Diskusi 'RKUHP: Periode Baru Bahas dengan Pendekatan Baru' di Bakoel Coffe, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu, 17 November 2019. Foto: Medcom.id/ Husei Miftahuddin
Diskusi 'RKUHP: Periode Baru Bahas dengan Pendekatan Baru' di Bakoel Coffe, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu, 17 November 2019. Foto: Medcom.id/ Husei Miftahuddin

Pembahasan RKUHP Harus Partisipatif dan Transparan

Husen Miftahudin • 17 November 2019 17:56
Jakarta: Pakar Hukum Tata Negara STHI Jentera, Bivitri Susanti menyatakan pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) harus dilakukan secara transparan dan partisipatif. Dimulai dari proses perencanaan melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas) oleh DPR, baik untuk lima tahun maupun satu tahunan.
 
"Saya menafsirkan bahwa yang seharusnya dilakukan adalah untuk membahasnya secara terbuka dari Prolegnas, sehingga lebih rapih karena kita bisa melihat dengan terang. Prolegnas itu dijadikan sebagai dasar untuk evaluasi," ujar Bivitri dalam diskusi 'RKUHP: Periode Baru Bahas dengan Pendekatan Baru' di Bakoel Coffe, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu, 17 November 2019.
 
Berangkat dari hal tersebut, DPR dan Pemerintah harus menyepakati pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dengan sejumlah pendekatan. Dalam hal tahap pembahasan, pendekatan pembentukan dan/atau revisi undang-undang harus dilakukan secara partisipatif.

"Jadi pembahasan itu harus partisipatif, bukan sosialisasi. Seringkali pembuat kebijakan itu lebih ke sosialisasi, padahal partisipatif dan sosialisasi adalah dua barang yang berbeda. Sosialisasi itu barangnya (kebijakan) sudah jadi terus disosialisasikan, kalau partisipasi itu mengundang pemangku kepentingan untuk membahas bersama untuk memberi masukan," jelasnya.
 
Terkait RKUHP, Bivitri menegaskan pembahasannya harus disisir terlebih dahulu untuk mencari akar masalahnya. "Jangan langsung diambil 14 pasal yang ditentukan dari awal oleh pemerintah. Bukan gitu, itu bukan partisipasi," ketus dia.
 
Presiden Joko Widodo sebelumnya meminta DPR menunda pengesahan RKUHP dan mengkaji ulang 14 pasal yang dianggap bermasalah. Beleid bermasalah itu di antaranya terkait pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, pembiaran unggas, perzinahan, kohabitasi, penggelandangan, aborsi, dan tentang tindak pidana korupsi.
 
Selanjutnya, tambah Bivitri, terkait pemangku kepentingan yang dihadirkan dalam pembahasan undang-undang. Lagi-lagi Bivitri menegaskan tahapan ini harus dilakukan secara partisipatif dan transparan.
 
"Jadi bukan hanya ahli (saja yang diundang bahas undang-undang), karena ahli saja tidak cukup. Pihak yang terkena dampak itu yang harus didengar karena mereka yang bisa mengukur, mereka juga lebih tahu konkretnya seperti apa. Itu yang harus diundang," pungkas Bivitri.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WHS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan