Jakarta: Sebanyak 157 kasus pembatasan kebebasan sipil terjadi selama satu tahun terakhir. Hal itu berdasarkan temuan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
“(Terjadi) selama Oktober 2019 sampai September 2020,” kata Wakil Koordinator KontraS bidang Riset dan Mobilisasi, Rivanlee Anandar, dalam konferensi pers daring Catatan 1 Tahun Pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Senin, 19 Oktober 2020.
Rivanlee memerinci jumlah itu terdiri dari 63 kali penangkapan, 55 kali pembubaran aksi massa, 22 pelarangan berkumpul, dan 22 kali intimidasi. Selain itu, ada 15 penganiayaan, lima persekusi, dan satu sanksi sewenang-wenang.
Pelanggaran tersebut, kata Rivanlee, mengundang korban. Sebanyak 77 masyarakat, 41 mahasiswa, 12 aktivis, 11 jurnalis, delapan komunitas, dan delapan orang buruh terdampak.
“KontraS menilai hal ini terjadi karena adanya pewajaran terjadinya tindakan represif melalui kebijakan yang mendukung represif oleh aparat,” ujar dia.
Rivanlee juga mencatat aktor pembatasan kebebasan sipil. Sebanyak 132 aktor dari kepolisian, 27 dari pemerintah, 18 organisasi masyarakat (ormas) atau warga, dua kampus, dan satu TNI.
“Polisi masih terus menjadi aktor utama dalam pembatasan kebebasan sipil,” tutur Rivanlee.
Rivanlee menjelaskan tiga indikator KontraS dalam menilai pelanggaran tersebut. Hal ini meliputi pelanggaran hak atas kebebasan berkumpul, hak atas kebebasan berserikat atau berasosiasi, serta hak atas kebebasan berekspresi.
Baca: Tersangka Demo Rusuh UU Cipta Kerja Menjadi 131 Orang
Ancaman ini ditindaklanjuti dengan adanya pewajaran tindakan represi seperti intimidasi hingga doxing. Rivanlee menilai hal itu terjadi karena dilanggengkan dalam Telegram Rahasia (TR) Nomor STR/645/X/PAM/3.2./2020. TR itu melarang demonstrasi menolak Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dan mogok kerja selama pandemi covid-19.
“Telegram itu tidak direspons Jokowi (Presiden Joko Widodo). Tidak ada ketegasan Presiden dan membiarkan makanya kita sebut sebagai pewajaran,” terang dia.
Jakarta: Sebanyak 157 kasus pembatasan
kebebasan sipil terjadi selama satu tahun terakhir. Hal itu berdasarkan temuan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
“(Terjadi) selama Oktober 2019 sampai September 2020,” kata Wakil Koordinator KontraS bidang Riset dan Mobilisasi, Rivanlee Anandar, dalam konferensi pers daring Catatan 1 Tahun Pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Senin, 19 Oktober 2020.
Rivanlee memerinci jumlah itu terdiri dari 63 kali penangkapan, 55 kali pembubaran aksi massa, 22 pelarangan berkumpul, dan 22 kali intimidasi. Selain itu, ada 15 penganiayaan, lima persekusi, dan satu sanksi sewenang-wenang.
Pelanggaran tersebut, kata Rivanlee, mengundang korban. Sebanyak 77 masyarakat, 41 mahasiswa, 12 aktivis, 11 jurnalis, delapan komunitas, dan delapan orang buruh terdampak.
“KontraS menilai hal ini terjadi karena adanya pewajaran terjadinya tindakan represif melalui kebijakan yang mendukung represif oleh aparat,” ujar dia.
Rivanlee juga mencatat aktor pembatasan kebebasan sipil. Sebanyak 132 aktor dari kepolisian, 27 dari pemerintah, 18 organisasi masyarakat (ormas) atau warga, dua kampus, dan satu TNI.
“Polisi masih terus menjadi aktor utama dalam pembatasan kebebasan sipil,” tutur Rivanlee.
Rivanlee menjelaskan tiga indikator KontraS dalam menilai pelanggaran tersebut. Hal ini meliputi pelanggaran hak atas kebebasan berkumpul, hak atas kebebasan berserikat atau berasosiasi, serta hak atas kebebasan berekspresi.
Baca:
Tersangka Demo Rusuh UU Cipta Kerja Menjadi 131 Orang
Ancaman ini ditindaklanjuti dengan adanya pewajaran tindakan represi seperti intimidasi hingga
doxing. Rivanlee menilai hal itu terjadi karena dilanggengkan dalam Telegram Rahasia (TR) Nomor STR/645/X/PAM/3.2./2020. TR itu melarang demonstrasi menolak Undang-Undang Cipta Kerja (
UU Ciptaker) dan mogok kerja selama pandemi covid-19.
“Telegram itu tidak direspons Jokowi (Presiden Joko Widodo). Tidak ada ketegasan Presiden dan membiarkan makanya kita sebut sebagai pewajaran,” terang dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)