medcom.id, Jakarta: Muhammad Nazaruddin, terdakwa tindak pidana pencucian uang dan penerimaan gratifikasi meminta majelis hakim buat mengembalikan sejumlah aset miliknya. Dia bilang, sejumlah aset yang dimilikinya bukan dari korupsi.
"Saya ikhlas uang hampir Rp 800 atau Rp 700 miliar dikembalikan ke negara dari Permai (Permai Grup) dan tersangka lain atau BUMN lain yang ada hubungan dengan Permai kami dengan ikhlas dan rela. Saya hanya mohon dengan sangat aset-aset saya dapat dikembalikan yang tidak ada hubungannya degan Permai Grup dan sudah dilaporkan ke LHKPN mohon dengan sangat dilihat," kata Nazar saat membacakan pembelaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (25/5/2016).
Sejumlah aset yang tidak ada hubungannya dengan Permai Grup kata Nazar antara lain dua tanah dan ruko masing-masing seluas 70 meter dan 130 meter di Jalan Abdulah Syafei. Aset itu kata dia dibeli pada 2007 dan dicicil 2008.
Lalu, ada tanah dan bangunan yang dibeli pada 2008 di Pejaten. Lalu, tanah untuk menanam kelapa sawit. Selanjutnya tanah di Jalan Amal, Kecamatan Sukajati, Koya Pekanbaru, Riau.
"Ini (tanah di Jalan Amal) aset hibah dari mertua dan sudah dikembalikan dari KPK," beber Nazar.
Kemudian, rumah susun di apartemen Taman Rasuna, tower 17 lantai 24E yang dibeli istri Nazar pada 2009. Kemudian tanah HGB di Grand Wijaya Pluit 2, ruko yang juga dibeli istri Nazar, Neneng Sri Wahyuni melalui deposito di Bank BRI.
Selanjutnya tanah HGB di Grand Wijaya Pluit 2, bangunan berupa ruko yang dibeli istri Nazar dari lelang pada 2011. Kemudian satu unit tanah dan bangunan seluas 88 meter di Jalan Jenderal Sudirman Pekanbaru atas nama adik Nazar, Nazir Ahmad.
"Tidak semua yang punya saya adalah punya adik saya dan punya adik saya adalah punya saya. Memang tanah itu sempat dipakai oleh Permai tapi melalui surat perjanjian," tambah Nazar.
Selanjutnya tanah dan bangunan ruko di Bekasi Mas yang dibeli dari lelang sejumlah Rp550 juta. Serta sejumlah polis asuransi. "Tidak semua uang yang didapat Permai Grup dikategorikan uang tidak benar karena ada juga murni benar-benar sesuai aturan pengusaha tanpa melanggar aturan-aturan berlaku tapi uang bagian fee proyek baik 2009-2010 harus dikembalikan ke negara," tambah Nazar.
Adapun Nazar menyebut ia mampu membeli tanah dan bangunan lantaran mendapat warisan dari ayahnya. Ayahnya meninggal pada 1996.
Usai mendapat warisan, uang ia putar sebagai modal usaha dan mendapat untung. Sewaktu akan berpolitik, ia kemudian mendirikan Permai Grup bersama Anas Urbaningrum. Apalagi aset-aset itu sudah dilaporkan ke LHKPN.
"Waktu buka permai saya setor Rp 100 miliar dan Anas juga setor Rp 100 miliar dari sumber-sumber yang sudah saya jelaskan ke penyidik KPK. Itu modal usaha Permai Grup, berjalan aturan perusahaan pada umumnya sesuai aturan cuma uang tersebut 2009 akhir dan 2010 banyak digunakan mas Anas untuk kepentingan politik. Jadi saya sudah punya uang sbelum jadi anggota DPR, saya dilantik 1 Oktober 2009," beber Nazar.
Menanggapi hal itu, Jaksa Penuntut Umum pada KPK Kresno Anto Wibowo yakin dapat membuktikan korupsi yang dilakukan Nazar melalui Permai Grup meski sebelum jadi anggota DPR. Apalagi, dalam pembelaannya Nazar tidak memberikan bukti secara rinci.
"Perusahaan itu dapat pekerjaan juga dengan cara-cara yang tidak benar," beber Jaksa Kresno.
Untuk itu, ia meminta Majelis Hakim untuk tetap menyita aset-aset yang dimiliki oleh Nazar. Meski Nazar kerap berdalih ia sudab melaporkan ke LHKPN.
"LHKPN bukan untuk membuktikan tindak kejahatan, tapi harus dibuktikan dalam sidang. Terdakwa telah terlihat tidak bisa membuktikan secara terbalik seperti pasal 77 sebaliknya kami bisa membuktikan bahwa harta berasal dari pidana," pungkas Kresno
Muhammad Nazaruddin dituntut tujuh tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Ia dinilai melakukan pencucian hasil korupsi dengan membeli aset tanah, bangunan, alat transportasi, dan saham.
