medcom.id, Jakarta: Jaksa Agung M. Prasetyo menyindir kewenangan penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya, meski sudah diberi kewenangan lebih, KPK belum mampu menyaingi indeks persepsi korupsi (IPK) yang diberikan institusi pemberantasan korupsi di negara-negara tetangga.
"IPK pada 2016, Malaysia mendapat skor 49 dengan peringkat 55. Sedangkan Singapura mendapat skor 84 dengan peringkat 7 dari 170-an negara yang disurvei," kata Prasetyo dalam rapat dengar pendapat di Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin 11 September 2017.
Sementara itu, meski sudah menindak kasus korupsi melalui operasi tangkap tangan (OTT), IPK Indonesia tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Di tahun yang sama, IPK Indonesia hanya mendapat skor 37 dan menduduki peringkat 90.
Prasetyo membandingkan kewenangan KPK dengan Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia (SPRM) di Malaysia, dan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) di Singapura. Mereka mendapatkan hasil lebih baik kendati hanya memiliki fungsi penyelidikan dan penyidikan.
Dia menjelaskan, Kewenangan penuntutan di Malaysia dan Singapura adalah milik penuh kejaksaan. Meskipun SPRM Malaysia juga punya divisi penuntutan, tetapi dalam pelaksanaannya harus ada izin dari jaksa agung Malaysia.
Intinya, jelas dia, kejaksaan di Singapura dan Malaysia adalah institusi yang berwenang menentukan dapat/tidaknya suatu perkara ditingkatkan ke tahap penuntutan dan disidangkan di pengadilan. Ini perwujudan universal sistem penuntutan tunggal yang berlaku di setiap negara
"Tugas dan kewenangan yang dimiliki CPIB dan SPRM maupun kejaksaan dan kepolisian di kedua negara ternyata dinilai mampu menciptakan pemberantasan korupsi yang efektif," pungkas Prasetyo.
medcom.id, Jakarta: Jaksa Agung M. Prasetyo menyindir kewenangan penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya, meski sudah diberi kewenangan lebih, KPK belum mampu menyaingi indeks persepsi korupsi (IPK) yang diberikan institusi pemberantasan korupsi di negara-negara tetangga.
"IPK pada 2016, Malaysia mendapat skor 49 dengan peringkat 55. Sedangkan Singapura mendapat skor 84 dengan peringkat 7 dari 170-an negara yang disurvei," kata Prasetyo dalam rapat dengar pendapat di Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin 11 September 2017.
Sementara itu, meski sudah menindak kasus korupsi melalui operasi tangkap tangan (OTT), IPK Indonesia tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Di tahun yang sama, IPK Indonesia hanya mendapat skor 37 dan menduduki peringkat 90.
Prasetyo membandingkan kewenangan KPK dengan Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia (SPRM) di Malaysia, dan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) di Singapura. Mereka mendapatkan hasil lebih baik kendati hanya memiliki fungsi penyelidikan dan penyidikan.
Dia menjelaskan, Kewenangan penuntutan di Malaysia dan Singapura adalah milik penuh kejaksaan. Meskipun SPRM Malaysia juga punya divisi penuntutan, tetapi dalam pelaksanaannya harus ada izin dari jaksa agung Malaysia.
Intinya, jelas dia, kejaksaan di Singapura dan Malaysia adalah institusi yang berwenang menentukan dapat/tidaknya suatu perkara ditingkatkan ke tahap penuntutan dan disidangkan di pengadilan. Ini perwujudan universal sistem penuntutan tunggal yang berlaku di setiap negara
"Tugas dan kewenangan yang dimiliki CPIB dan SPRM maupun kejaksaan dan kepolisian di kedua negara ternyata dinilai mampu menciptakan pemberantasan korupsi yang efektif," pungkas Prasetyo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)