medcom.id, Jakarta: Selama tujuh tahun terakhir, pengadilan di seluruh Indonesia mengalami krisis hakim. Hakim yang habis masa tugasnya karena pensiun maupun sebab lain tidak diregenerasi ke periode berikutnya, sehingga jumlah hakim di seluruh Indonesia semakin berkurang.
Ketua Ikatan Hakim Indonesia Suhadi mengamini jika krisis hakim sudah terjadi sejak tujuh tahun terakhir. Ironisnya, aturan perundangan yang saat ini berlaku justru menyulitkan berbagai pihak untuk melakukan rekrutmen, termasuk pemerintah.
Dalam UU nomor 49, 50, dan 51 UU tentang peradilan umum, peradilan agama dan peradilan tata usaha negara yang dikeluarkan tahun 2009 menyebut salah satu syarat perekrutan hakim harus berasal dari calon pegawai negeri sipil (CPNS).
"Tapi dalam UU syarat ini hilang, disitu sudah harus bersyarat sebagai pejabat negara untuk bisa diangkat sebagai hakim," ungkap Suhadi, dalam Metro News, Kamis 30 Maret 2017.
Sayangnya, kata Suhadi, syarat sebagai pejabat negara saja masih dianggap kurang. Sebab calon hakim harus melalui usulan Mahkamah Agung kepada Presiden dan harus memiliki sertifikat pendidikan hakim.
Sertifikat pendidikan hakim bisa dimiliki setelah menempuh pendidikan selama 2,5 tahun. Sementara, tidak ada calon pejabat negara yang bisa disebut sebagai pejabat negara hanya dengan menempuh pendidikan selama 2,5 tahun.
"Kalau menggunakan sistem pendidikan prosesnya bisa 3 tahun kemudian bisa menjadi hakim. Pendidikan 2,5 tahun, lalu pengusulan bisa sampai 6 bulan. Misalnya tahun ini kita rekrut, tiga tahun kedepan baru bisa dipakai," ungkap Suhadi.
Tak sampai di situ saja, Komisioner Komisi Yudisial Farid Wajdi juga mengatakan rekrutmen calon hakim juga disulitkan dengan tidak adanya aturan yang mengatur siapa yang berhak untuk menyeleksi calon hakim.
Komisi Yudisial yang sebelumnya masuk dalam bagian penyeleksi calon hakim digugurkan dengan adanya uji materi yang dilayangkan Ikatan Hakim Indonesia yang meminta agar KY tidak lagi diberi kewenangan untuk menyeleksi hakim.
"Belum jelas siapa yang melakukan seleksi, makanya harus ada kerendahan hati dari semua pihak untuk menyelesaikan krisis ini. Karena kalau tunduk pada peraturan kita tidak bisa melaksanakan kecuali ada aturan khusus dalam bentuk Perppu untuk melakukannya," tegas Farid.
medcom.id, Jakarta: Selama tujuh tahun terakhir, pengadilan di seluruh Indonesia mengalami krisis hakim. Hakim yang habis masa tugasnya karena pensiun maupun sebab lain tidak diregenerasi ke periode berikutnya, sehingga jumlah hakim di seluruh Indonesia semakin berkurang.
Ketua Ikatan Hakim Indonesia Suhadi mengamini jika krisis hakim sudah terjadi sejak tujuh tahun terakhir. Ironisnya, aturan perundangan yang saat ini berlaku justru menyulitkan berbagai pihak untuk melakukan rekrutmen, termasuk pemerintah.
Dalam UU nomor 49, 50, dan 51 UU tentang peradilan umum, peradilan agama dan peradilan tata usaha negara yang dikeluarkan tahun 2009 menyebut salah satu syarat perekrutan hakim harus berasal dari calon pegawai negeri sipil (CPNS).
"Tapi dalam UU syarat ini hilang, disitu sudah harus bersyarat sebagai pejabat negara untuk bisa diangkat sebagai hakim," ungkap Suhadi, dalam
Metro News, Kamis 30 Maret 2017.
Sayangnya, kata Suhadi, syarat sebagai pejabat negara saja masih dianggap kurang. Sebab calon hakim harus melalui usulan Mahkamah Agung kepada Presiden dan harus memiliki sertifikat pendidikan hakim.
Sertifikat pendidikan hakim bisa dimiliki setelah menempuh pendidikan selama 2,5 tahun. Sementara, tidak ada calon pejabat negara yang bisa disebut sebagai pejabat negara hanya dengan menempuh pendidikan selama 2,5 tahun.
"Kalau menggunakan sistem pendidikan prosesnya bisa 3 tahun kemudian bisa menjadi hakim. Pendidikan 2,5 tahun, lalu pengusulan bisa sampai 6 bulan. Misalnya tahun ini kita rekrut, tiga tahun kedepan baru bisa dipakai," ungkap Suhadi.
Tak sampai di situ saja, Komisioner Komisi Yudisial Farid Wajdi juga mengatakan rekrutmen calon hakim juga disulitkan dengan tidak adanya aturan yang mengatur siapa yang berhak untuk menyeleksi calon hakim.
Komisi Yudisial yang sebelumnya masuk dalam bagian penyeleksi calon hakim digugurkan dengan adanya uji materi yang dilayangkan Ikatan Hakim Indonesia yang meminta agar KY tidak lagi diberi kewenangan untuk menyeleksi hakim.
"Belum jelas siapa yang melakukan seleksi, makanya harus ada kerendahan hati dari semua pihak untuk menyelesaikan krisis ini. Karena kalau tunduk pada peraturan kita tidak bisa melaksanakan kecuali ada aturan khusus dalam bentuk Perppu untuk melakukannya," tegas Farid.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)