Nazaruddin dinilai terbukti melanggar Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Nazaruddin juga dianggap melanggar Pasal 3 UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Lalu, Pasal 3 ayat (1) huruf a, c, dan e UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
medcom.id, Jakarta: Muhammad Nazaruddin, terdakwa tindak pidana pencucian uang dan penerimaan gratifikasi meminta majelis hakim buat mengembalikan sejumlah aset miliknya. Dia bilang, sejumlah aset yang dimilikinya bukan dari korupsi.
"Saya ikhlas uang hampir Rp 800 atau Rp 700 miliar dikembalikan ke negara dari Permai (Permai Grup) dan tersangka lain atau BUMN lain yang ada hubungan dengan Permai kami dengan ikhlas dan rela. Saya hanya mohon dengan sangat aset-aset saya dapat dikembalikan yang tidak ada hubungannya degan Permai Grup dan sudah dilaporkan ke LHKPN mohon dengan sangat dilihat," kata Nazar saat membacakan pembelaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (25/5/2016).
Sejumlah aset yang tidak ada hubungannya dengan Permai Grup kata Nazar antara lain dua tanah dan ruko masing-masing seluas 70 meter dan 130 meter di Jalan Abdulah Syafei. Aset itu kata dia dibeli pada 2007 dan dicicil 2008.
Lalu, ada tanah dan bangunan yang dibeli pada 2008 di Pejaten. Lalu, tanah untuk menanam kelapa sawit. Selanjutnya tanah di Jalan Amal, Kecamatan Sukajati, Koya Pekanbaru, Riau.
"Ini (tanah di Jalan Amal) aset hibah dari mertua dan sudah dikembalikan dari KPK," beber Nazar.
Kemudian, rumah susun di apartemen Taman Rasuna, tower 17 lantai 24E yang dibeli istri Nazar pada 2009. Kemudian tanah HGB di Grand Wijaya Pluit 2, ruko yang juga dibeli istri Nazar, Neneng Sri Wahyuni melalui deposito di Bank BRI.
Selanjutnya tanah HGB di Grand Wijaya Pluit 2, bangunan berupa ruko yang dibeli istri Nazar dari lelang pada 2011. Kemudian satu unit tanah dan bangunan seluas 88 meter di Jalan Jenderal Sudirman Pekanbaru atas nama adik Nazar, Nazir Ahmad.
"Tidak semua yang punya saya adalah punya adik saya dan punya adik saya adalah punya saya. Memang tanah itu sempat dipakai oleh Permai tapi melalui surat perjanjian," tambah Nazar.
Selanjutnya tanah dan bangunan ruko di Bekasi Mas yang dibeli dari lelang sejumlah Rp550 juta. Serta sejumlah polis asuransi. "Tidak semua uang yang didapat Permai Grup dikategorikan uang tidak benar karena ada juga murni benar-benar sesuai aturan pengusaha tanpa melanggar aturan-aturan berlaku tapi uang bagian
fee proyek baik 2009-2010 harus dikembalikan ke negara," tambah Nazar.
Adapun Nazar menyebut ia mampu membeli tanah dan bangunan lantaran mendapat warisan dari ayahnya. Ayahnya meninggal pada 1996.
Usai mendapat warisan, uang ia putar sebagai modal usaha dan mendapat untung. Sewaktu akan berpolitik, ia kemudian mendirikan Permai Grup bersama Anas Urbaningrum. Apalagi aset-aset itu sudah dilaporkan ke LHKPN.
"Waktu buka permai saya setor Rp 100 miliar dan Anas juga setor Rp 100 miliar dari sumber-sumber yang sudah saya jelaskan ke penyidik KPK. Itu modal usaha Permai Grup, berjalan aturan perusahaan pada umumnya sesuai aturan cuma uang tersebut 2009 akhir dan 2010 banyak digunakan mas Anas untuk kepentingan politik. Jadi saya sudah punya uang sbelum jadi anggota DPR, saya dilantik 1 Oktober 2009," beber Nazar.
Menanggapi hal itu, Jaksa Penuntut Umum pada KPK Kresno Anto Wibowo yakin dapat membuktikan korupsi yang dilakukan Nazar melalui Permai Grup meski sebelum jadi anggota DPR. Apalagi, dalam pembelaannya Nazar tidak memberikan bukti secara rinci.
"Perusahaan itu dapat pekerjaan juga dengan cara-cara yang tidak benar," beber Jaksa Kresno.
Untuk itu, ia meminta Majelis Hakim untuk tetap menyita aset-aset yang dimiliki oleh Nazar. Meski Nazar kerap berdalih ia sudab melaporkan ke LHKPN.
"LHKPN bukan untuk membuktikan tindak kejahatan, tapi harus dibuktikan dalam sidang. Terdakwa telah terlihat tidak bisa membuktikan secara terbalik seperti pasal 77 sebaliknya kami bisa membuktikan bahwa harta berasal dari pidana," pungkas Kresno
Muhammad Nazaruddin dituntut tujuh tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Ia dinilai melakukan pencucian hasil korupsi dengan membeli aset tanah, bangunan, alat transportasi, dan saham.
Nazaruddin dinilai terbukti melanggar Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Nazaruddin juga dianggap melanggar Pasal 3 UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Lalu, Pasal 3 ayat (1) huruf a, c, dan e UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(Des)