medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Komisi Yudisial tidak berhak terlibat dalam proses seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama. Kendati demikian, Komisi Yudisial tetap berhak mengawasi perilaku hakim di berbagai tingkatan.
"Kalau kode etik tetap. Karena undang-undang mereka jelas dan khusus pengawasan hakim. Kode etik kan pengawasan. Dalam kode etik, tidak ada rekrutmen. Kode etik hanya pengawasan," kata Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi usai putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (7/10/2015).
Suhadi mengatakan, MA tidak pernah atau tidak sempat mengikutsertakan Komisi Yudisial dalam proses seleksi hakim. Sebelumnya, perihal keikutsertaan KY dalam seleksi hakim telah diatur di tiga UU. Putusan yang dikeluarkan MK akhirnya menegaskan posisi KY dalam rekrutmen hakim.
Mahkamah Konstitusi menilai dasar hukum keikutsertaan Komisi Yudisial bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Dasar hukumnya Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Suhadi akan menindaklanjuti putusan yang dikeluarkan MK. MA, kata dia, akan berkonsultasi dengan pemerintah.
"Untuk ke depan, kita konsultasi dengan pemerintah. Karena kita nanti akan membiayai hakim baru dari pemerintah," ujar dia.
Selain itu, Suhadi mengatakan, meski telah ada 7000 hakim yang terdaftar di seluruh Indonesia tenaga hakim masih kurang. Saat ini ada sekitar 750 hakim yang memasuki masa pensiun.
Proses rekrutmen telah dilakukan. Dari 250 calon hakim yang mendaftar, 58 di antaranya dinyatakan lolos tes tertulis. Selanjutnya, mereka yang lolos akan ditampilkan di media massa untuk mendapatkan masukan dari publik.
"Diberikan kesempatan kepada masyarakat, lembaga tertentu, berpartisipasi menilai selama satu bulan
Kita surati ke Komisi Yudisial, ICW, dan lain-lain. Mereka boleh mengajukan penilaian sosok yang lolos," tukas dia.
medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Komisi Yudisial tidak berhak terlibat dalam proses seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama. Kendati demikian, Komisi Yudisial tetap berhak mengawasi perilaku hakim di berbagai tingkatan.
"Kalau kode etik tetap. Karena undang-undang mereka jelas dan khusus pengawasan hakim. Kode etik kan pengawasan. Dalam kode etik, tidak ada rekrutmen. Kode etik hanya pengawasan," kata Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi usai putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (7/10/2015).
Suhadi mengatakan, MA tidak pernah atau tidak sempat mengikutsertakan Komisi Yudisial dalam proses seleksi hakim. Sebelumnya, perihal keikutsertaan KY dalam seleksi hakim telah diatur di tiga UU. Putusan yang dikeluarkan MK akhirnya menegaskan posisi KY dalam rekrutmen hakim.
Mahkamah Konstitusi menilai dasar hukum keikutsertaan Komisi Yudisial bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Dasar hukumnya Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Suhadi akan menindaklanjuti putusan yang dikeluarkan MK. MA, kata dia, akan berkonsultasi dengan pemerintah.
"Untuk ke depan, kita konsultasi dengan pemerintah. Karena kita nanti akan membiayai hakim baru dari pemerintah," ujar dia.
Selain itu, Suhadi mengatakan, meski telah ada 7000 hakim yang terdaftar di seluruh Indonesia tenaga hakim masih kurang. Saat ini ada sekitar 750 hakim yang memasuki masa pensiun.
Proses rekrutmen telah dilakukan. Dari 250 calon hakim yang mendaftar, 58 di antaranya dinyatakan lolos tes tertulis. Selanjutnya, mereka yang lolos akan ditampilkan di media massa untuk mendapatkan masukan dari publik.
"Diberikan kesempatan kepada masyarakat, lembaga tertentu, berpartisipasi menilai selama satu bulan
Kita surati ke Komisi Yudisial, ICW, dan lain-lain. Mereka boleh mengajukan penilaian sosok yang lolos," tukas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DRI)