medcom.id, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia (MUI) memandang gugatan pemohon atas Undang-Undang Perkawinan sama dengan membawa negara kembali pada era kolonialisme Belanda.
Hal tersebut akibat cara pandang pemohon yang dianggap MUI hanya mengedepankan perkawinan sebagai hukum perdata semata, sementara hukum ketaatan yang diatur agama dikesampingkan. Hasilnya, pemohon seakan menginginkan adanya pelegalan perkawinan beda agama melalui pengajuan uji materi pasal 2 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
"Perkawinan beda agama inilah yang kini mencoba dipromosikan oleh para pemohon dengan maksud mengajak kita semua kepada cara pandang kolonialisme Belanda," ujar M Luthfie Hakim mewakili MUI, dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta (5/11/2014).
Menurut MUI, cara pandang yang diterapkan pemerintahan kolonial Belanda pada awal abad 19, memandang perkawinan hanya merupakan tindakan yang tunduk pada hukum perdata.
Padahal, unsur yang menentukan sah atau tidaknya perkawinan adalah menurut hukum ketaatan agama. Dengan kata lain, perkawinan yang dianggap sah menurut hukum perdata di era kolonial Belanda tidak bisa disahkan dalam hukum agama.
medcom.id, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia (MUI) memandang gugatan pemohon atas Undang-Undang Perkawinan sama dengan membawa negara kembali pada era kolonialisme Belanda.
Hal tersebut akibat cara pandang pemohon yang dianggap MUI hanya mengedepankan perkawinan sebagai hukum perdata semata, sementara hukum ketaatan yang diatur agama dikesampingkan. Hasilnya, pemohon seakan menginginkan adanya pelegalan perkawinan beda agama melalui pengajuan uji materi pasal 2 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
"Perkawinan beda agama inilah yang kini mencoba dipromosikan oleh para pemohon dengan maksud mengajak kita semua kepada cara pandang kolonialisme Belanda," ujar M Luthfie Hakim mewakili MUI, dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta (5/11/2014).
Menurut MUI, cara pandang yang diterapkan pemerintahan kolonial Belanda pada awal abad 19, memandang perkawinan hanya merupakan tindakan yang tunduk pada hukum perdata.
Padahal, unsur yang menentukan sah atau tidaknya perkawinan adalah menurut hukum ketaatan agama. Dengan kata lain, perkawinan yang dianggap sah menurut hukum perdata di era kolonial Belanda tidak bisa disahkan dalam hukum agama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LAL)