Jakarta: Masyarakat diminta tidak menganggap kebiri kimia sebagai hukuman yang bersifat pembalasan dendam. Sebab, terjadi perubahan paradigma teori pembalasan sejak 1960, yakni hukuman bukan sebagai upaya retaliation.
"Begitu juga dalam hukuman kebiri kimia, ini bukan hukuman pokok tapi hukuman tambahan sesuai yang dimaksud Pasal 10 KUHP," ujar tenaga ahli Jaksa Agung, Chaerul Imam, dalam webinar yang digelar Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor, Selasa (28/12).
Menurut Chaerul, kebiri kimia perlu dilakukan sebelum pelaku kekerasan seksual, khususnya terhadap anak dikembalikan ke masyarakat. Dengan memahami perspektif tersebut, dia berharap para dokter yang selama ini terikat dengan sumpah dan kode etik bisa membantu jaksa untuk melakukan eksekusi.
Chaerul meminta dokter dilibatkan sejak proses penyidikan yang dilakukan aparat penegak hukum. Dengan begitu, dokter bisa memahami betul masalah yang dialami pelaku.
"Sehingga, jangan sampai dia merasa ketiban bagian cuci piring saja begitu. Memang kurang fair," tegas dia.
Baca: Kejagung Ungkap Pro Kontra Kebiri Kimia Terhadap Predator Seks Anak
Dalam kesempatan yang sama, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Yenti Garnasih, menganggap bahwa kekerasan seksual terhadap anak tidak perlu dimasukkan ke dalam kejahatan luar biasa. Dia berpendapat dengan mengelompokkan ke dalam kejahatan luar biasa, pengusutan kasus kekerasan seksual terhadap anak akan tidak lancar.
"Dengan serious crime saja sudah cukup sebenarnya. Justru kalau kita memasukkan ke extraordinary crime, kita mempunyai konsekuensi-konsekuensi lain yang bisa tidak lancar tadi," ujar Yenti.
Dia juga menilai undang-undang yang sudah dibentuk akan mati jika sanksi pidana tambahan kebiri kimia tidak dijatuhkan. Padahal, sebelumnya sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap dan peraturan pemerintah terkait pelaksanaannya.
"Kalau sampai tidak bisa dilaksanakan hanya karena ada komponen yang tidak bisa melaksanaan, ya kewibawaan hukum di Indonesia dipertanyakan," tegas dia.
Jakarta: Masyarakat diminta tidak menganggap
kebiri kimia sebagai hukuman yang bersifat pembalasan dendam. Sebab, terjadi perubahan paradigma teori pembalasan sejak 1960, yakni hukuman bukan sebagai upaya retaliation.
"Begitu juga dalam hukuman kebiri kimia, ini bukan hukuman pokok tapi hukuman tambahan sesuai yang dimaksud Pasal 10 KUHP," ujar tenaga ahli Jaksa Agung, Chaerul Imam, dalam webinar yang digelar Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor, Selasa (28/12).
Menurut Chaerul, kebiri kimia perlu dilakukan sebelum pelaku
kekerasan seksual, khususnya terhadap anak dikembalikan ke masyarakat. Dengan memahami perspektif tersebut, dia berharap para dokter yang selama ini terikat dengan sumpah dan kode etik bisa membantu jaksa untuk melakukan eksekusi.
Chaerul meminta dokter dilibatkan sejak proses penyidikan yang dilakukan aparat penegak hukum. Dengan begitu, dokter bisa memahami betul masalah yang dialami
pelaku.
"Sehingga, jangan sampai dia merasa ketiban bagian cuci piring saja begitu. Memang kurang fair," tegas dia.
Baca:
Kejagung Ungkap Pro Kontra Kebiri Kimia Terhadap Predator Seks Anak
Dalam kesempatan yang sama, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Yenti Garnasih, menganggap bahwa kekerasan seksual terhadap anak tidak perlu dimasukkan ke dalam kejahatan luar biasa. Dia berpendapat dengan mengelompokkan ke dalam kejahatan luar biasa, pengusutan kasus kekerasan seksual terhadap anak akan tidak lancar.
"Dengan serious crime saja sudah cukup sebenarnya. Justru kalau kita memasukkan ke extraordinary crime, kita mempunyai konsekuensi-konsekuensi lain yang bisa tidak lancar tadi," ujar Yenti.
Dia juga menilai undang-undang yang sudah dibentuk akan mati jika sanksi pidana tambahan kebiri kimia tidak dijatuhkan. Padahal, sebelumnya sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap dan peraturan pemerintah terkait pelaksanaannya.
"Kalau sampai tidak bisa dilaksanakan hanya karena ada komponen yang tidak bisa melaksanaan, ya kewibawaan hukum di Indonesia dipertanyakan," tegas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)