Jakarta: Pakar hukum pidana, Chairul Huda, melakukan eksaminasi putusan hukuman mati yang dijatuhi kepada mantan Kepala Divisi Propam Polri, Ferdy Sambo, dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias J. Tulisan eksaminasi itu berbekal pada putusan tingkat pertama atau Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Menurut dia, putusan tingkat banding tidak menjadi bagian eksaminasi karena menguatkan putusan tingkat pertama. Selain Huda, ada tujuh eksaminator salah satunya pakar hukum pidana Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej.
“Memang cukup banyak hal menarik untuk dipersoalkan bagi kita akademisi maupun praktisi hukum,” kata Huda dikutip dari Youtube LKBH FH UII pada Senin, 12 Juni 2023.
Huda mengupas soal pemahaman Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menjatuhkan hukuman mati kepada Ferdy Sambo. Hal ini, kata Huda, tidak tepat dipahami tentang pembunuhan berencana.
“Ini adalah kasus pembunuhan, yang memang diperberat hukumannya karena ada hal tertentu terkait dengan pelaksanaannya, yang orangnya juga bisa menyebutnya dengan berencana,” ujar penasihat ahli Kapolri ini.
Sebetulnya, kata dia, jika mengutip pakar hukum pidana lainnya, Andi Hamzah, pembunuhan berencana adalah pembunuhan yang dipikir-pikir lebih dulu. Sehingga, pembunuhan berencana itu dibedakan dengan pembunuhan spontan.
“Pembunuhan secara spontan dan pembunuhan si pelaku mempunyai suasana yang tenang untuk memikirkan apa yang mau dilakukan,” jelas dia.
Dalam perkara ini, Huda melihat majelis hakim salah dalam melihat posisi terpidana kassus pembunuhan berencana Brigadir J lainnya, yakni Putri Candrawathi, Ricky Rizal Wibowo, dan Kuat Ma’ruf. Huda mempertanyakan kontribusi mereka terhadap tewasnya Brigadir J di rumah dinas Kadiv Propam, Duren Tiga, Jakarta Selatan.
“Sebenarnya tidak ada, tapi kemudian mereka dianggap menjadi bagian pembunuhan berencana yang sebenarnya tidak ada kontribusinya,” kata dia.
Menurut dia, peran terpidana lainnya, Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada Richard, justru yang punya kontribusi. Sementara itu, peran Ferdy Sambo dalam kematian Brigadir J masih diperdebatkan.
“Richard merenungkan apa yamg mau dilakukan di kamar mandi, dia berdoa sebelum melakukan itu. Itu suasana yang tenang memikirkan perbuatannya. Apa hubungannya dengan yang lain, tidak memberikan kontribusi terhadap matinya korban. Kalau kontribusi tidak ada, lalu dianggap sebagai turut serta,” sebut dia.
Dengan demikian, Huda menyebut kurang tepat penerapan pasal pembunuhan berencana terhadap mereka. Dia menilai putusan hakim perlu dikritisi praktik hukum di Indonesia ketika menggunakan masalah penyertaan terutama turut serta melakukan.
Menurut dia, ada pergeseran makna turut serta, yang di dalam praktiknya selalu diartikan bersama-sama. Dalam kasus ini, lanjut dia, bisa dianggap turut serta sepanjang orang itu bersama-sama.
“Padahal, turut serta itu adalah perbuatan yang sangat spesifik dari delik. Dia berkontribusi langsung terhadap perwujudan larangan undang-undang sebagai delik. Tapi praktik hukum biasanya terdakwa bersama-sama, seperti apa bersama-sama ta, itu tidak jelas,” ungkap dia.
Oleh karena itu, Huda mengatakan persoalan utama perkara kematian Brigadir J adalah majelis hakim yang memproses dan mengadili. Menurut dia, hakim tidak mampu mengkonstruksi seperti apa perbuatan bersama-sama itu.
“Pemahaman saya, bersama-sama itu tentu kontribusi terhadap matinya korban, karena ini delik pembunuhan bukan delik perencanaan. Di dalam putusan ini seolah-olah deliknya adalah merencanakan, bukan membunuh,” jelas dia.
Selain itu, Huda mengatakan ada hal unik dari kasus ini yang menjerat Ferdy Sambo dengan penyertaan. Padahal, kata dia, hakim menganggap Ferdy Sambo sebagai aktor intelektual tapi juga pelaku.
“Konstruksi majelis hakim seperti ini adalah konstruksi yang terpaksa,” kata Huda.
Menurut dia, majelis hakim dihadapkan dua persoalan, yaitu konstruksi pasal dakwaan dan opini publik. Dalam pertimbangannya, kata dia, hakim memandang Ferdy Sambo sebagai aktor intelektual. Di sisi lain, Ferdy Sambo dikatakan turut serta atau pelaku utama karena ikut menembak.
“Jadi, di sini hakim terpaksa menggunakan konstruksi itu. Konstruksi yang menjebak hakim sehingga berakrobatik dalam mempertimbangkan perkara ini" ucap dia.
Ferdy Sambo, kata dia, yang dianggap menembak hanya didasarkan pada keterangan Richard tidak berkesesuaian dengan saksi lain, tidak sesuai barang bukti, tidak sesuai dengan keterangan ahlinya. "Tapi itu terpaksa dilakukan agar dapat mengkualifikasi Richard sebagai justice collaborator,” ungkap dia.
Selanjutnya, Huda mengungkap hasil eksaminasi hukuman mati untuk Ferdy Sambo terkait motif. Dia sependapat motif bukan bagian unsur yang harus dibuktikan.
Tetapi, kata dia, perlu dicatat perkara-perkara yang motifnya belum ada titik terang atau belum terungkap di persidangan, tidak boleh dijatuhkan vonis mati.
“Problemnya di situ, hakim ultrapetita. Dia menjatuhkan putusan lebih daripada tuntutan jaksa, padahal dia tidak mampu mengungkap sebenarnya motifnya apa kasus ini. Kalau cuma kecewa, masa seorang Ferdy Sambo kecewa lalu sampai sebodoh itu membunuh. Jadi motif belum jelas tapi divonis mati, yang notabane ultrapetita,” kata dia.
Huda mengatakan hakim boleh saja menjatuhi hukuman ultrapetita sepanjang tidak keluar dari dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum. Namun, kata dia, tidak boleh dijatuhkan tanpa pertimbangan hakim yang cukup.
“Kalau motifnya tidak terungkap, ini belum pertimbangannya yang cukup. Maka putusan ini batal demi hukum, karena menjatuhkan vonis mati yang sifatnya ultrapetita tanpa pertimbangan yang cukup. Kalau tidak terungkap motifnya, vonis paling banyak sesuai tuntutan. Artinya tidak boleh pidana melebihi tuntutan, atau tidak boleh vonis mati," ujar dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Jakarta: Pakar hukum pidana, Chairul Huda, melakukan eksaminasi putusan hukuman mati yang dijatuhi kepada mantan Kepala Divisi Propam Polri,
Ferdy Sambo, dalam kasus
pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias J. Tulisan eksaminasi itu berbekal pada putusan tingkat pertama atau Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Menurut dia, putusan tingkat banding tidak menjadi bagian eksaminasi karena menguatkan putusan tingkat pertama. Selain Huda, ada tujuh eksaminator salah satunya pakar hukum pidana Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej.
“Memang cukup banyak hal menarik untuk dipersoalkan bagi kita akademisi maupun praktisi hukum,” kata Huda dikutip dari Youtube LKBH FH UII pada Senin, 12 Juni 2023.
Huda mengupas soal pemahaman Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menjatuhkan
hukuman mati kepada Ferdy Sambo. Hal ini, kata Huda, tidak tepat dipahami tentang pembunuhan berencana.
“Ini adalah kasus pembunuhan, yang memang diperberat hukumannya karena ada hal tertentu terkait dengan pelaksanaannya, yang orangnya juga bisa menyebutnya dengan berencana,” ujar penasihat ahli Kapolri ini.
Sebetulnya, kata dia, jika mengutip pakar hukum pidana lainnya, Andi Hamzah, pembunuhan berencana adalah pembunuhan yang dipikir-pikir lebih dulu. Sehingga, pembunuhan berencana itu dibedakan dengan pembunuhan spontan.
“Pembunuhan secara spontan dan pembunuhan si pelaku mempunyai suasana yang tenang untuk memikirkan apa yang mau dilakukan,” jelas dia.
Dalam perkara ini, Huda melihat majelis hakim salah dalam melihat posisi terpidana kassus pembunuhan berencana Brigadir J lainnya, yakni Putri Candrawathi, Ricky Rizal Wibowo, dan Kuat Ma’ruf. Huda mempertanyakan kontribusi mereka terhadap tewasnya Brigadir J di rumah dinas Kadiv Propam, Duren Tiga, Jakarta Selatan.
“Sebenarnya tidak ada, tapi kemudian mereka dianggap menjadi bagian pembunuhan berencana yang sebenarnya tidak ada kontribusinya,” kata dia.
