (IUP).
Dokumen bermasalah itu, di antaranya SK persetujuan pencadangan wilayah pertambangan eksplorasi, SK persetujuan IUP eksplorasi, dan SK persetujuan peningkatan IUP eksplorasi menjadi IUP operasi produksi buat PT Anugrah Harisma Barakah sejak 2009-2014. Perusahaan itu bergerak di penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana, Sulawesi Tenggara.
KPK menjerat Nur Alam dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Tak terima dengan penetapan status tersangka dari KPK, Nur Alam mengajukan permohonan praperadilan melalui pengacaranya, Maqdir Ismail.
Menurut Maqdir, salah satu yang dipermasalahkan dalam penanganan perkara ini adalah penyelidikan yang dilakukan KPK bersamaan dengan Kejaksaan Agung. Hal ini, kata dia, bertentangan dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
"Menurut Pasal 6 atau berapa itu ada kewajiban untuk melakukan supervisi kan. Itu kan yang tidak ditempuh oleh KPK. Proses ini kan ada aturan main. Tolonglah aturan main ini dipenuhi oleh KPK, ini yang tidak mereka lakukan," jelas Maqdir pada 20 September 2016.
Selain itu, praperadilan diajukan karena penerbitan UIP yang dipersangkakan oleh KPK pernah digugat PT Prima Nusa Sentosa di Peradilan Tata Usaha Negara. Mahkamah Agung memutuskan penerbitan IUP tersebut sesuai dengan kewenangan dan prosedur berdasarkan ketentuan Pasal 37 huruf b Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
KPK juga dianggap belum memperhitungkan kerugian negara dalam menjerat Nur Alam. Sementara itu, hal ini dianggap sebagai elemen pokok dugaan perbuatan melanggar Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No.003/PUU-IV/2006.
medcom.id, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjawab gugatan praperadilan yang diajukan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Tim kuasa hukum KPK yakin negara mengalami kerugian dalam perkara ini.
"Kalau dari pihak mereka mengatakan tidak ada kerugian negara, kita sudah dapatkan beberapa informasi tentang kerugian negara. Baik itu dari kesaksian yang kita mintakan maupun dari dua instansi yang sudah kita minta perhitungan kerugian negara," kata Kabiro Hukum KPK Setiadi di PN Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Rabu (5/10/2016).
Setiadi menegaskan, penyidik KPK adalah instansi yang sah dalam mengusut kasus dugaan penyalahgunaan wewenang tersebut. Tidak seperti yang disebut tim kuasa hukum Nur Alam, bahwa selain Polri dan Kejaksaan tidak berhak mengusut kasus yang menjerat kliennya.
"Penyidik di PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil), bea cukai, kehutanan dan imigrasi, mereka semua penyidik. (Penyidik) bukan hanya dari Polri," jelas Setiadi.
Nur Alam, kata Setiadi, menyalahi wewenang sebagai gubernur dengan memberikan izin perusahaan pertambangan di wilayahnya. Nur Alam juga diduga menerima uang dari perusahaan yang diberi izin.
"Kami tidak permasalahkan izin, tapi penyalahgunaan wewenang itu. Apa pun namanya, ini kan ada
kick back-nya. Sekarang kiriman uangnya untuk apa? Kiriman uang yang USD4,5 juta. Itu yang harus digali," kata Setiadi.
(Baca: KPK Yakin Kalahkan Nur Alam di Praperadilan)
KPK menetapkan Nur Alam sebagai tersangka pada 23 Agustus 2016. Politikus PAN ini diduga menyalahgunakan wewenang dalam menerbitkan sejumlah surat keputusan (SK) izin usaha pertambangan (IUP).
Dokumen bermasalah itu, di antaranya SK persetujuan pencadangan wilayah pertambangan eksplorasi, SK persetujuan IUP eksplorasi, dan SK persetujuan peningkatan IUP eksplorasi menjadi IUP operasi produksi buat PT Anugrah Harisma Barakah sejak 2009-2014. Perusahaan itu bergerak di penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana, Sulawesi Tenggara.
KPK menjerat Nur Alam dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Tak terima dengan penetapan status tersangka dari KPK, Nur Alam mengajukan permohonan praperadilan melalui pengacaranya, Maqdir Ismail.
Menurut Maqdir, salah satu yang dipermasalahkan dalam penanganan perkara ini adalah penyelidikan yang dilakukan KPK bersamaan dengan Kejaksaan Agung. Hal ini, kata dia, bertentangan dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
"Menurut Pasal 6 atau berapa itu ada kewajiban untuk melakukan supervisi kan. Itu kan yang tidak ditempuh oleh KPK. Proses ini kan ada aturan main. Tolonglah aturan main ini dipenuhi oleh KPK, ini yang tidak mereka lakukan," jelas Maqdir pada 20 September 2016.
Selain itu, praperadilan diajukan karena penerbitan UIP yang dipersangkakan oleh KPK pernah digugat PT Prima Nusa Sentosa di Peradilan Tata Usaha Negara. Mahkamah Agung memutuskan penerbitan IUP tersebut sesuai dengan kewenangan dan prosedur berdasarkan ketentuan Pasal 37 huruf b Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
KPK juga dianggap belum memperhitungkan kerugian negara dalam menjerat Nur Alam. Sementara itu, hal ini dianggap sebagai elemen pokok dugaan perbuatan melanggar Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No.003/PUU-IV/2006.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NIN)