medcom.id, Jakarta: Indonesia masih tertinggal dalam soal implementasi aturan produk halal dibandingkan Thailand, Malaysia, Inggris, Belanda, Selandia Baru, dan beberapa negara lainnya.
KADIN Komite Timur Tengah dan OKI khawatir akan serbuan produk halal dari negara lain. Para pelaku usaha tersebut menyampaikan permasalahan ini kepada Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid.
Para pelaku usaha tersebut mengatakan bahwa sebenarnya ada undang-undang tentang kehalalan, namun peraturan di bawahnya belum keluar sehingga mempersulit mereka untuk melabeli sertifikat halal pada produknya.
Mereka membandingkan dengan Thailand yang mayoritas penduduknya beragama non-muslim, justru pemerintahnya mendorong produk-produk berlabel halal. Demikian pula di Malaysia, Selandia Baru, Jepang, dan sejumlah negara lain.
Mendapat keluhan dari para tamunya itu, Hidayat Nur Wahid mengakui, salah satu problem besar dalam pelabelan produk halal ialah belum ada kejelasan regulasi yang mengatur. Sering terjadi keruwetan dalam masalah aturan-aturan hukum.
Menurut politikus PKS itu, untuk mendorong agar aturan hukum tentang produk halal menjadi jelas, maka dia menyarankan agar KADIN Komite Timur Tengah dan OKI melakukan dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR.
"Sebagai anggota DPR, maka saya juga akan melakukan woro-woro," ujar Hidayat saat menerima kunjungan KADIN Komite Timur Tengah dan OKI, di ruang kerjanya, Gedung Nusantara III, Komplek Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, Jumat (19/8/2016).
Menurutnya, keinginan masyarakat untuk mendapat produk halal adalah bagian dari hak konsumen. Lebih lanjut dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh KADIN adalah bagian dari bentuk demokrasi, yakni memperjuangkan hak-hak masyarakat.
Hidayat menduga, belum adanya kejelasan aturan produk halal, karena ada Islamphobia, yakni label produk halal dikaitkan dengan Islamisasi dan penegakkan aturan syariah. Padahal, anggapan tersebut tidak benar.
"Kalau sudah ada undang-undang produk halal, maka anggapan itu gugur,” ucap Hidayat.
Penuturan Hidayat itu diamini oleh KADIN Komite Timur Tengah dan OKI. Halal itu mencakup pengertian yang luas. Halal bisa berati sehat dan higienis. Mereka mencontohkan, restoran dan hotel yang memakai sertifikat halal justru pasarnya meningkat dan konsumennya bukan hanya dari kaum muslim.
Area lampiran
medcom.id, Jakarta: Indonesia masih tertinggal dalam soal implementasi aturan produk halal dibandingkan Thailand, Malaysia, Inggris, Belanda, Selandia Baru, dan beberapa negara lainnya.
KADIN Komite Timur Tengah dan OKI khawatir akan serbuan produk halal dari negara lain. Para pelaku usaha tersebut menyampaikan permasalahan ini kepada Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid.
Para pelaku usaha tersebut mengatakan bahwa sebenarnya ada undang-undang tentang kehalalan, namun peraturan di bawahnya belum keluar sehingga mempersulit mereka untuk melabeli sertifikat halal pada produknya.
Mereka membandingkan dengan Thailand yang mayoritas penduduknya beragama non-muslim, justru pemerintahnya mendorong produk-produk berlabel halal. Demikian pula di Malaysia, Selandia Baru, Jepang, dan sejumlah negara lain.
Mendapat keluhan dari para tamunya itu, Hidayat Nur Wahid mengakui, salah satu problem besar dalam pelabelan produk halal ialah belum ada kejelasan regulasi yang mengatur. Sering terjadi keruwetan dalam masalah aturan-aturan hukum.
Menurut politikus PKS itu, untuk mendorong agar aturan hukum tentang produk halal menjadi jelas, maka dia menyarankan agar KADIN Komite Timur Tengah dan OKI melakukan dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR.
"Sebagai anggota DPR, maka saya juga akan melakukan woro-woro," ujar Hidayat saat menerima kunjungan KADIN Komite Timur Tengah dan OKI, di ruang kerjanya, Gedung Nusantara III, Komplek Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, Jumat (19/8/2016).
Menurutnya, keinginan masyarakat untuk mendapat produk halal adalah bagian dari hak konsumen. Lebih lanjut dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh KADIN adalah bagian dari bentuk demokrasi, yakni memperjuangkan hak-hak masyarakat.
Hidayat menduga, belum adanya kejelasan aturan produk halal, karena ada Islamphobia, yakni label produk halal dikaitkan dengan Islamisasi dan penegakkan aturan syariah. Padahal, anggapan tersebut tidak benar.
"Kalau sudah ada undang-undang produk halal, maka anggapan itu gugur,” ucap Hidayat.
Penuturan Hidayat itu diamini oleh KADIN Komite Timur Tengah dan OKI. Halal itu mencakup pengertian yang luas. Halal bisa berati sehat dan higienis. Mereka mencontohkan, restoran dan hotel yang memakai sertifikat halal justru pasarnya meningkat dan konsumennya bukan hanya dari kaum muslim.
Area lampiran
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ROS)