medcom.id, Jakarta: Politikus Gerindra Habiburokhman mendatangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Dia meminta agar komite etik memeriksa lima pimpinan KPK.
"Kita minta membentuk komite etik KPK, terkait dugaan penelantaran kasus sumber waras," kata Habiburokmah, di Gedung KPK, Jalan H. R Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (10/5/2016).
Habib menyoroti pernyataan pimpinan KPK yang akan meminta pendapat Gubernur DKI Jakarta Basuki Purnama terkait hasil audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan dalam kasus Sumber Waras. Menurut dia, permintaan pendapat itu telah melanggar aturan.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama saat menjadi saksi di Gedung KPK. ANT/Hafidz Mubarak.
Terlebih, pria yang akrab disapa Ahok itu merupakan saksi dalam kasus tersebut.
"Hasil audit BPK itu kan sesuatu yang sudah fix, sudah jelas. KPK ini hanya user, mengapa meminta pendapat keterangan Ahok, sedangkan Ahok sendiri dalam konteks saksi," kata Habib.
Habib mengatakan, saksi harusnya memberikan kesaksian tentang apa yang dialaminya dan dilihatnya, bukan memberikan pendapat.
"Kalau pendapat itu soal keterangan ahli," ujar dia.
Karena itu, Habib menyebut adanya pelanggan kode etik yang dilakukan pimpinan KPK, terutama pada kode etik pimpinan KPK di pasal 6. Pasalnya, Habib menilai pimpinan KPK tidak mematuhi hukum dan mengedepankan hukum.
Berdasarkan pasal 6 itu, pimpinan KPK berkewajiban menarik garis tegas tentang apa yang patut, layak dan pantas dilakukan dengan apa yang tidak patut, tidak layak dan tidak pantas di lakukan.
"Jadi pimpinan KPK harus mematuhi hukum dan mengedepankan. Dengan dia menunggu-nunggu seperti itu, kami menganggap mereka tidak mematuhi hukum. Dengan membanding-bandingkan pendapat orang yang diperiksa dengan audit BPK. Itu tidak ada dasar hukumnya," kata dia.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengaku telah menerima bukti-bukti terkait pembelian lahan RS Sumber Waras dari BPK. Namun, temuan tersebut tidak semuanya bisa dijadikan bukti.
Menurut dia, masih ada yang harus dilengkapi buktinya terkait potensi kerugian negara dari hasil audit BPK Sekilas, kata dia, mungkin karena salah prosedur atau Pemrpov DKI Jakarta terburu-buru memasukkan dalam anggaran APBD. Di sisi lain, masih ada perdebatan soal perbedaan harga.
"Dari audit BPK memang ada kerugian, tapi apakah itu mengarah pada korupsi? Kami belum dapat menyimpulkan. Penyelidikan masih berjalan. Jika tidak, ya itu masuk ranah BPK,” kata Saut di sela-sela acara dialog bersama warga dan akademisi anti Korupsi di Malang, Jawa Timur, Rabu 27 April.
Bisa jadi, seiring berjalannya waktu, tidak menutup kemungkinan adanya bukti-bukti baru kasus dugaan korupsi. Namun, jelas dia, sejauh ini KPK tidak menemukan adanya indikasi korupsi dalam proses pengadaan lahan RS Sumber Waras.
Rumah Sakit Sumber Waras. ANT/Muhammad Adimaja.
Seperti diketahui, KPK telah memeriksa sebanyak 50 orang saksi dalam kasus ini. Selain itu, KPK juga akan minta keterangan ahli, keuangan, dan pertanahan.
Diketahui, kasus ini bermula ketika BPK menemukan adanya perbedaan harga nilai jual objek pajak (NJOP) pada lahan di sekitar RS Sumber Waras di Jalan Tomang Utara dengan lahan rumah sakit itu sendiri di Jalan Kyai Tapa. BPK menaksir hal ini merugikan negara sebanyak Rp191 miliar.
BPK sudah memberikan hasil audit investigasi terkait pembelian lahan yang dilakukan Pemprov DKI kepada KPK. Lembaga Antikorupsi pun sudah memeriksa beberapa orang terkait penyelidikan ini, termasuk Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
medcom.id, Jakarta: Politikus Gerindra Habiburokhman mendatangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Dia meminta agar komite etik memeriksa lima pimpinan KPK.
"Kita minta membentuk komite etik KPK, terkait dugaan penelantaran kasus sumber waras," kata Habiburokmah, di Gedung KPK, Jalan H. R Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (10/5/2016).
Habib menyoroti pernyataan pimpinan KPK yang akan meminta pendapat Gubernur DKI Jakarta Basuki Purnama terkait hasil audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan dalam kasus Sumber Waras. Menurut dia, permintaan pendapat itu telah melanggar aturan.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama saat menjadi saksi di Gedung KPK. ANT/Hafidz Mubarak.
Terlebih, pria yang akrab disapa Ahok itu merupakan saksi dalam kasus tersebut.
"Hasil audit BPK itu kan sesuatu yang sudah fix, sudah jelas. KPK ini hanya user, mengapa meminta pendapat keterangan Ahok, sedangkan Ahok sendiri dalam konteks saksi," kata Habib.
Habib mengatakan, saksi harusnya memberikan kesaksian tentang apa yang dialaminya dan dilihatnya, bukan memberikan pendapat.
"Kalau pendapat itu soal keterangan ahli," ujar dia.
Karena itu, Habib menyebut adanya pelanggan kode etik yang dilakukan pimpinan KPK, terutama pada kode etik pimpinan KPK di pasal 6. Pasalnya, Habib menilai pimpinan KPK tidak mematuhi hukum dan mengedepankan hukum.
Berdasarkan pasal 6 itu, pimpinan KPK berkewajiban menarik garis tegas tentang apa yang patut, layak dan pantas dilakukan dengan apa yang tidak patut, tidak layak dan tidak pantas di lakukan.
"Jadi pimpinan KPK harus mematuhi hukum dan mengedepankan. Dengan dia menunggu-nunggu seperti itu, kami menganggap mereka tidak mematuhi hukum. Dengan membanding-bandingkan pendapat orang yang diperiksa dengan audit BPK. Itu tidak ada dasar hukumnya," kata dia.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengaku telah menerima bukti-bukti terkait pembelian lahan RS Sumber Waras dari BPK. Namun, temuan tersebut tidak semuanya bisa dijadikan bukti.
Menurut dia, masih ada yang harus dilengkapi buktinya terkait potensi kerugian negara dari hasil audit BPK Sekilas, kata dia, mungkin karena salah prosedur atau Pemrpov DKI Jakarta terburu-buru memasukkan dalam anggaran APBD. Di sisi lain, masih ada perdebatan soal perbedaan harga.
"Dari audit BPK memang ada kerugian, tapi apakah itu mengarah pada korupsi? Kami belum dapat menyimpulkan. Penyelidikan masih berjalan. Jika tidak, ya itu masuk ranah BPK,” kata Saut di sela-sela acara dialog bersama warga dan akademisi anti Korupsi di Malang, Jawa Timur, Rabu 27 April.
Bisa jadi, seiring berjalannya waktu, tidak menutup kemungkinan adanya bukti-bukti baru kasus dugaan korupsi. Namun, jelas dia, sejauh ini KPK tidak menemukan adanya indikasi korupsi dalam proses pengadaan lahan RS Sumber Waras.
Rumah Sakit Sumber Waras. ANT/Muhammad Adimaja.
Seperti diketahui, KPK telah memeriksa sebanyak 50 orang saksi dalam kasus ini. Selain itu, KPK juga akan minta keterangan ahli, keuangan, dan pertanahan.
Diketahui, kasus ini bermula ketika BPK menemukan adanya perbedaan harga nilai jual objek pajak (NJOP) pada lahan di sekitar RS Sumber Waras di Jalan Tomang Utara dengan lahan rumah sakit itu sendiri di Jalan Kyai Tapa. BPK menaksir hal ini merugikan negara sebanyak Rp191 miliar.
BPK sudah memberikan hasil audit investigasi terkait pembelian lahan yang dilakukan Pemprov DKI kepada KPK. Lembaga Antikorupsi pun sudah memeriksa beberapa orang terkait penyelidikan ini, termasuk Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DRI)