medcom.id, Jakarta. Terdakwa penerima gratifikasi Anas Urbaningrum selalu menyebut kasus dipolitisasi. Puncak politisasi kasusnya adalah tuntutan pencabutan hak politiknya untuk dipilih.
"Apalagi ketika salah satu materi tuntutan adalah agar menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik," kata Anas saat membacakan pledoi di Pengadilan Tipikor, Jl HR Rasuna Said, Jakarta, Kamis (18/9/2014).
Aalasan jaksa yang menginginkan pencabutan guan menghindari negara Indonesia dari kemungkinan dipimpin oleh orang yang pernah dijatuhi hukuman akibat melakukan tindak pidana korupsi adalah puncak politisasi. "Inilah sesungguhnya puncak dan sekaligus mahkota dari dakwaan dan tuntutan politik JPU, dengan tujuan agar terdakwa kehilangan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik," ujar mantan Ketum DPP Partai Demokrat ini.
"Inilah muara yang hendak dituju oleh dakwaan dan tuntutan politik," tandas Anas tanpa merinci muara seperti bagaimana yang dituju jaksa itu.
Sebelumnya, jaksa menuntut agar Hakim menjatuhkan pidana 15 tahun penjara denda Rp 500 juta subsider 5 bulan. Anas juga dituntut membayar uang pengganti Rp 94 miliar dan USD 5.261.070 juga pencabutan hak pilih dan dipilih.
Anas terbukti menerima hadiah atau janji yang kemudian dikumpulkannya untuk menjadikan presiden. Anas melanggar Pasal 12 huruf (a) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana terkait sebagaimana dalam dakwaan kesatu.
Selanjutnya Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP dalam dakwaan kedua dan Pasal 3 huruf C Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 25 Tahun 2003 tentang pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam dakwaan ketiga.
medcom.id, Jakarta. Terdakwa penerima gratifikasi Anas Urbaningrum selalu menyebut kasus dipolitisasi. Puncak politisasi kasusnya adalah tuntutan pencabutan hak politiknya untuk dipilih.
"Apalagi ketika salah satu materi tuntutan adalah agar menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik," kata Anas saat membacakan pledoi di Pengadilan Tipikor, Jl HR Rasuna Said, Jakarta, Kamis (18/9/2014).
Aalasan jaksa yang menginginkan pencabutan guan menghindari negara Indonesia dari kemungkinan dipimpin oleh orang yang pernah dijatuhi hukuman akibat melakukan tindak pidana korupsi adalah puncak politisasi. "Inilah sesungguhnya puncak dan sekaligus mahkota dari dakwaan dan tuntutan politik JPU, dengan tujuan agar terdakwa kehilangan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik," ujar mantan Ketum DPP Partai Demokrat ini.
"Inilah muara yang hendak dituju oleh dakwaan dan tuntutan politik," tandas Anas tanpa merinci muara seperti bagaimana yang dituju jaksa itu.
Sebelumnya, jaksa menuntut agar Hakim menjatuhkan pidana 15 tahun penjara denda Rp 500 juta subsider 5 bulan. Anas juga dituntut membayar uang pengganti Rp 94 miliar dan USD 5.261.070 juga pencabutan hak pilih dan dipilih.
Anas terbukti menerima hadiah atau janji yang kemudian dikumpulkannya untuk menjadikan presiden. Anas melanggar Pasal 12 huruf (a) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana terkait sebagaimana dalam dakwaan kesatu.
Selanjutnya Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP dalam dakwaan kedua dan Pasal 3 huruf C Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 25 Tahun 2003 tentang pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam dakwaan ketiga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LHE)