Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (kanan) diwakili kuasa hukumnya Yusril Ihza Mahendra (kiri) menjawab pertanyaan wartawan, Jakarta, Rabu (18/4/2015). Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (kanan) diwakili kuasa hukumnya Yusril Ihza Mahendra (kiri) menjawab pertanyaan wartawan, Jakarta, Rabu (18/4/2015). Foto: Antara/Hafidz Mubarak A

Mantan Kepala BPPN Didakwa Rugikan Negara Rp4,58 Triliun

Damar Iradat • 14 Mei 2018 15:26
Jakarta: Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung didakwa merugikan negara hingga Rp4,58 triliun terkait kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Ia diduga telah melakukan penghapusan piutang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) kepada petani tambak yang dijamin PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira.
 
Dalam surat dakwaan, Syafruddin melakukan perbuatan tersebut bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kunjoro Jakti, Sjamsul Nursalim dan istri, Itjih Nursalim. Akibat perbuatan tersebut, negara merugi hingga Rp4,580 triliun.
 
"Terdakwa Syafruddin telah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sejumlah Rp4,58 triliun," kata jaksa pada KPK Haerudin saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 14 Mei 2018.

Jaksa mengatakan, awalnya BDNI ditetapkan sebagai bank beku operasi (BBO) yang pengelolaannya dilakukan oleh Tim Pemberesan yang ditunjuk BPPN dan didampingi oleh Group Head Bank Restrukturisasi. Atas status BBO tersebut, BDNI berhak mendapatkan bantuan likuiditas.
 
Kemudian, pada 29 Januari 1999, Bank Indonesia mengalirkan bantuan likuiditas sebesar Rp37 triliun. BLBI itu terdiri dari fasilitas surat berharga pasar utang khusus, fasilitas saldo debet dan dana talangan valas.
 
"Selain itu, terdapat juga BLBI yang disalurkan kepada BDNI dalam periode sesudah tanggal 29 Januari 1999 hingga 26 Juni 2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo sebesar Rp5,49 triliun" lanjut jaksa.
 
Dalam penggunaan dana BLBI oleh BDNI, ditemukan sejumlah penyimpangan. Di antaranya berupa transaksi pembelian valas yang dilakukan pada saat posisi devisa netto telah melampaui ketentuan yang berlaku dan melakukan penempatan baru dengan menambah saldo debet.
 
BDNI kemudian dikategorikan sebagai bank yang melakukan pelanggaran hukum dan atau transaksi yang tidak wajar yang menguntungkan Sjamsul. Karena itu, BDNI diwajibkan mengikuti penyelesaian kewajiban pemegang saham dengan pola perjanjian Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA).
 
BPPN, lanjut jaksa, melalui Tim Aset Manajemen Investasi (AMI) dibantu oleh financial advisor kemudian membuat neraca penutupan BDNI dan melakukan negosiasi dengan Pemegang Saham Pengendali (PSP), Sjamsul Nursalim.
 
Negosiasi itu, lanjut jaksa, dalam rangka menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) dengan rumus jumlah kewajiban dikurangi jumlah aktiva/aset, maka disepakati jumlah kewajiban sebesar Rp47,258 triliun dikurangi jumlah aset sebesar Rp18,850 triliun.
 
"Sehingga besar JKPS adalah sejumlah Rp28,408 triliun," tegas jaksa.
 
Sjamsul kemudian sepakat untuk membayar secara tunai sebesar Rp1 triliun dan penyerahan aset sebesar Rp 27,4 triliun kepada perusahaan yang dibentuk oleh BPPN untuk melakukan penjualan atas aset.
 
Kemudian, pada 17 Maret 2004, BPPN bersama KKSK membahas Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Namun, saat itu, Syafruddin tak memberikan laporan rinci soal penyelesaian permasalahan PT DCD khususnya terkait misrepresentasi yang dilakukan oleh Sjamsul Nursalim atas nilai utang petambak plasma PT DCD dan PT WM sebesar Rp4,8 triliun.
 
Ia juga tidak melaporkan kewajiban yang seharusnya ditanggung Sjamsul atas misrepresentasi. Syafruddin juga tidak melaporkan adanya pertemuan dengan pihak Sjamsul yang pada akhirnya merubah misrepresentasi menjadi tidak misrepresentasi.
 
Setelahnya, KKSK mengeluarkan keputusan No.01/K.KKSK/03/2004 yang menyetujui pemberian bukti penyelesaian sesuai dengan perjanjian Pemegang Saham dengan BPPN, berupa pelepasan dan pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Inpres 8 Tahun 2002 terhadap Sjamsul Nursalim.
 
Kemudian, pada12 April 2004, Syafruddin dan Sjamsul selaku pemegang saham yang diwakili oleh istrinya Itjih S Nursalim, menandatangani Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir nomor 16 di hadapan notaris. Dalam perjanjian itu menyatakan, pemegang saham telah melaksanakan dan menyelesaikan seluruh kewajibannya sebagaimana telah diatur dalam MSAA.
 
Syafruddin juga dinilai menyalahgunakan kewenangannya sebagai Kepala BPPN. Saat itu, Syafruddin menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul.
 
"Meskipun Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI terhadap petambak," ujar jaksa.
 
Dalam kasus ini, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan