Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mereformulasi sejumlah pasal revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Salah satunya, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyampaikan bentuk reformulasi pasal penghinaan presiden yaitu memasukkan penjelasan. Hal itu dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman penerapan pasal tersebut.
"Jadi kami memberikan penjelasan supaya tidak terjadi multi intepretasi," kata Edward di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 9 November 2022.
Dia menyampaikan reformulasi yang dilakukan berdasarkan masukan masyarakat. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) sebelumnya membuka ruang dialog bagi berbagai stakeholder memberikan masukan terhadap revisi KUHP.
"Ini betul-betul berdasarkan masukan dari hasil dialog publik," ungkap dia.
Dia menyampaikan reformulasi Pasal 218 merujuk pada masukan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Yakni, memperjelas penyerangan harkat dan martabat yang dimaksudkan adalah menista atau memfitnah.
"Kemudian di situ (penjelasan Pasal 218) dikatakan juga bahwa pasal ini tidak dimaksudkan untuk menghalangi kebebasan berpendapat, kebebasan berdemokrasi, kebebasan berekspresi yang diwujudkan antara lain dalam unjuk rasa," terang Edward.
Dia menegaskan reformulasi itu dilakukan untuk menjawab tudingan yang berkembang selama ini. Sebab, Pasal 218 dikhawatirkan mempengaruhi kebebasan berpendapat.
"Unjuk rasa itu tidak menjadi persoalan, tidak menjadi masalah. Makanya mengapa kami bunyikan, kalau dia menyampaikan ekspresi atau pendapatnya dalam bentuk unjuk rasa sebagai sesuatu yang tidak ada masalah," ujar Edward.
Selain menambah penjelasan, reformulasi dilakukan terhadap hukuman pidana pelanggar Pasal 218 menjadi tiga tahun. Jika merujuk pada draf Juli 2022, hukuman pidana pelanggar Pasal 218 yaitu 3 tahun 6 bulan.
Berikut ini bunyi Pasal 218 RKUHP berdasarkan draf teranyar, 9 November 2022:
Pasal 218
(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Penjelasan Pasal 218:
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri” merupakan merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri, termasuk menista atau memfitnah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dilakukan untuk kepentingan umum” adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa, kritik, atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dalam negara demokratis, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pada dasarnya, kritik dalam Pasal ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mereformulasi sejumlah pasal revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (
KUHP). Salah satunya, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyampaikan bentuk reformulasi pasal penghinaan presiden yaitu memasukkan penjelasan. Hal itu dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman penerapan pasal tersebut.
"Jadi kami memberikan penjelasan supaya tidak terjadi multi intepretasi," kata Edward di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 9 November 2022.
Dia menyampaikan reformulasi yang dilakukan berdasarkan masukan masyarakat. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (
Kemenkumham) sebelumnya membuka ruang dialog bagi berbagai stakeholder memberikan masukan terhadap revisi KUHP.
"Ini betul-betul berdasarkan masukan dari hasil dialog publik," ungkap dia.
Dia menyampaikan reformulasi Pasal 218 merujuk pada masukan
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Yakni, memperjelas penyerangan harkat dan martabat yang dimaksudkan adalah menista atau memfitnah.
"Kemudian di situ (penjelasan Pasal 218) dikatakan juga bahwa pasal ini tidak dimaksudkan untuk menghalangi kebebasan berpendapat, kebebasan berdemokrasi, kebebasan berekspresi yang diwujudkan antara lain dalam unjuk rasa," terang Edward.
Dia menegaskan reformulasi itu dilakukan untuk menjawab tudingan yang berkembang selama ini. Sebab, Pasal 218 dikhawatirkan mempengaruhi kebebasan berpendapat.
"Unjuk rasa itu tidak menjadi persoalan, tidak menjadi masalah. Makanya mengapa kami bunyikan, kalau dia menyampaikan ekspresi atau pendapatnya dalam bentuk unjuk rasa sebagai sesuatu yang tidak ada masalah," ujar Edward.
Selain menambah penjelasan, reformulasi dilakukan terhadap hukuman pidana pelanggar Pasal 218 menjadi tiga tahun. Jika merujuk pada draf Juli 2022, hukuman pidana pelanggar Pasal 218 yaitu 3 tahun 6 bulan.
Berikut ini bunyi Pasal 218 RKUHP berdasarkan draf teranyar, 9 November 2022:
Pasal 218
(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Penjelasan Pasal 218:
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri” merupakan merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri, termasuk menista atau memfitnah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dilakukan untuk kepentingan umum” adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa, kritik, atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dalam negara demokratis, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pada dasarnya, kritik dalam Pasal ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)