medcom.id, Jakarta: Rapat Pansus Pelindo II meminta Menteri Perhubungan Ignasius Jonan segera melakukan kajian atas perpanjangan konsesi antara PT Pelindo II dengan Jakarta International Container Terminal (JICT).
Kajian itu, untuk merinci apakah perpanjangan konsesi JICT merupakan pelimpahan kuasa pengelolaan (konsesi) atau B to B, atau dalam bentuk lain.
"Pansus meminta Kemenhub segera melakukan kajian," kata Ketua Pansus Pelindo II, Rieke Diah Pitaloka, di ruang Pansus C, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/12/2015).
"Dan meminta data pertumbuhan throughout di daerah lingkungan kerja Tanjung Priok," sambung Rieke.
Kesimpulan pansus meminta Kemenhub melakukan kajian kata Rieke, karena dalam rapat menemukan sejumlah temuan dalam perpanjangan konsesi yang meyalahi prosedur, yaitu:
1. Menteri Perhubungan RI baik yang lama maupun yang baru tidak pernah menerima dokumen bahwa ada amandemen perjanjian kontrak manajamen antara Pelindo II maupun Hutchison Port Holdings Limited (HPH) yang terkait dengan JICT.
2. Berdasarkan UU Nomor 17 tahun 2008 bahwa segala perjanjian yang ada harus didahului oleh konsesi antara pihak pelindo II dengan Kemenhub.
3. Perjanjian konsesi antara Kemenhub dan Pelindo II baru terjadi tanggal 11 November 2015. Oleh karena itu, semua perjanjian merupakan bukti ketidaktaatan, pelanggaran terhadap undang-undang yang berlaku. Karena konsesi yang terjadi tanggal 11 November 2015 tidak berlaku retroaktif.
4. Dengan tidak ditandatanganinya konsesi pada 2011 terjadi kerugian negara akibatnya negara tidak menerima PNPB sejak 2012.
5. Mengenai circular resolution of shareholders (kontrak final 7 Juli 2015) :
A. Pihak kemenhub, dalam hal ini ahli hukum menegaskan bahwa terjadi pembuktian dengan dokumen hukum tersebut, saham Pelindo II tetap menjadi minoritas (48,9 %, Kopegmar 0,10 %) dan HPH tetap mayoritas 51 %.
B. Pihak Soemadipradja & Taher menegaskan bahwa sesuai dengan Perpres No. 39/2014, saham pihak asing dalam PMA tidak boleh melebihi dari 49 %. Dengan demikian, dengan adanya bukti hukum tersebut, Soemadipradja dan Taher justru menyarankan agar ada sanksi dari BKPM kepada PT. Pelindo II.
6. Sesuai dengan UU no 17/2008 dan PP No. 61/2009, konsesi yang diberikan oleh otoritas pelabuhan tidak boleh dipindahtangankan ke pihak ketiga. Kerjasama dengan pihak lain yang dilakukan pihak ledua dalam konteks business to business pun harus mendapatkan rekomendasi dari otoritas pelabuhan
7. Konsesi sebagaimana dimaksud Pasal 92 UU No. 17/2008 adalah merupakan alas hak bagi badan usaha kepelabuhan untuk melakukan kegiatan. Jadi, perjanjian antara PT Pelindo II dengan HPH adalah perbuatan tanpa hak atau melawan hak sehingga tidak sah (sebagaimana disampaikan Jonan)
8. Dalam UU Nomor 17 /2008 tidak dikenal APPK maupun APPS.
"Meminta juga agar Soemadipradja dan Taher untuk melakukan kajian terhadap perjanjian pemberi kuasa antara PT Pelindo II dengan JICT dan kajian terhadap pasal 23,4 APPS Tahun 2014 dalam bahasa yang lebih mudah dimengerti beserta contohnya," ujar Rieke.
medcom.id, Jakarta: Rapat Pansus Pelindo II meminta Menteri Perhubungan Ignasius Jonan segera melakukan kajian atas perpanjangan konsesi antara PT Pelindo II dengan Jakarta International Container Terminal (JICT).
Kajian itu, untuk merinci apakah perpanjangan konsesi JICT merupakan pelimpahan kuasa pengelolaan (konsesi) atau
B to B, atau dalam bentuk lain.
"Pansus meminta Kemenhub segera melakukan kajian," kata Ketua Pansus Pelindo II, Rieke Diah Pitaloka, di ruang Pansus C, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/12/2015).
"Dan meminta data pertumbuhan
throughout di daerah lingkungan kerja Tanjung Priok," sambung Rieke.
Kesimpulan pansus meminta Kemenhub melakukan kajian kata Rieke, karena dalam rapat menemukan sejumlah temuan dalam perpanjangan konsesi yang meyalahi prosedur, yaitu:
1. Menteri Perhubungan RI baik yang lama maupun yang baru tidak pernah menerima dokumen bahwa ada amandemen perjanjian kontrak manajamen antara Pelindo II maupun Hutchison Port Holdings Limited (HPH) yang terkait dengan JICT.
2. Berdasarkan UU Nomor 17 tahun 2008 bahwa segala perjanjian yang ada harus didahului oleh konsesi antara pihak pelindo II dengan Kemenhub.
3. Perjanjian konsesi antara Kemenhub dan Pelindo II baru terjadi tanggal 11 November 2015. Oleh karena itu, semua perjanjian merupakan bukti ketidaktaatan, pelanggaran terhadap undang-undang yang berlaku. Karena konsesi yang terjadi tanggal 11 November 2015 tidak berlaku retroaktif.
4. Dengan tidak ditandatanganinya konsesi pada 2011 terjadi kerugian negara akibatnya negara tidak menerima PNPB sejak 2012.
5. Mengenai circular resolution of shareholders (kontrak final 7 Juli 2015) :
A. Pihak kemenhub, dalam hal ini ahli hukum menegaskan bahwa terjadi pembuktian dengan dokumen hukum tersebut, saham Pelindo II tetap menjadi minoritas (48,9 %, Kopegmar 0,10 %) dan HPH tetap mayoritas 51 %.
B. Pihak Soemadipradja & Taher menegaskan bahwa sesuai dengan Perpres No. 39/2014, saham pihak asing dalam PMA tidak boleh melebihi dari 49 %. Dengan demikian, dengan adanya bukti hukum tersebut, Soemadipradja dan Taher justru menyarankan agar ada sanksi dari BKPM kepada PT. Pelindo II.
6. Sesuai dengan UU no 17/2008 dan PP No. 61/2009, konsesi yang diberikan oleh otoritas pelabuhan tidak boleh dipindahtangankan ke pihak ketiga. Kerjasama dengan pihak lain yang dilakukan pihak ledua dalam konteks business to business pun harus mendapatkan rekomendasi dari otoritas pelabuhan
7. Konsesi sebagaimana dimaksud Pasal 92 UU No. 17/2008 adalah merupakan alas hak bagi badan usaha kepelabuhan untuk melakukan kegiatan. Jadi, perjanjian antara PT Pelindo II dengan HPH adalah perbuatan tanpa hak atau melawan hak sehingga tidak sah (sebagaimana disampaikan Jonan)
8. Dalam UU Nomor 17 /2008 tidak dikenal APPK maupun APPS.
"Meminta juga agar Soemadipradja dan Taher untuk melakukan kajian terhadap perjanjian pemberi kuasa antara PT Pelindo II dengan JICT dan kajian terhadap pasal 23,4 APPS Tahun 2014 dalam bahasa yang lebih mudah dimengerti beserta contohnya," ujar Rieke.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)