medcom.id, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menemukan perbuatan melanggar hukum pada kasus dugaan korupsi lahan Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW). KPK pun berencana bakal menutup kasus yang menyeret nama Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama tersebut.
Ahli Hukum Tata Negara, Refly Harun mengungkapkan kasus ini sangat sederhana. Berangkat dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK tentang APBD DKI 2014 yang membeberkan dugaan kesalahan alamat dalam pembelian RSSW. Kesalahan ini berujung pada perbedaan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang menyebabkan adanya indikasi kerugian DKI.
"Kan sederhana sebenarnya dan sudah terang benderang. Setelah dikonfirmasi lokasinya kan bukan di lokasi yang ditunjuk BPK?," kata Refly pada program Prime Time News, Metro Tv, Kamis (14/6/2016).
Awalnya BPK menyebut harusnya pembelian RSSW memakai Jalan Tomang Utara yang NJOP-nya Rp7 juta per meter persegi. Sementara DKI membeli lahan RSSW berdasarkan alamat Jalan Kyai Tapa yang punya NJOP sebesar Rp20 juta per meter. Sebagai penentu NJOP, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menyebutkan pajak lahan itu mengikuti NJOP Jalan Kyai Tapa.
Lantas Refly bilang muncul sejumlah pihak yang menyatakan kejanggalan dan lainnya. Refly bilang hasil KPK yang tidak menemukan unsur perlawanan hukum dalam kasus tersebut harusnya bisa membuktikan tidak ada indikasi tindak pidana korupsi di dalamnya.
"Ya setelahnya mudah sekali, case close dong?," lanjut dia.
Kalaupun ada yang perlu dipersoalkan dalam kasus ini, ujar Refly adalah kasus penyalahan administratif. Namun kesalahan administratif tak serta merta membawa pejabat publik ke korupsi.
"Harus dilihat kesalahan administrasinya membawa unsur korupsi tidak? Kalau tidak ya perbaikannya adalah perbaikan administrasi," terang dia.
Hal ini dikatakan Refly karena sejatinya tidak ada satupun pejabat yang tidak melakukan kesalahan administrasi. Refly menuturkan Undang Undang nomor 8 tahun 2015 tentang Administrasi Pemerintahan memberikan kelonggaran pejabat melakukan jalan potong administrasi.
"Tapi bukan berarti juga pejabat bisa berlindung di bawah peraturan ini. Semuanya harus dibuktikan," ungkap dia.
Sekadar diketahui, LHP BPK DKI mengindikasikan kerugian DKI sebear 191,33 miliar terkait kasus ini. BPK juga mempersoalkan sejumlah poin pembelian seperti alamat RSSW, kajian pembelian dan prosedur pembelian. Kasus ini pun diserahkan kepada KPK. KPK juga berencana menutup kasus ini. Namun belakangan KPK ingin melakukan pertemuan terlebih dahulu dengan BPK.
medcom.id, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menemukan perbuatan melanggar hukum pada kasus dugaan korupsi lahan Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW). KPK pun berencana bakal menutup kasus yang menyeret nama Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama tersebut.
Ahli Hukum Tata Negara, Refly Harun mengungkapkan kasus ini sangat sederhana. Berangkat dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK tentang APBD DKI 2014 yang membeberkan dugaan kesalahan alamat dalam pembelian RSSW. Kesalahan ini berujung pada perbedaan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang menyebabkan adanya indikasi kerugian DKI.
"Kan sederhana sebenarnya dan sudah terang benderang. Setelah dikonfirmasi lokasinya kan bukan di lokasi yang ditunjuk BPK?," kata Refly pada program Prime Time News, Metro Tv, Kamis (14/6/2016).
Awalnya BPK menyebut harusnya pembelian RSSW memakai Jalan Tomang Utara yang NJOP-nya Rp7 juta per meter persegi. Sementara DKI membeli lahan RSSW berdasarkan alamat Jalan Kyai Tapa yang punya NJOP sebesar Rp20 juta per meter. Sebagai penentu NJOP, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menyebutkan pajak lahan itu mengikuti NJOP Jalan Kyai Tapa.
Lantas Refly bilang muncul sejumlah pihak yang menyatakan kejanggalan dan lainnya. Refly bilang hasil KPK yang tidak menemukan unsur perlawanan hukum dalam kasus tersebut harusnya bisa membuktikan tidak ada indikasi tindak pidana korupsi di dalamnya.
"Ya setelahnya mudah sekali, case close dong?," lanjut dia.
Kalaupun ada yang perlu dipersoalkan dalam kasus ini, ujar Refly adalah kasus penyalahan administratif. Namun kesalahan administratif tak serta merta membawa pejabat publik ke korupsi.
"Harus dilihat kesalahan administrasinya membawa unsur korupsi tidak? Kalau tidak ya perbaikannya adalah perbaikan administrasi," terang dia.
Hal ini dikatakan Refly karena sejatinya tidak ada satupun pejabat yang tidak melakukan kesalahan administrasi. Refly menuturkan Undang Undang nomor 8 tahun 2015 tentang Administrasi Pemerintahan memberikan kelonggaran pejabat melakukan jalan potong administrasi.
"Tapi bukan berarti juga pejabat bisa berlindung di bawah peraturan ini. Semuanya harus dibuktikan," ungkap dia.
Sekadar diketahui, LHP BPK DKI mengindikasikan kerugian DKI sebear 191,33 miliar terkait kasus ini. BPK juga mempersoalkan sejumlah poin pembelian seperti alamat RSSW, kajian pembelian dan prosedur pembelian. Kasus ini pun diserahkan kepada KPK. KPK juga berencana menutup kasus ini. Namun belakangan KPK ingin melakukan pertemuan terlebih dahulu dengan BPK.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LDS)