Menurut dia, peran terpidana lainnya, Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada Richard, justru yang punya kontribusi. Sementara itu, peran Ferdy Sambo dalam kematian Brigadir J masih diperdebatkan.
“Richard merenungkan apa yamg mau dilakukan di kamar mandi, dia berdoa sebelum melakukan itu. Itu suasana yang tenang memikirkan perbuatannya. Apa hubungannya dengan yang lain, tidak memberikan kontribusi terhadap matinya korban. Kalau kontribusi tidak ada, lalu dianggap sebagai turut serta,” sebut dia.
Dengan demikian, Huda menyebut kurang tepat penerapan pasal pembunuhan berencana terhadap mereka. Dia menilai putusan hakim perlu dikritisi praktik hukum di Indonesia ketika menggunakan masalah penyertaan terutama turut serta melakukan.
Menurut dia, ada pergeseran makna turut serta, yang di dalam praktiknya selalu diartikan bersama-sama. Dalam kasus ini, lanjut dia, bisa dianggap turut serta sepanjang orang itu bersama-sama.
“Padahal, turut serta itu adalah perbuatan yang sangat spesifik dari delik. Dia berkontribusi langsung terhadap perwujudan larangan undang-undang sebagai delik. Tapi praktik hukum biasanya terdakwa bersama-sama, seperti apa bersama-sama ta, itu tidak jelas,” ungkap dia.
Oleh karena itu, Huda mengatakan persoalan utama perkara kematian Brigadir J adalah majelis hakim yang memproses dan mengadili. Menurut dia, hakim tidak mampu mengkonstruksi seperti apa perbuatan bersama-sama itu.
“Pemahaman saya, bersama-sama itu tentu kontribusi terhadap matinya korban, karena ini delik pembunuhan bukan delik perencanaan. Di dalam putusan ini seolah-olah deliknya adalah merencanakan, bukan membunuh,” jelas dia.
Selain itu, Huda mengatakan ada hal unik dari kasus ini yang menjerat Ferdy Sambo dengan penyertaan. Padahal, kata dia, hakim menganggap Ferdy Sambo sebagai aktor intelektual tapi juga pelaku.
“Konstruksi majelis hakim seperti ini adalah konstruksi yang terpaksa,” kata Huda.
Menurut dia, majelis hakim dihadapkan dua persoalan, yaitu konstruksi pasal dakwaan dan opini publik. Dalam pertimbangannya, kata dia, hakim memandang Ferdy Sambo sebagai aktor intelektual. Di sisi lain, Ferdy Sambo dikatakan turut serta atau pelaku utama karena ikut menembak.
“Jadi, di sini hakim terpaksa menggunakan konstruksi itu. Konstruksi yang menjebak hakim sehingga berakrobatik dalam mempertimbangkan perkara ini" ucap dia.
Ferdy Sambo, kata dia, yang dianggap menembak hanya didasarkan pada keterangan Richard tidak berkesesuaian dengan saksi lain, tidak sesuai barang bukti, tidak sesuai dengan keterangan ahlinya. "Tapi itu terpaksa dilakukan agar dapat mengkualifikasi Richard sebagai
justice collaborator,” ungkap dia.
Selanjutnya, Huda mengungkap hasil eksaminasi hukuman mati untuk Ferdy Sambo terkait motif. Dia sependapat motif bukan bagian unsur yang harus dibuktikan.
Tetapi, kata dia, perlu dicatat perkara-perkara yang motifnya belum ada titik terang atau belum terungkap di persidangan, tidak boleh dijatuhkan vonis mati.
“Problemnya di situ, hakim ultrapetita. Dia menjatuhkan putusan lebih daripada tuntutan jaksa, padahal dia tidak mampu mengungkap sebenarnya motifnya apa kasus ini. Kalau cuma kecewa, masa seorang Ferdy Sambo kecewa lalu sampai sebodoh itu membunuh. Jadi motif belum jelas tapi divonis mati, yang notabane ultrapetita,” kata dia.
Huda mengatakan hakim boleh saja menjatuhi hukuman ultrapetita sepanjang tidak keluar dari dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum. Namun, kata dia, tidak boleh dijatuhkan tanpa pertimbangan hakim yang cukup.
“Kalau motifnya tidak terungkap, ini belum pertimbangannya yang cukup. Maka putusan ini batal demi hukum, karena menjatuhkan vonis mati yang sifatnya ultrapetita tanpa pertimbangan yang cukup. Kalau tidak terungkap motifnya, vonis paling banyak sesuai tuntutan. Artinya tidak boleh pidana melebihi tuntutan, atau tidak boleh vonis mati," ujar dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)